Oleh: Yulisza Syahtiani, S.Psi., M.Si.*
Meskipun pihak kepolisian telah mengumumkan hasil penyidikannya bahwa Yodi Prabowo (YP), editor Metro TV yang ditemukan tewas di pinggir jalan tol JORR Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta, pada Jumat, 10 Juli 2020, diduga kuat bunuh diri, namun sejumlah pihak masih mempertanyakan hasil tersebut. Orangtua YP hingga saat ini masih terus berupaya membuktikan bahwa YP dibunuh bukan bunuh diri. Juga beberapa ahli yang turut mengamati peristiwa ini menyampaikan analisisnya terkait kemungkinan bahwa YP bukan bunuh diri melainkan dibunuh. Menanggapi respon ini, pihak kepolisian menyatakan bahwa kasus bisa dibuka kembali jika ada bukti baru yang muncul.
Di tengah kontroversi ini, saya mencoba memberikan sudut pandang lain berdasarkan perspektif psikologi. Dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya Jakarta pada Sabtu, 25 Juli 2020, pihak kepolisian menyimpulkan bahwa editor MetroTV yang ditemukan tewas pada Jumat, 10 Juli 2020, di pinggir jalan tol JORR Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta, diduga kuat bunuh diri.
Dugaan ini didasarkan pada hasil investigasi penyidik sebagai berikut: kondisi jenazah ditemukan dengan berpakaian lengkap, masih mengenakan helm dan jaket, posisi tubuhnya tertelungkup ke bawah, dengan kedua tangan berada di bawah tubuhnya, dan pisau yang diduga digunakan sebagai alat untuk membunuhnya juga ditemukan di bawah tubuhnya. Di pisau itu terdapat DNA korban dan hanya sidik jari korban. Tidak ada yang hilang dari barang-barang serta identitas yang dibawa korban saat itu. Motor dengan kunci yang masih menempel, ditemukan warga pada hari Rabu tanggal 08 Juli 2020, sekitar pukul 02.00 WIB. Namun jenazah baru ditemukan 3 hari setelahnya. Di sekitar TKP juga tidak ditemukan jejak lain yang mengindikasikan adanya perlawanan, seandainya korban dibunuh. Juga pada tubuh korban tidak ada luka lain selain 4 luka tusukan penyebab kematiannya. Tak ada lebam pada tubuh korban yang mungkin diduga akan muncul jika ada perlawanan.
Hasil penyidikan kepolisian juga menyebutkan bahwa pada Selasa, 7 Juli 2020, di mana korban terakhir kali terlihat, menyempatkan diri membeli pisau di toko Ace Hardware, Rempoa, pada pukul 14.20, setelah itu YP langsung berangkat ke kantor. Pisau inilah yang kemudian diketahui digunakan sebagai alat untuk membunuh korban. Di kantor YP melakukan tugasnya seperti biasa bahkan mampu mengedit 4 berita yang akan ditayangkan. Amfetamin yang ditemukan pada tubuh YP diduga polisi sebagai obat stimulan yang mampu memunculkan keberanian dalam melakukan tikaman pada tubuhnya sendiri.
Terekam di media massa pernyataan Pemimpin Redaksi Metro TV bahwa perilaku korban dalam pekerjaannya bukan tergolong orang yang problematik. Namun pihak kepolisian mendapatkan keterangan bahwa sempat ada masalah dengan kekasihnya namun masalah itu sudah terselesaikan.
Beberapa hari sebelum kematian, korban ditemukan memeriksakan diri ke dokter kulit dan kelamin RSCM dan dokter memintanya untuk melakukan tes HIV. Namun sebelum hasil tes tersebut diambil, korban sudah meninggal. Berdasarkan investigasi, keterangan saksi dan ahli forensik, bunuh diri yang dilakukan korban dipicu dari depresi. Pemicu paling kuat depresi yang berujung pada tindakan bunuh diri adalah pemeriksaan korban di RSCM tersebut.
Pihak keluarga hingga saat ini membantah perilaku depresi korban. Ibu korban memberikan pernyataannya pada acara Mata Najwa pada tanggal 29 Juli 2020 bahwa siang harinya sebelum kejadian, korban berperilaku seperti biasa bahkan bercanda dan tertawa bersama adiknya. Kekasih dan Ibu YP di media massa menyampaikan juga ada orang ketiga dalam hubungan cinta YP dengan SFR. Namun SFR menyatakan bahwa persoalan itu sudah selesai, meski Ibu YP menyatakan bahwa orang ketiga ini sempat terus mengejar YP bahkan terobsesi untuk memiliki YP.
Dalam perspektif psikologi, keadaan mental seseorang sebelum kematian dapat diketahui menjadi motif kematian seseorang. Apakah kematiannya terjadi secara alami, tidak sengaja atau kecelakaan, dibunuh atau bunuh diri.
Orang yang memiliki niat bunuh diri cenderung menunjukan sinyal akan niatan mereka secara jelas seperti memberitahu orang lain tentang pikiran ingin bunuh diri mereka tetapi cenderung menyembunyikan niatan tersebut (Jeffrey S. Nevid et al, Psikologi Abnormal di Dunia Yang Terus Berubah, 2018). Berdasarkan keterangan ahli psikologi forensik yang terlibat dalam investigasi di kepolisian, sinyal ini memberikan kontribusi utama dalam indikasi niatan bunuh diri YP. Sinyal ini ditemukan pada YP yang disampaikan langsung kepada kekasihnya SFR. “Kalau nanti aku engga ada, kamu sedih enggak?”
Orang yang memiliki niat bunuh diri juga secara tiba-tiba mencoba menyelesaikan urusan mereka, membeli senjata meskipun tidak berminat pada senjata bahkan tampak merasa damai, merasa lega karena mereka tidak lagi berurusan dengan masalah kehidupan dunia. Indikator ini ditemukan pada YP melalui investigasi kepolisan bahwa YP mati dengan pisau yang dibelinya sendiri di toko Ace Hardware pada siang hari sebelum kematiannya. Setelah membeli pisau YP langsung berangkat ke kantor dan melakukan tugasnya seperti biasa bahkan mampu mengedit 4 berita yang akan ditayangkan di hari itu. Di acara Mata Najwa, Ibu YP menyatakan bahwa siang hari sebelum ke kantor YP terlihat bercanda dengan adiknya.
Mengapa Seseorang Bunuh Diri?
Bunuh diri bukan gangguan psikologis, namun simtom dari gangguan psikologis seringkali melandasi munculnya tindakan bunuh diri. Selain itu, pemikiran bunuh diri juga tidak serta merta menyiratkan hilangnya kontak dengan realitas, konflik tak sadar, atau pun gangguan kepribadian. Memiliki pikiran bunuh diri biasanya mencerminkan tidak ada jalan keluar terbaik selain kematian.
Lalu, apakah betul YP bunuh diri karena depresi? Jika mengutip pernyataan psikolog forensik di tirto.id pada 27 Juli 2020 bahwa jika YP depresi, pekerjaan YP akan terganggu begitu pula hubungannya dengan orang lain. Jika demikian, bagaimana jika YP bunuh diri bukan karena depresi. Bagaimana jika YP bunuh diri yang oleh Nevid dilabeli dengan bunuh diri rasional? Bunuh diri rasional terjadi karena adanya keyakinan bahwa mereka mendasarkan tindakannya pada keputusan rasional bahwa hidup tidak lagi layak dijalani. Selain itu perspektif teoritikus sosial-kognitif berpendapat bahwa bunuh diri mungkin dimotivasi oleh ekspektasi pribadi, seperti keyakinan bahwa:
1. Seseorang akan dirindukan oleh orang lain
2. Orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah memperlakukan orang lain dengan tidak baik
3. Bunuh diri akan mengatasi masalahnya sendiri atau bahkan masalah orang lain.
Merujuk pada tiga motif di atas, pesan terakhir YP kepada SFR cocok dengan motif pertama, yaitu YP ingin menjadi orang yang dirindukan oleh SFR. “Kalau nanti aku enggak ada, kamu sedih enggak?”
Jika merujuk pada analisis kepolisian bahwa motif bunuh diri dikarenakan YP memiliki dugaan adanya penyakit kelamin yang menjangkit YP sementara YP sudah memiliki rencana untuk menikahi kekasihnya di tahun depan, motif ketiga di atas bisa memiliki kecocokan jika dugaan ini ada dalam pikiran YP bahwa jika YP positif mengidap HIV, maka hidup YP pasti menderita dan pasti berakhir dengan kematian. Selain itu, jika dalam kondisi berpenyakit HIV, YP akan menulari penyakitnya kepada istri dan anaknya kelak yang juga akan berakhir pada minimnya kualitas hidup dan kematian mereka. Maka jika YP saja yang mati, otomatis masalahnya dan masalah orang lain akan teratasi.
Kemudian bagaimana dengan temuan amfetamin pada tubuh YP? Efek amfetamin, jika digunakan dalam dosis tinggi dapat menyebabkan euforia yang amat sangat. Ketergantungan amfetamin juga dapat menyebabkan insomnia bahkan hipersomnia. Tindakan impulsif dan agresi juga dapat terjadi pada penggunaan amfetamin melalui jarum yang disuntikkan ke dalam vena. Lalu apakah YP menggunakan amfetamin hanya ketika akan melakukan bunuh diri, atau YP sudah beberapa kali menggunakan amfetamin yang efek ketergantungannya belum dikenali secara jelas oleh orang-orang sekitarnya?
Jika YP bukan seorang yang memiliki penyimpangan seksual atau penganut free sex, maka motif pemeriksaan YP di klinik kulit dan kelamin yang disertai adanya rekomendasi dokter untuk cek laboratorium terkait dugaan HIV, memunculkan keyakinan subyektif YP mengidap penyakit HIV yang disebabkan oleh penggunaan jarum suntik ketika beberapa kali mengkonsumsi amfetamin. Namun tidak adanya penjelasan lebih jauh dari kepolisian perihal seberapa jauh penggunaan amfetamin pada YP, sehingga untuk membuktikan kebenaran kasus kematian YP bisa dilakukan investigasi lebih lanjut dari pihak kepolisian.
==========
* Yulisza Syahtiani adalah Dosen Fakultas Psikologi Universitas Azzahra, Jakarta, Pengurus Asosiasi Psikologi Forensik Perwakilan Wilayah Banten, dan Kandidat Doktor Psikologi di UPI YAI, Jakarta.
KalbarOnline, Pontianak - Calon Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) nomor urut 1, Sutarmidji menjadi tamu spesial…
KalbarOnline, Pontianak-Calon Gubernur Kalbar nomor urut 1, Sutarmidji nyekar ke makam kedua orang tuanya, HM…
KalbarOnline - Film We Live in Time mempertemukan Andrew Garfield dan Florence Pugh. Film garapan…
KalbarOnline - Kamis (21/11/2024) harga emas mencapai level tertinggi dalam lebih dari seminggu. Setelah prospek…
KalbarOnline, Pontianak - Penjabat Ketua TP PKK Provinsi Kalimantan Barat, Windy Prihastari yang juga selaku…
KalbarOnline, Pontianak - Masyarakat Kota Pontianak masih menginginkan Sutarmidji kembali menjadi Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar)…