KalbarOnline.com – Selandia Baru sukses menekan angka penularan Covid-19. Hanya sedikit negara yang berhasil melakukannya. Namun, sama seperti mayoritas negara lain, mereka harus mengorbankan perekonomiannya. Negara yang dipimpin Perdana Menteri Jacinda Ardern itu mengalami resesi terburuk sejak 1987.
Pada kuartal II 2020, produk domestik bruto (PDB) Selandia Baru merosot hingga 12,2 persen. Pemicu utamanya adalah lockdown dan penutupan perbatasan. Masalah ekonomi itu akan jadi isu panas menjelang pemilu bulan depan.
Jubir pemerintah Paul Pascoe mengakui, langkah-langkah pencegahan penularan Covid-19 yang diterapkan sejak 19 Maret lalu berdampak besar pada sejumlah sektor ekonomi. ’’Industri ritel, akomodasi, restoran, dan transportasi mengalami penurunan signifikan karena terdampak langsung oleh larangan perjalanan internasional dan lockdown seluruh negeri,’’ tegasnya, sebagaimana dikutip Agence France-Presse.
Pemerintah berharap respons mereka atas pandemi Covid-19 berdampak pada pemulihan ekonomi dengan cepat. Menteri Keuangan Grant Robertson menegaskan, angka PDB tersebut lebih baik daripada yang mereka perkirakan. Sejumlah pakar juga memperkirakan perekonomian Selandia Baru kembali melejit di kuartal III.
Negara berpenduduk 5 juta jiwa itu sudah menyatakan bebas virus, meski masih ada beberapa kasus yang aktif. Mereka yang positif sudah ditangani di pusat karantina. Sepanjang pandemi, hanya ada 25 kematian akibat Covid-19 di Selandia baru. Penduduk juga mulai beraktivitas seperti sediakala.
’’Bahkan, dengan tambahan larangan baru-baru ini, posisi penduduk yang kembali beraktivitas masih lebih baik ketimbang Australia,’’ terang Ardern.
Perbatasan internasional Selandia Baru diprediksi baru akan dibuka pada Januari 2022. Peluang ekonomi memburuk masih ada. Meski begitu, survei menunjukkan bahwa dukungan penduduk terhadap strategi pemerintah untuk mengatasi Covid-19 masih tinggi. Selandia Baru juga tak sendiri. Saat ini, setidaknya ada 28 negara yang mengalami resesi sejak terjadinya pandemi.
Menurut Ananish Chaudhuri, profesor bidang ekonomi di Auckland University, lockdown saja memang tak cukup. Penutupan perbatasan dalam jangka waktu lama seperti Selandia Baru harus dilakukan untuk menghindari penularan. Jika tidak, mayoritas populasi di dunia harus divaksinasi. Itu akan jadi tantangan logistik tersendiri.
Masalah lainnya, tak semua negara mampu membeli vaksin yang mahal. Oxfam mengungkapkan, lebih dari separo dosis dari lima jenis vaksin yang menjanjikan sudah dipesan oleh negara-negara kaya.
Sebanyak 51 persen produksi vaksin dibeli oleh negara yang hanya merepresentasikan 13 persen dari populasi dunia. Jika lima vaksin itu akhirnya berhasil dibuat dan diproduksi, sekitar 61 persen populasi dunia harus menunggu hingga 2022.
’’Akses atas vaksin yang bisa menyelamatkan nyawa itu seharusnya tidak bergantung pada di mana Anda tinggal atau berapa banyak uang yang Anda miliki,’’ tegas Robert Silverman dari Oxfam America.
Saksikan video menarik berikut ini:
KalbarOnline - Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu tayang di bioskop Indonesia mulai Kamis, 21…
KalbarOnline - Baru-baru ini, Nana Mirdad curhat lewat akun Instagram pribadinya soal pengalaman tidak menyenangkan…
KalbarOnline, Pontianak - Dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan peralatan medis di Kalimantan Barat, Pemerintah Provinsi…
KalbarOnline, Sambas - Dalam rangka optimalisasi lahan (oplah) pertanian di Kalimantan Barat, Menteri Pertanian RI,…
KalbarOnline, Ketapang - Anggota DPRD Kabupaten Ketapang dari Fraksi Partai Demokrat, Rion Sardi melakukan reses…
KalbarOnline, Ketapang - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ketapang bakal membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk menangani…