Citizen Reporter : M Haris Zulkarnain, S.Sos
KalbarOnline, Nasional – Diadakan 3 agenda besar secara bersamaan yaitu Focus Group Discussion (FGD) tentang Revisi Rencana Strategis Mahkamah Konstitusi Tahun 2015-2019, Pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Provinsi Jawa Tengah dan Seminar Nasional “Penguatan Nilai dan Norma Konstitusi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan” yang diselenggarakan oleh kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan APHTN-HAN Provinsi Jawa Tengah di Patra Jasa Convention Hotel Semarang, Sabtu (2/12) pagi.
Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh dosen dan pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dari berbagai Universitas yang ada di Provinsi Jawa Tengah, seperti Universitas Diponegoro, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kegiatan yang dipandu oleh Ketua Panitia Dr Lita Tyesta ALW, SH.,M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro). Kegiatan ini dihadiri juga oleh Ikatan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (IMMIH) Undip dan BEM Fakultas Hukum Undip.
Pengurus dilantik langsung oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat APHTN-HAN Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH. Pengurus yang dilantik mengikuti ikrar dengan baik dan khidmat. Pemateri dari seminar nasional yaitu :
Adapun Pemaparan Materi dari Prof Mahfud yakni mengenai “Implementasi Filosofi Pembukaan ke dalam Pasal-Pasal UUD 1945”, yakni :
Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai-nilai ideologis yang dibulatkan ke dalam Pancasila sebagaimana dimuat di dalam Alinea IV Pembukaan 1945 mengandung nilai-nilai filosofis yang harus dituangkan ke dalam UUD 1945 untuk kemudian harus dituangkan lagi ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah secara berjenjang.
Nilai-Nilai Filosofi yang harus dituangkan
Filosofi utama yang terkandung di dalam pembukaan adalah “kebersatuan dalam keberbedaan”, bhinneka tunggal ika, dan gotong royong yang kemudian melahirkan empat kaidah penuntun dalam bernegara yaitu : (1) Menjamin integrasi terrotiri dan ideologi; (2) Membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi; (3) Membangun keadilan sosial (dengan ekonomi kerakyatan); (4) Membangun toleransi beragama yang berkeadaban.
Penuangan ke dalam UUD
Ada yang mengatakan bahwa UUD 1945 hasil amandemen (UUD NRI 1945) yang ada sekarang ini bertentangan dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam Pembukaan sehingga UUD NRI 1945 tersebut dianggap sebagai UUD yang tidak sesuai dengan Pembukaan dan Pancasila sebagai dasar filosofinya.
Para pengkritik UUD NRI 1945 sekarang ini ada yang mengkritik keras bahwa UUD tersebut bukan merupakan implementasi filosofi Pancasila. Inilah beberapa contohnya :
Lalu timbul pertanyaan, penuangan ke dalam UUD dan kebijakan hukum yang manakah yang boleh dianggap sesuai Pembukaan UUD 1945 ?
“Menurut saya secara filosofis sebenarnya tidak ada yang secara kategoris harus dianggap salah sebagai penuangan ke dalam UUD. Filosofi yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945 bisa dituangkan ke dalam UUD sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan. Tidak ada pedoman pasti yang sifatnya operasional dari filosofi itu sebab penuangan dan action pemerintahan itu dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi yang penting prinsip prorakyat dan keadilannya tetap dijaga,” tuturnya.
Menurutnya, ada tiga alasan untuk menyatakan bahwa semua kebijakan itu bisa benar. Pertama, Pancasila yang ada di dalam Pembukaan itu harus dipandang sebagai ideologi terbuka dalam arti bisa menampung setiap perkembangan dan pemikiran dengan catatan tetap pro pada keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, sesuai dengan pandangan begawan konstitusi KC Wheare (dalam the Modern Constitutions) konstitusi adalah resultante sesuai dengan keadaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada waktu dibuat; artinya ia bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari pemikiran pemerintah ke pemerintah lainnya, yang penting adalah nilai dasar-ideologisnya tetap terjaga.
Ketiga, meminjam istilah Fred W. Riggs (dalam Administration in Developing Contries) ideologi Pancasila itu bisa digolongkan sebagai ideologi prismatik yakni ideologi yang menampung segi-segi positif dari konsep-konsep yang saling bertentangan yang kemudian dijadikan satu, misalnya, gabungan segi baik antara individualisme dan komunalisme, antara teokrasi dan sekulerisme, antara keadilan dan kepastian hukum.
“Dalam konsepsi yang demikian maka kebijakan, bahkan penuangan ideologi ke dalam pasal-pasal konstitusi bisa berkembang atau berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Intinya, kita tidak bisa, secara kategoris, menyalahkan penuangan nilai filosofi Pembukaan (Pancasila) ke dalam UUD maupun kebijakan hukum yang ada dan pernah ada sebagai kesalahan. Bisa saja ia benar dan realistis sesuai dengan perkembangan kebutuhan pada masanya tanpa menggeser nilai-nilai filosofisnya,” tukasnya.
Sementara Prof Aidul Fitriciada Azhari, SH.,M.Hum, dalam pemaparannya menjelaskan mengenai “Memaknai Maksud Asli (Original Intent) Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945”, yaitu :
Tafsir Originalisme (Antonin Scalia, Hakim Agung AS) :
Tujuan Konstitusi
Menurut Eric Barendt (1998) konstitusi memiliki tujuan umum yaitu “Constitutions are designed to impose limits on the exercise of authority by the monarch or other holders of power, and to formulate basic rights and freedoms and other fundamental values for the community”. Sedangkan tujuan historis yaitu : (1) The emancipation of a country from a colonial regime (post colonial constitution). Misalnya UUD 1945, Konstitusi AS. (2) To establish the fundamental principles of a new system of government subsequent to a revolution. Misalnya Konstitusi Perancis 1791. (3) To make a fresh start following their defeat and experience of totalitarian government. Misalnya Konstitusi Jerman, Italia, Jepang Pasca Perang Dunia II.
Negara Bangsa mencakup : (1) Negara Bangsa klasik yang terbentuk dari Westphalia Agreement 1648. Misalnya Inggris, Spanyol. (2) Negara Bangsa Ideologis hasil indoktrinasi ideologi nasionalisme. Misalnya Jerman dan Italia. (3) Negara Bangsa Postkolonial yang terbentuk dari hasil dekolonisasi. Misalnya Negara-negara yang merdeka pasca PD II, termasuk Indonesia. (4) Negara Bangsa Pos-Komunisme yang terbentuk selepas keruntuhan Uni Soviet, misalnya negara-negara Balkan, Asian Tengah, termasuk Timor Leste.
Karakter UUD NRI Tahun 1945, UUD NRI Tahun 1945 adalah UUD Pos-Kolonial yang memiliki tujuan dekolonisasi, Dekolonisasi dalam UUD NRI Tahun 1945 terdiri atas : Dekolonisasi sosial-ekonomi, Dekolonisasi sistem pemerintahan, Dekolonisasi sosial-budaya.
Dekolonisasi Sosial-Ekonomi :
UUD NRI Tahun 1945 menghendaki perubahan sistem sosial ekonomi kolonial Hindia Belanda yang berwatak liberal. Liberalisme negara Kolonial Hindia Belanda berdasarkan Regeringsreglement 1848 / 1856 yang menghendaki negara hanya sebagai fasilitator bagi kepentingan modal, Perekonomian Hindia Belanda melahirkan dualisme ekonomi (J.H. Boeke) atau pluralisme ekonomi (J.S. Furnivall) yang memisahkan antara ekonomi tradisional golongan Pribumi berbasis agraris dan ekonomi modern golongan Eropa / Belanda berbasis industri dengan golongan Timur Asing sebagai pedagang sementara (P$ 163 IS). Dekolonisasi sosial-ekonomi dilakukan dengan membentuk sistem ekonomi terencana (Pasal 33:1) dan penguasaan kolektif (Pasal 33: 2,3) yang secara konseptual disebut sebagai negara pengurus (Bung Hatta) atau negara kesejahteraan. Sistem ekonomi terencana diwujudkan dengan perencanaan ekonomi dengan instrument GBHN yang disusun secara kolektif oleh seluruh komponen nasional (politik, daerah, golongan) yang dipresentasikan dalam MPR. Penguasaan kolektif terdiri atas penguasaan oleh negara dan penguasaan oleh badan-badan kolektif dalam bentuk koperasi.
Dekolonisasi Sistem Pemerintahan :
Dekolonisasi atau sistem ekonomi liberal Hindia Belanda parallel dengan dekolonisasi sistem pemerintahan negara RI yang juga bersifat anti liberal. Oleh karena itu, para pendiri negara menolak sistem parlementer Eropa dan sistem presidensial Amerika yang berwatak liberal. Pendiri negara membentuk sistem pemerintahan hibrida yang dipandang parallel dengan dapat mewujudkan sistem ekonomi terencana dan kolektif. Sistem pemerintahan hibrida tersebut ditandai dengan adanya kekuasaan perencanaan kolektif oleh MPR yang merepresentasikan semua elemen nasional (politik, daerah, dan golongan) dan eksekutif yang bertanggung jawab atas pelaksanaan perencanaan kolektif tersebut. Sistem pemerintahan hibrida tersebut diwujudkan dalam sistem presidensial bertanggung jawab (responsible presidential) yang merupakan kombinasi dari kabinet presidensial dengan pertanggungjawaban kepada MPR sebagai pemegang supremasi parlemen.
Dekolonisasi Sosial-Budaya :
Sistem pemerintahan hibrida tersebut secara filosofis diungkapkan dalam sila keempat Pancasila tentang demokrasi berdasarkan permusyawaratan / perwakilan yang memiliki basis dalam tradisi bernegara bangsa Indonesia. Secara umum tradisi budaya Indonesia terbagi atas tradisi demokratis yang terdapat dalam tradisi luar Jawa (Melayu-Minang dan Bugis-Makassar) dan tradisi pemerintahan konsentris dalam tradisi Jawa. Tradisi demokratis direpresentasikan melalui supremasi MPR, sedangkan tradisi pemerintahan konsentris direpresentasikan melalui kabinet Presidensial. Kombinasi kedua tradisi itu membentuk sistem presidensial bertanggung jawab (responsible presidential). Dekolonisasi sosial budaya juga dilakukan terhadap sistem negara kolonial yang berwatak sekuler menjadi sistem negara nasional yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa negara melindungi kebebasan agama beserta kepercayaan masing-masing agama tersebut, tetapi sekaligus memberikan wewenang kepada negara untuk mengurus dan memajukan peran agama dan kepercayaan masing-masing agama tersebut dalam kehidupan masyarakat.
Sementara Prof Dr Guntur Hamzah SH.,MH, dalam pemaparannya menjelaskan mengenai Focus Group Discussion (FGD) Revisi Rencana Strategis (Rentra) Mahkamah Konstitusi Tahun 2015-2019, yaitu :
Sejarah MK Periode 2004-2010 menggunakan Buku “Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Tahun 2004-2010” sebagai dokumen rencana strategis, Periode 2010-2014 MK menggunakan Buku “Rencana Strategis Mahkamah Konstitusi Tahun 2010-2014” sebagai dokumen induk perencanaan strategis. Terdapat perbedaan antara visi dan misi Mahkamah Konstitusi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. Periode 2015-2019 MK menggunakan Buku “Rencana Strategis Mahkamah Konstitusi Tahun 2015-2019” sebagai dokumen induk perencanaan strategis yang terintegrasi dengan aspek penganggaran, kelembagaan, regulasi dan kinerja. Penyatuan antara visi dan misi MK dengan visi dan misi dari supporting system-nya (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK) sebagai visi dan misi lembaga.
Visi dan Misi Rentra MK 2010-2014
Visi MK : “Tegaknya Konstitusi dalam Rangka Mewujudkan Cita Negara Hukum dan Demokrasi demi Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan yang Bermartabat”. Misi MK : (1) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya. (2) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Visi Kepaniteraan dan Setjen : “Terwujudnya Sistem Administrasi dan Layanan Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Tugas Konstitusi Mahkamah Konstitusi demi Terbangunnya Konstitusionalitas Indonesia dan Budaya Sadar Konstitusi”.
Misi Kepaniteraan dan Setjen : (1) Mewujudkan Akses Seluas-luasnya bagi masyarakat terhadap Keadilan dan Peradilan Konstitusi. (2) Mewujudkan Sistem Administrasi dan Layanan Peradilan Berdasarkan Tata Kelola Lembaga Peradilan yang Baik. (3) Mengembangkan Sistem Administrasi dan Layanan Peradilan Konstitusi yang Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. (4) Meningkatkan Kualitas Kajian Perkara Konstitusi dan Penelitian yang berkaitan dengan isu-isu Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan. (5) Membangun Konstitusionalitas Indonesia dan Budaya Sadar Berkonstitusi Melalui Pendidikan Pancasila dan Konstitusi.
Visi dan Misi Renstra MK 2015-2019
Visi : “Mengawal Tegaknya Konstitusi Melalui Peradilan Konstitusi yang Independen, Imparsial, dan Adil”. Misi : (1) Membangun Sistem Peradilan Konstitusi yang mampu Mendukung Penegakan Konstitusi. (2) Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Mengenai Hak Konstitusional Warga Negara.
Latar Belakang Penyempurnaan Renstra Mahkamah Konstitusi Tahun 2015-2019
Penataan Struktur Organisasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK
Perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Penaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI didasarkan atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2017, sehingga selengkapnya menjadi sebagai berikut :
Kepaniteraan yang dipimpin oleh Panitera, dibantu oleh :
Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, membawahi unit kerja :
Visium MK
MK telah melaksanakan “Kegiatan Workshop Motivasi dan Budaya Kerja Dalam Rangka Pembangunan Integritas Organisasi dan Pengembangan Komite Integritas di Lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK” di Bandung, 7-9 September 2017 yang dihadiri oleh Bapak / Ibu Hakim Konstitusi, Pejabat Eselon I-1V, Panitera, PM, PP, serta Peneliti, telah menghasilkan rumusan visium sebagai berikut : (I) Pelopor i-judiciary melalui Combine Assurance Plus; (II) Pelopor Pengadilan Konstitusi Berbasis Augmented Reality (AR) termodern di dunia; (III) Pelopor Constitutional Tourism berbasiskan ideologi Pancasila.
Kerangka Pemikiran Penyempurnaan Renstra MK Tahun 2015-2019
Dasar Hukum
Kegiatan Penyempurnaan Renstra MK Tahun 2015-2019
Revisi Visi MK dalam Renstra MK 2015-2019
Telah disepakati dalam Rapat Penyempurnaan Renstra MK 2015-2019 dan Pra Raker MK 2017 di Bogor, 17 November 2017, Visi MK menjadi : “Mengawal Tegaknya Konstitusi Melalui Peradilan Modern dan Terpercaya”. Ada 10 (sepuluh) Nilai MK yaitu : (1) Nilai Ketuhanan; (2) Nilai Kemanusiaan; (3) Nilai Persatuan; (4) Nilai Permusyawaratan; (5) Nilai Keadilan; (6) Nilai Kejujuran; (7) Nilai Kemandirian; (8) Nilai Keterbukaan; (9) Nilai Empati; (10) Nilai Toleransi.
Poin-Poin Kesepakatan Perubahan Renstra MK Tahun 2015-2019
Yang selanjutnya diturunkan dalam Arah Kebijakan dan Strategi :
Peningkatan Kepercayaan Publik (Public Trust) terhadap MK
Penguatan Integrated Judiciary
Adapun Pemaparan Materi dari Prof. Dr. Muhammad Fauzan, S.H.,M.Hum tentang “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Pembangunan Hukum Pancasila”, yaitu :
Pasal 24C UUD 1945 Hasil Amandemen mengatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Dalam hal ini, MK adalah Satu-satunya lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan pengujian secara material atas sebuah undang-undang terhadap UUD 1945 (The Guardian and the Interpreter of The Constitution). Dalam UUD 1945 Pembukaan, berisi 5 Sila, Batang Tubuh Sebelum Amandemen yaitu 16 Bab, 37 Pasal dan 49 Ayat, Batang Tubuh Setelah Amandemen yaitu 16 Bab, 73 Pasal dan 170 Ayat. Maka inilah Batu Uji MK dalam Judicial Review.
Pancasila menyangkut beberapa aspek yaitu : Aspek Politik, Pancasila dapat dipandang sebagai modus Vivendi atau kesepakatan luhur yang mempersatukan semua ikatan primordial ke dalam satu bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang sangat luas dan majemuk dalam prinsip persatuan. Filosofis, Pancasila merupakan dasar dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang serta berakar jauh dari kehidupan leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Sudut Hukum, Pancasila menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.
Pancasila memasuki Era Reformasi : Indoktrinasi Pancasila pada masa Orde Baru telah mengakibatkan keterpurukan dan kegagalan Bangsa Indonesia, Tap MPR No. II/MPR/1978 Dicabut, Pancasila kehilangan marwahnya, Liberalisasi disegala bidang, termasuk politik hukum / kebijakan di bidang pembuatan peraturan perundang-undangan, Pancasila dalam arti substantive terkesan dijauhkan atau hilang dari segala aktivitas penyelenggaraan ketatanegaraan.
Problematika Pancasila menjadi batu uji ? Belum ada pemahaman yang sama (yang dibakukan) tentang nilai-nilai Pancasila selepas pencabutan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Bagaimana MK menjaga ideologi Pancasila ? Memastikan bahwa sebuah UU harus memenuhi kriteria sebagai hukum yang pancasilais : (1) UU yang direview menjamin adanya pengakuan atas Ketuhanan Yang Maha Esa mengamanatkan bahwa nilai-nilai Ketuhanan harus selalu menjiwai semua produk hukum. (2) UU yang direview tidak boleh menafikan keinsanan sehingga tidak boleh bertentangan dengan HAM. (3) UU yang direview harus menjaga pluralitas dan persatuan dalam kebhinekaan. (4) UU yang direview harus merupakan produk yang disusun secara demokratis dengan memperhatikan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. (5) UU yang direview harus menjamin terciptanya berkeadilan sosial dan mendatangkan kesejahteraan.
KalbarOnline - Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu tayang di bioskop Indonesia mulai Kamis, 21…
KalbarOnline - Baru-baru ini, Nana Mirdad curhat lewat akun Instagram pribadinya soal pengalaman tidak menyenangkan…
KalbarOnline, Pontianak - Dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan peralatan medis di Kalimantan Barat, Pemerintah Provinsi…
KalbarOnline, Sambas - Dalam rangka optimalisasi lahan (oplah) pertanian di Kalimantan Barat, Menteri Pertanian RI,…
KalbarOnline, Ketapang - Anggota DPRD Kabupaten Ketapang dari Fraksi Partai Demokrat, Rion Sardi melakukan reses…
KalbarOnline, Ketapang - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ketapang bakal membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk menangani…