Citizen Reporter : M. Haris Zulkarnain, S.Sos
KalbarOnline, Nasional – Fakultas Hukum Universitas Diponegoro menggelar kegiatan Dies Natalis ke-61 di Selasar gedung Fakultas Hukum Undip Tembalang, Selasa (9/1/2018).
Kegiatan ini dihadiri oleh Rektor Undip, Sekretaris Senat Undip, Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah, Ketua DPRD Kota Semarang, Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah, Kepala Biro Hukum Provinsi Jawa Tengah, Kepala Bagian Hukum Kota Semarang, Dekan Fakultas Hukum PTS di Semarang, Dekan Fakultas Hukum Unnes, Dekan dilingkungan Undip, Dekan dan Para Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Guru Besar, Ketua Bagian, Dosen dan Tenaga Kependidikan Fakultas Hukum Undip, Alumni Fakultas Hukum Undip, AP-HTN HAN Wilayah Jawa Tengah, Mahasiswa Sarjana (S1), Magister Ilmu Hukum (S2), Magister Kenotariatan dan Program Doktor Ilmu Hukum (S3).
Kegiatan ini juga bersamaan dengan orasi ilmiah dengan tema “Aspek Penting Reformasi Regulasi (Perspektif Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) yang disampaikan oleh Dr. Lita Tyesta A.L.W, SH., M.Hum.
Dekan FH Undip Semarang, Prof Dr R Benny Riyanto, S.H.,M.Hum, dalam sambutannya mengucapkan syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah, bahwa perjalanan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dalam mengemban amanah Tri Dharma Perguruan Tinggi telah memasuki usia ke-61 tahun.
“Selaku pimpinan Fakultas secara pribadi dari hati yang paling dalam saya menyampaikan selamat dan sukses atas Dies Natalis ke-61 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, kepada seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Undip teriring doa dan harapan semoga Fakultas Hukum Undip kedepan bisa semakin maju, membanggakan dan semakin sejahtera,” ujarnya.
Memasuki usia ke-61, lanjutnya, merupakan sebuah perjalanan panjang Fakultas dengan berbagai dinamika dan pendewasaan sebagai sebuah institusi. Jika kita mengenang kilas balik refleksi perjalanan Fakultas Hukum undip, maka fakultas ini telah melalui periode panjang perjalanan, mulai dari periode pendirian, periode pertumbuhan dan penataan sistem, dan sampailah pada saat ini sebagai periode manajemen yang baru, yaitu manajemen Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), dalam periode sekarang ini kita dituntut untuk mampu meningkatkan mutu dan daya saing secara global.
“Hal tersebut telah ditandai dengan berbagai program yang telah dirintis dengan baik oleh para Dekan pada periode masing-masing, dimulai dengan program pengembangan kualitas SDM, pembenahan struktur kurikulum pendidikan, peningkatan layanan, peningkatan mutu dan daya saing, serta program internasionalisasi, dengan menyesuaikan tuntutan perkembangan jaman seiring mengikuti peraturan pemerintah yang secara dinamis terus mengalami perubahan,” tukasnya.
Saat ini Fakultas Hukum Undip telah tumbuh menjadi sebuah fakultas yang besar ditandai dengan beberapa indikator pencapaian organisasi sebagai berikut :
Data Lulusan Fakultas Hukum Tahun 2017
Program Studi | Jumlah | Jenis Kelamin | IPK Rata-Rata | Masa Studi | |
S1 Ilmi Hukum
Magister Ilmu Hukum Magister Kenotariatan Doktor Ilmu Hukum |
710 orang
103 orang 199 orang 7 orang |
L = 356
L = 56 L = 91 L = 6 |
P = 354
P = 47 P = 108 P = 1 |
3,40
3,72 3,60 3,60 |
3 tahun 6 bulan
2 tahun 1 bulan 1 tahun 8 bulan 4 tahun 7 bulan |
Prestasi yang dicapai mahasiswa sepanjang tahun 2017 sebagai berikut :
Rencana target Kerja Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2018 :
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang ke depan diharapkan mampu menjadi salah satu pilar utama bagi Universitas Diponegoro dalam menyongsong World Class University. Mempertimbangkan semua potensi tadi, Insha Allah segenap Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Diponegoro siap mewujudkannya yaitu menjadi fakultas yang mempunyai atmosfir akademik, serta kinerja yang baik berdasarkan standar PTN-BH.
Untuk mencapai hal tersebut, tentunya sangat diperlukan dukungan, peran serta partisipasi dari semua keluarga besar Civitas Akademika Fakultas Hukum, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, serta soliditas dan sinergi antara rekan-rekan sejawat, para Pimpinan Fakultas lain dan Pimpinan Fakultas lain dan Pimpinan Lembaga serta Pimpinan Universitas. Mari kita bangun Fakultas Hukum ini ke depan dengan kebersamaan dan memberdayakan semua potensi Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa menuju World Class University.
“Akhirnya, dalam kesempatan Dies Natalis ke-61 ini, selaku Pimpinan Fakultas kami menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada segenap Civitas Akademika Universitas dan Fakultas Hukum serta para tamu undangan atas segala dukungan dan kerjasamanya yang baik, serta mohon doa restu semoga Fakultas kita kedepan dapat mewujudkan visinya sebagai institusi pendidikan bidang hukum yang unggul dan berstandar Internasional. Selamat Ulang Tahun Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke-61, semoga Allah Swt senantiasa meridhoi usaha dan kerja keras kita. Fakultas Hukum …. Jaya,” serunya.
Sementara itu, Dr. Lita Tyesta A.L.W, SH., M.Hum, yang menjadi pembicara pada Orasi Ilmiah Aspek Penting Reformasi Regulasi (Perspektif Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) mengatakan bahwa mungkin kita belum lupa dengan kejadian yang diberitakan harian Kompas 25 Januari 2015 di laman Kompas.com.
“Presiden Jokowi Instruksikan Deregulasi besar-besaran”.
Pada kesempatan inspeksi mendadak di Tanjung priok, Presiden mendapati bahwa waktu tunggu (dwelling time) barang di pelabuhan Tanjung Priok membutuhkan waktu 5 hari, di Singapura hanya butuh waktu 1 hari.
Kejadian itulah yang telah mengundang murka Presiden. Lebih jauh, beberapa media lain juga ikut menimpali bahwa keadaan semacam itulah yang mengakibatkan high cost economy, pemborosan anggaran, dan seterusnya, dan seterusnya.
Peristiwa di Tanjung Priok itu berujung pada instruksi Presiden agar dilakukan deregulasi besar-besaran. Tampaknya Presiden paham benar, pembenahan regulasi diperlukan karena percepatan pembangunan, terutama di bidang ekonomi, sering kali terkendala sengkarut regulasi yang tidak harmonis, tidak sinkron, dan saling tumpang tindih. Ujung-ujungnya, regulasi yang demikian menghadirkan ketidakpastian hukum (Saldi Isra, 2017).
Upaya pembenahan kearah deregulasi pun sebenarnya juga sudah mulai dilakukan. Misalnya, tahun 2016 bersama Mendagri, pemerintah mengevaluasi 3.153 peraturan daerah. “Saya perintahkan untuk langsung dicabut saja, tapi ternyata dibatalkan di tingkat Mahkamah Konstitusi. Inilah negara kita, iklim politiknya belum mendukung”, ungkap Presiden.
Presiden menilai, ternyata Indonesia hanya memerlukan kekuatan politik yang besar, yang bersinergi dari tingkat pusat hingga daerah untuk berlari cepat mengimbangi inovasi dan perkembangan zaman.
“Kita sebenarnya tidak kalah dengan otak dan kecepatan. Orang Indonesia bisa pinter dan cepat, tapi sayangnya terjerat oleh aturan yang dibuat oleh bangsa sendiri”, kata Presiden (Kompas.com,2017).
Orasi Ilmiah Aspek Penting Reformasi Regulasi Dr. Lita Tyesta A.L.W, SH., M.Hum.
(Perspektif Pembentukan Peraturan Perundangan)
Terminologi “regulasi” dimaknai sebagai peraturan perundangan dengan tingkatan-tingkatannya serta menunjuk pada peraturan perundangan yang ada di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota, bahkan sampai dengan tingkat Desa. Secara formal definisi peraturan perundangan itu sendiri dapat kita temukan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan”. Peraturan perundang-undangan adalah dimaksudkan sebagai pedoman berperilaku dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di dalam penyelenggaraan negara, regulasi adalah instrument untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan negara dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Sebagai instrument untuk merealisasikan setiap kebijakan negara, maka regulasi harus dibentuk dengan cara yang benar sehingga mampu menghasilkan regulasi yang baik dan mampu mendorong terselenggaranya dinamika sosial yang tertib serta mampu mendorong kinerja penyelenggaraan negara (Kementerian PPN / Bappenas, 2015).
Maksud mulia yang hendak diwujudkan dari adanya suatu regulasi, yaitu terselenggaranya dinamika sosial yang tertib serta mampu mendorong kinerja penyelenggaraan negara, memang acapkali menimbulkan kegaduhan bahkan tidak jarang berujung pertumpahan darah. Apa pasalnya ? Suatu regulasi memang melibatkan banyak sekali faktor dan aktor dalam pembentukannya, dalam pelaksanaannya, dan juga dalam penegakannya. Maraknya pelaksanaan pra peradilan akhir-akhir ini menjadi contoh gambling tentang hal itu. Konotasi positif dalam jargon “law as social engineering” sudah berbelok arah dan sedang mengarah pada “law as social catasthroping”. Kata catasthrope dapat diartikan sebagai bencana besar atau kemalangan yang mendadak. (Oxford Dictionary, 2008). Sepertinya, hukum malah menjadi bencana bagi masyarakat, menjadi penyebab kemalangan dalam bermasyarakat. Pilkada DKI Jakarta, kasus korupsi E-KTP, uji materi perihal LGBT, adalah sedikit contoh terkini dari keadaan catasthroping itu.
Bagi kalangan tertentu, lagi-lagi, amatlah mudah untuk memberikan jawabannya, yaitu bahwa regulasi yang dibuat inkonsisten dengan peraturan perundangan diatasnya, inkonsisten dengan UUD 1945, dan yang termudah adalah dengan memberikan jawaban bahwa regulasi yang dibuat inkonsisten dengan Pancasila. Maka, penting untuk merenungi kalimat yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Regulasi atau peraturan perundang-undangan mengandung dua makna : produk dan proses. Sebagai suatu produk, peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan suatu konsep tunggal. Sebagaimana ditunjukkan pada namanya, ia merupakan pengertian kumpulan (Belanda : verzamelbegrip / Inggris : collective term) yang didalamnya tercakup berbagai jenis peraturan perundang-undangan, mulai dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Begitu pula sebagai proses, pembentukan berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut memiliki proses tersendiri yang dalam beberapa hal berbeda, disamping mengandung pula persamaan, antara jenis peraturan yang satu dengan lainnya.
Proses lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan setidaknya melewati 3 (tiga) koridor yang saling terkait; koridor administrasi, koridor akademik, dan koridor politik (Yusril Ihza Mahendra, 2004). (1) Koridor administrasi mensyaratkan dipatuhinya segala ketentuan yang mengatur mengenai proses pembentukan peraturan perundang-undangan; (2) koridor akademik menghendaki suatu rancangan peraturan harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademik; (3) koridor politik tidak saja menyangkut kelembagaan politik tetapi secara substansi rancangan peraturan tersebut harus mampu menyerap dan sejalan dengan aspirasi publik. Oleh karena itu, lahirnya suatu peraturan perundang-undangan merupakan hasil dari suatu proses yang tidak sederhana, bahkan dapat dikatakan kompleks karena banyak faktor dan aktor terkait yang harus mendapat perhatian dalam proses tersebut.
Seperti yang telah saya sebutkan, bahwa suatu regulasi memang melibatkan banyak sekali faktor dan aktor dalam pembentukannya, sekurangnya terdapat 5 teori yang telah dirangkum Otto, Stoter dan Arnscheidt (J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, 2004), yang dapat digunakan untuk menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan peraturan perundangan terhadap kualitas dan isi (content) dari peraturan perundangan, yaitu : (1) synoptic policy-phases theory (teori tahapan kebijakan sinoptik), (2) the agenda-building theory (teori pembentukan agenda), (3) the elite ideology theory (teori ideologi elit), (4) the bureaupolitics theory or organizational politics theory (teori politik-biro atau teori politik-organisasi), dan (5) the four rationalities theory (teori empat dimensi rasionalitas).
Menurut teori ini yang berbeda dari teori-teori lainnya dalam hal orientasi normatifnya, kebijakan dikembangkan oleh dan di bawah kendali lembaga-lembaga yang memiliki akuntabilitas politik, masing-masing dengan peran yang berbeda-beda. Adalah aktor-aktor politik yang dalam keseluruhan proses memegang peran utama, dalam artian bahwa merekalah yang menentukan muatan isi dari hukum. Pada lain pihak, fungsi utama pembentuk legislasi adalah memberikan nasehat. Mereka terutama memainkan peran sebagai penyedia norma. Teori tahapan kebijakan sinoptik pada prinsipnya merujuk pada kerangka ideal trias politica dan mengasumsikan bahwa birokrasi akan bersikap netral.
Teori pembentukan agenda dapat digambarkan sebagai pendekatan dari bawah (bottom-up approach). Dalam teori ini pembentukan legislasi tidak dipandang sebagai suatu proses yang terkelola maupun terarah dengan baik dari atas. Namun sebaliknya sebagai hasil akhir dari suatu proses sosial panjang di mana terjadi perbenturan ragam pihak dengan gagasan serta kepentingan yang berbeda-beda pula. Teori pembentukan agenda mencoba menunjukkan bahwa pembentuk legislasi bukanlah satu aktor tunggal yang utama, melainkan bahwa proses pembentukan legislasi merupakan proses transformasi yang kompleks serta panjang yang melibatkan dan dipengaruhi oleh ragam aktor dan sejumlah faktor yang berbeda-beda pula.
Teori ini menggambarkan bagaimana dalam kebanyakan negara-negara berkembang, sekelompok kecil elite politik yang angkuh dan tidak sabar, dengan mengeyampingkan partisipasi masyarakat, telah mencoba membuat dan memaksakan berlakunya legislasi baru yang sangat ambisius (dalam rangka mengubah mereka yang dianggap kurang atau tidak berkembang).
Teori ini memandang bahwa pembuatan kebijakan (policy making yang juga dapat diartikan secara luas mencakup pembentukan legislasi (lawmaking) tidak sekadar sebagai hasil dari proses rasional kehendak pemegang kekuasaan politik di mana bagian-bagian atau faktor-faktor yang bekerja di dalamnya dapat diidentifikasi satu persatu, namun juga tidak semata-mata sebagai proses yang muncul dari dan terbentuk oleh dinamika masyarakat (society driven) dengan nuansa kehendak politik dibaliknya. Sebaliknya teori ini juga memandang proses perumusan kebijakan sebagai perbenturan antara ragam sektor (biro) dalam administrasi pemerintahan.
Teori empat tipe rasionalitas mengesankan bahwa kebijakan pemerintah terdiri dari empat sistem atau ranah pemikiran yang berbeda dan masing-masing memiliki logikanya sendiri. Keempat sistem demikian dianggap kuran lebih otonom satu sama lain, namun sebaliknya menjadi terkait satu sama lain tatkala bersentuhan dengan kebijakan pemerintah: politik, hukum, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Rasionalitas yang mendasari keempat ranah tersebut kerap berjalan seiring dan selaras satu sama lain, namun sering juga mengajukan tuntutan yang saling berlawanan.
Kelima teori pembentukan peraturan perundangan diatas dirangkum dalam tabel berikut :
Kiranya kelima teori pembentukan peraturan perundangan yang diuraikan diatas dapat membantu kita untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi dalam pembentukan peraturan perundangan di Indonesia.
Tahun 2011, tepatnya bulan Agustus, Presiden RI kala itu, menandatangani Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang diundangkan tujuh tahun sebelumnya. Kedudukan kedua undang-undang yang saya sebutkan memang sangat strategis dalam sistem peraturan perundangan Indonesia, dibandingkan undang-undang lain yang manapun. Karena, nyaris tidak ada satupun undang-undang yang lahir sesudahnya tidak dipengaruhi oleh kedua undang-undang itu, baik bentuk, susunan, maupun tata cara pembentukannya. Bagi profesi legal drafter, kedua undang-undang tersebut pasti bukan ha lasing, karena mempedomani kedua undang-undang itu adalah wajib hukumnya. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 pada dasarnya dibentuk untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Tap MPR No. III/MPR/RI Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
Jauh sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dibentuk, Indonesia sudah pernah memiliki regulasi pembentukan peraturan perundangan dalam bentuk Undang-Undang dan Keppres, namun karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 20 Ayat (1) yang menentukan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, maka pada tahun 2011, dalam rangka penyempurnaan dan menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai pembentukan peraturan perundangan, maka kemudian Undang-Undang No. 12 Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.
Sebagai salah satu pilar penting dalam pembentukan peraturan perundangan, sebenarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sudah mengalami banyak “penyempurnaan” disbanding Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, diantaranya : (1) penambahan ketetapan MPR masuk ke dalam salah satu hierarki peraturan perundang-undangan, (2) cakupan perencanaan tidak hanya prolegnas dan prolegda saja namun juga mencakup peraturan perundang-undangan lainnya, (3) pengaturan mekanisme pembahasan rancangan undang-undang, (4) pengaturan naskah akademik sebagai persyaratan sebuah rancangan undang-undang, (5) pengikutsertaan peneliti dan akademisi dalam penyusunan rancangan undang-undang, serta (6) penambahan teknik penyusunan rancangan undang-undang dalam Lampiran 1. Meskipun demikian, Undang-Undang ini juga tak lepas dari masalah karena “kekurangan” yang terkandung didalamnya. Baru berumur satu tahun, Undang-Undang ini sudah kena semprit Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Melalui Putusan itu pula, MK dapat dikatakan telah “mengembalikan” kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam legislasi sebagaimana digariskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Putusan itu, MK mengabulkan sebagian permohonan DPD selaku Pemohon untuk membatalkan beberapa ketentuan dalam UU yang dinilai mereduksi kewenangan DPD dalam proses legislasi. Bagi saya, putusan MK ini bukan sekedar soal “pengembalian” kewenangan konstitusional DPD semata tetapi lebih pada persoalan terjadinya sebuah inkonsistensi, yaitu “penghilangan mandat konstitusional” sebuah lembaga negara yang seharusnya memiliki kewenangan legislasi. Tentang bagaimana implikasi dan implementasi Putusan MK adalah persoalan lain, bagi saya yang tidak kalah penting justru adalah, bagaimana dengan “belantara ribuan” peraturan perundangan yang lainnya yang ada di Republik yang kita cintai ini, yang jumlahnya disajikan dalam grafik berikut ini, yaitu Regulasi Yang Terbit 2000-2015. Bagaimana jika inkonsistensi semacam itu juga terjadi pada peraturan perundangan yang lain dan apa pula dampaknya ?
Regulasi tersebut diatas dapat dibagi lagi ke dalam berbagai kategori dan tersebar dalam bentuk peraturan di tingkat pusat dan daerah dengan sebaran sebagai berikut :
Berbagai peraturan perundangan yang datanya disajikan nyatanya juga tidak sepi dari berbagai masalah. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah pengajuan judicial review undang-undang yang diajukan ke MK seperti yang disajikan dalam data berikut :
Pada skala regional, wajah muram peraturan perundangan kita juga dapat dilihat dari Worldwide Governance Indicator.
Indikator Worldwide Governance diterbitkan oleh Bank Dunia (World Bank) terkait dengan Regulatory Quality yang menunjukkan dukungan dari segi kemudahan berusaha (ease of doing business), diukur dalam peringkat persentil (percentile rank). Dalam gambar tersebut disajikan perbandingan Regulatory Quality untuk Asia Tenggara dan Republik Korea. Untuk regional Asia Tenggara, Indonesia selama lima tahun berturut-turut belum bisa beranjak dari posisi ketiga dari bawah, hanya diatas Vietnam dan Cambodia.
Saya sudah sajikan data-data yang menunjukkan betapa tidak menyenangkan kondisi peraturan perundangan kita itu. Gemuk, tidak harmonis, tidak konsisten, dan saling tumpang tindih. Regulasi pusat maupun regulasi daerah seharusnya terintegrasi didalam Sistem Regulasi Nasional (SRN). Di dalam Sistem Regulasi Nasional berlaku kaidah-kaidah tertentu yang berfungsi untuk menjaga eksistensi sistem itu sendiri. Di antara kaidah tersebut adalah azas bahwa regulasi dengan strata yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan regulasi dari tingkat strata yang lebih tinggi. Selain itu, ada asas keadilan yang melarang pembentukan regulasi yang diskriminatif, dan sebagainya.
Kegagalan menjaga Sistem Regulasi Nasional berdampak pada turunnya kualitas regulasi serta tidak terkendalinya kuantitas regulasi. Padahal, buruknya kualitas dan tidak terkendalinya kuantitas regulasi berdampak terhadap efektivitas dan efisiensi regulasi. Regulasi merupakan landasan formal dari setiap tindakan, baik dalam rangka mengawal dinamika masyarakat maupun penyelenggaraan negara.
Dari perspektif ekonomi atau lingkungan, dampak dari kegagalan pengelolaan Sistem Regulasi Nasional tercermin, antara lain, dari hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi. Sebagai komponen utama di dalam kegiatan penyelenggaraan negara, kualitas dan kuantitas regulasi harus dikelola dengan baik supaya mampu menghasilkan regulasi yang sederhana dan tertib. Di sini sederhana bermakna jumlahnya proporsional, mudah dipahami, dan dipatuhi. Sedangkan tertib berarti regulasi-regulasi dibentuk dengan memperhatikan kaidah-kaidah sistem regulasi yang berlaku. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam pembentukan regulasi, diharapkan terwujud Sistem Regulasi Nasional yang sederhana dan tertib sehingga lebih mampu mendukung berfungsinya regulasi secara efektif dan efisien.
Dengan berbagai data yang sudah disajikan, serta contoh adanya beberapa kasus yang sudah diuraikan di awal, maka tidak bisa dihindari bahwa Indonesia perlu bersegera untuk melakukan reformasi regulasi. Reformasi Regulasi adalah perubahan-perubahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas regulasi, baik secara individual maupun integral (terintegrasi dalam suatu sistem regulasi yang komprehensif dan utuh). Definisi Reformasi Regulasi tersebut merupakan definisi umum yang digunakan di berbagai negara.
Kita tengah berada di tengah pergaulan antar negara dan antar bangsa. Hubungan kerjasama antar negara dan antar bangsa yang semula bersifat politik itu, kini mulai bergeser kearah hubungan yang sifatnya ekonomi. Kerjasama dalam bidang ekonomi, sesungguhnya adalah sebuah persaingan / rivalitas yang mengedepankan daya saing, dan peningkatan daya saing adalah kata kunci untuk memenangkan persaingan / rivalitas itu. Peningkatan daya saing tidak lain adalah peningkatan efisiensi, yang artinya menekan pemborosan menjadi sekecil mungkin. Bahasa umum yang digunakan untuk menilai efisiensi tidak lain dan tidak bukan adalah cost (biaya). Disinilah arti penting reformasi regulasi. Kalau pelabuhan Singapura bisa melakukan bongkar muat barang dengan waktu tunggu hanya satu hari, mengapa di Indonesia harus memerlukan lima hari ? Andai saja kita mampu meniru Singapura, bayangkan berapa cost yang bisa dihemat dan apa dampaknya bagi ekonomi kita.
Di negara-negara berkembang, bahkan di negara yang sudah maju sekalipun, reformasi regulasi sudah menjadi kebutuhan bahkan cenderung menjadi tradisi. Berikut ini akan dibahas bagaimana negara-negara lain melakukan reformasi itu. Korea Selatan akan dibahas secara ringkas sebagai contoh. Menyadari kelemahan akan kelangkaan sumber daya, ketiadaan teknologi produksi, serta berbagai hambatan dan kelemahan pada sektor swasta, negara ini secara ajaib telah mampu mentransformasi diri. Samsung, Hyundai, Daewoo, LG adalah beberapa symbol kedigjayaan mereka di kancah dunia. Tidak bisa dipungkiri bahwa symbol-simbol itu mendunia karena ditopang oleh regulasi yang mereka miliki.
Sesekali tengoklah laman website berikut ini : http://elaw.klri.re.kr/eng_service/main.do, dalam web itu kita bisa melihat bagaimana negara ini mengelola peraturan perundangannya. Sistematis, simpel, dan integratif. Tahun 2010 Korea memperoleh penghargaan terbaik di dunia dalam bidang e-Government yang diberikan oleh PBB. Selain itu, Korea juga menduduki peringkat atas dalam industry semi konduktor, otomotif, peralatan elektronik, serta industry perkapalan (Tri Widodo W Utomo, 2013). Presiden Kim Dae-Jung melakukan reformasi yang menyeluruh hingga mampu mengubah wajah bangsanya. Reformasi di Korsel dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni reformasi birokrasi (public sector reform), reformasi perekonomian (public company reform), serta reformasi regulasi (regulation reform). Ketiga bentuk reformasi tersebut difokuskan pada beberapa hal strategis, yakni perampingan kementerian dan penggabungan lembaga-lembaga pemerintah, outsourcing fungsi-fungsi tertentu, serta restrukturisasi dan privatisasi perusahaan milik negara. Dari ketiga program reformasi, reformasi regulasi mendapat bobot yang sangat tinggi. Presiden Kim menginstruksikan dilakukannya pencabutan peraturan (deregulasi) sebesar 50% di seluruh kementerian atau sektor-sektor pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan perizinan. Tujuan dari deregulasi ini adalah untuk menyederhanakan prosedur perizinan dan lebih memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat, termasuk sektor bisnis. Reformasi regulasi juga dimaksudkan untuk menutup ruang-ruang kepatuhan semu dan potensi korupsi. Apa yang dimaksud dengan kepatuhan semu ? Sebagai contoh, aturan tentang batas kecepatan maksimal kendaraan di jalan tol diubah dari 100 km/jam menjadi 130 km/jam. Dalam praktiknya, banyak kendaraan yang mematuhi aturan tersebut jika ada polisi, dan jika terdapat pelanggaran akan terjadi upaya “negosiasi” sebagai model resolusinya.
Sistem hukum di Korea Selatan memiliki kemiripan dengan Indonesia. Peraturan perundangan tertulis adalah sumber hukum utama. Legislasi terdiri dari Constitution (Konstitusi), Acts (Undang-Undang), dan peraturan dibawahnya yang mencakup Orders, Rules of Local Governments, dan seterusnya. Keseluruhan legislasi dibagi kedalam lima kelas seperti diperlihatkan dalam bagan berikut :
Pemerintah Korea Selatan mulai melakukan langkah-langkah yang bersifat reformatif sejak 1981. Reformasi administrasi dan deregulasi pun dipandang penting untuk diintegrasikan ke dalam agenda pemerintahan yang baru. Pada masa itu, Reformasi Regulasi masih dipandang sebagai bagian dari reformasi administrasi sampai pertengahan 1990-an. Namun, di masa pemerintahan Kim Young-Sam, tahun 1993 menjadi tahun titik awal dimulainya keterlibatan swasta dalam proses perumusan kebijakan. Beberapa lembaga reformasi dibentuk dalam lingkungan pemerintahan, yakni, Presidential Committee on Administrative Reform dan The Economic De-regulation Committee. The Economic Deregulation Committee dibentuk berdasarkan arahan presiden, sementara Presidential Committee on Administrative Reform dibentuk melalui keputusan Presiden. Lembaga ini mulai menyelenggarakan Reformasi Regulasi dari Februari 1993 sampai Februari 1998.
Regulatory Reform System yang dikembangkan Korea Selatan adalah sebagai berikut :
Pada 1997, dalam rangka menyelenggarakan Reformasi Regulasi secara terpadu, Korea Selatan memberlakukan The Basic Act on Administrative Regulation (BAAR). Menurut The Basic Act on Administrative Regulation, tujuan dari Reformasi Regulasi dapat dipahami sebagai cara untuk meningkatkan kualitas hidup dan daya saing nasional melalui penghapusan / pencabutan regulasi yang tidak diperlukan dan mencegah regulasi baru yang tidak efisien. Melalui The Basic Act on Administrative Regulation, pemerintah berusaha untuk menyatukan seluruh kemungkinan terbaik, instrumen-instrumen, serta upaya Reformasi Regulasi ke dalam satu “single central body” yang mempunyai kewenangan yang memadai. Eksistensi Reformasi Regulasi ini pun didasarkan pada Undang-Undang tentang The Basic Act on Administrative Regulation.
Korea Selatan, yang terdampak krisis keuangan pada pertengahan 1990-an, mulai melakukan Reformasi Regulasi dengan cara memangkas kurang lebih 50 persen dari semua regulasi yang berkaitan dengan pelayanan publik, terutama yang berkaitan dengan penanaman modal. Oleh karena simplikasi ini dilakukan secara cepat dan masif, maka beberapa pakar menyebut pendekatan simplikasi regulasi di Korea Selatan ini sebagai “Guillotine Approach”. Selain komitmen semua unsur penyelenggaranya, salah satu kunci keberhasilan Reformasi Regulasi di Korea Selatan adalah adanya dukungan politik yang kuat dari Presiden yang memberikan instruksi kepada semua institusi jajarannya untuk melakukan pemotongan regulasi di bawah kewenangannya sebanyak 50 persen. Dengan instruksi presiden tersebut, beberapa capaian pun dihasilkan.
Pelajaran yang bisa ditarik dari Korea Selatan adalah :
Berdasarkan uraian diatas serta mencermati kondisi peraturan perundangan di Indonesia seperti yang telah diuraikan, izinkan saya menyampaikan rekomendasi dalam rangka reformasi regulasi yang sudah mendesak untuk segera dilakukan :
Pertama, melakukan evaluasi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah;
Kedua, merumuskan kebijakan reformasi pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka membentuk politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pembaharuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dengan mempertimbangkan best practices dari negara-negara lain sesuai dengan kebutuhan, meliputi jenis peraturan, materi muatan, kewenangan, sistem pembentukan dan sistem evaluasi.
Ketiga, penguatan kelembagaan, meliputi revitalisasi fungsi, tugas, wewenang, hak, dan kewajiban serta hubungan antarlembaga.
Demikian orasi ilmiah yang dapat saya sampaikan sekaligus sebagai sumbang saran bagi perkembangan ilmu perundang-undangan yang merupakan bagian dari ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Saya merasa tidka memiliki hak untuk mengklaim bahwa apa yang saya sampaikan adalah sesuatu yang mutlak benar, karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang mengikuti zamannya. Ini adalah upaya kecil seorang hamba Allah dalam rangka searching for the truth yang memang harus terus menerus dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab seorang ilmuwan terlebih yang berkecimpung di dunia pendidikan.
Dalam kesempatan yang membanggakan ini sudah selayaknya ucapan terimakasih saya haturkan kepada para pendahulu-pendahulu kita yang telah membangun dan mengembangkan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Mempertahankan dan mengembangkan adalah menjadi tugas kita bersama sebagai generasi penerus agar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro semakin mendapat tempat dan berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dirgahayu Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke-61!
KalbarOnline - Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu tayang di bioskop Indonesia mulai Kamis, 21…
KalbarOnline - Baru-baru ini, Nana Mirdad curhat lewat akun Instagram pribadinya soal pengalaman tidak menyenangkan…
KalbarOnline, Pontianak - Dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan peralatan medis di Kalimantan Barat, Pemerintah Provinsi…
KalbarOnline, Sambas - Dalam rangka optimalisasi lahan (oplah) pertanian di Kalimantan Barat, Menteri Pertanian RI,…
KalbarOnline, Ketapang - Anggota DPRD Kabupaten Ketapang dari Fraksi Partai Demokrat, Rion Sardi melakukan reses…
KalbarOnline, Ketapang - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ketapang bakal membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk menangani…