KalbarOnline.com – Pandemi di tanah air sudah memasuki bulan ketujuh. Tenaga kesehatan (nakes) tetap menjadi garda depan dalam penanganan virus tersebut. Ironisnya, hak-hak mereka tak kunjung terpenuhi.
Hal itu tampak dari hasil survei yang dipaparkan Koordinator Tim Bantuan Residen Jagaddhito Probokusumo.
Survei itu meneliti kondisi dokter residen atau mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Survei dilakukan di 17 perguruan tinggi negeri (PTN) yang menyelenggarakan PPDS. ”Pada saat pandemi, jam kerja residen rata-rata 60 jam seminggu. Sebelum pandemi 80 jam seminggu,” ujar Jagaddhito. Jam kerja mereka kini berkurang karena masyarakat khawatir datang ke rumah sakit. Pengurangan jam kerja itu berimbas pada kompetensi dokter residen. Sebab, mereka belajar dari kasus pasien yang dihadapi setiap hari.
Untuk diketahui, Indonesia belum memiliki batas jam kerja bagi dokter residen. Dengan begitu, jumlah jam kerja masing-masing pusat pendidikan berbeda. Negara lain, contohnya Inggris, sudah memiliki batas jam kerja per minggu. Yakni, 64 jam. ”Di Amerika sudah ada fleksibilitas jam kerja. Ini untuk merespons pandemi,” ujarnya dalam rapat koordinasi pemaparan survei residen.
Baca juga: Oknum Dokter Rapid Test Bandara Soetta Ditangkap Bersama Istrinya
Jagaddhito mengatakan, banyak dokter residen yang mendapatkan alat pelindung diri (APD) dari donasi maupun membeli sendiri. Yang disayangkan, 31 persen residen yang menjadi responden belum pernah menjalani tes swab PCR. Hingga 21 September, ada 978 dokter residen yang positif Covid-19. ”Dari survei terlihat 25,9 responden mengalami kejenuhan,” tuturnya.
Kemarin (25/9) Jawa Pos menghubungi Koordinator Residen Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dr Jacob Pajan. Dokter yang mengambil pendidikan spesialis bedah itu menyatakan, pada awal pandemi ada kesulitan mencari APD. ”Namun, sekarang bisa kami akali. Hampir sebagian besar APD berasal dari sumbangan atau usaha sendiri,” ucapnya.
Di rumah sakit tempatnya bertugas, APD lengkap cukup terbatas. Biasanya hanya untuk mereka yang berjaga di ruang isolasi dan IGD. Itu pun harus disiasati dengan hanya dua dokter yang berjaga di ruang isolasi. ”Masker bedah sudah disediakan, tapi kami memilih memakai masker rebreathing yang beli sendiri,” tuturnya.
Sementara itu, tes swab belum rutin dilakukan. Tes swab kepada residen dilakukan ketika ada kasus positif dan terlibat kontak dekat. Alasannya, menurut Jacob, ketersediaan reagen di daerahnya minim.
Koordinator Dokter Residen Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dr Mochamad Sri Arya Heriawan mengatakan hal senada. Arya yang dihubungi kemarin via telepon mengungkapkan, reagen di wilayahnya mencukupi. Namun, bahan habis pakai (BHP) yang digunakan untuk melakukan tes swab tidak cukup. ”Yang saya ketahui, di setiap center pendidikan belum ada tes swab berkala. Seharusnya dibuatkan regulasinya,” tuturnya.
Kerap bersinggungan dengan pasien membuatnya waswas. Apalagi, ada dua dokter residen bagian anestesi yang positif Covid-19. Satu di antaranya sudah menggunakan ventilator. Untuk satunya lagi, kondisinya lebih baik. Namun, Arya sempat melakukan kontak dekat ketika mereka menangani pasien di ruang operasi.
Dia berharap ada regulasi yang mengatur pemeriksaan pasien sejak awal masuk. Misalnya, dilakukan rapid test. Dengan begitu, dokter tak waswas untuk menangani.
Baca juga: FK Unair Lantik 209 Orang, Anak Sopir Dikukuhkan Jadi Dokter Muda
Dikonfirmasi terpisah, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam menegaskan, sejak awal pihaknya sangat concern pada para mahasiswa kesehatan yang sedang menjalani proses belajar di rumah sakit. Terutama para residen. ”Survei tersebut saya yang meminta karena kita prihatin dengan kondisi residen,” ujarnya.
Berangkat dari kajian awal yang dilakukan para residen, menteri pendidikan dan kebudayaan pun akhirnya mengeluarkan surat edaran (SE). Isinya tentang permintaan kepada fakultas kedokteran maupun rumah sakit pendidikan untuk menjaga dan melindungi kesehatan residen. Caranya dengan memberikan APD yang sesuai standar, membantu keringanan UKT, memberikan waktu istirahat yang sesuai standar, serta dukungan kesehatan lainnya.
”Setelah berkoordinasi dengan Kemenkes, akhirnya Kemenkes juga memberikan insentif untuk residen yang menangani Covid-19,” jelas guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Selain itu, lanjut dia, pada awal Maret, pihaknya mengupayakan adanya realokasi anggaran dikti untuk membantu penyediaan APD. Lebih dari 100 ribu paket APD telah disalurkan ke sejumlah fakultas kedokteran.
Namun, setelah itu kewenangan dan koordinasi ada di gugus tugas. Dikti sudah secara rutin melaporkan ke gugus tugas terkait kebutuhan tersebut. Di samping pengajuan langsung oleh fakultas kedokteran kepada gugus tugas. ”Kami juga terus berkoordinasi dan memantau perkembangan di lapangan,” katanya.
Saksikan video menarik berikut ini:
KalbarOnline, Pontianak - Uang korupsi pembangunan Gedung Balai Pendidikan dan Pelatihan Transportasi Darat (BP2TD) di…
KalbarOnline, Kapuas Hulu - Calon Wakil Gubernur Kalimantan Barat nomor urut 1, Didi Haryono menyempatkan…
KalbarOnline - Jalan kaki merupakan salah satu bentuk aktivitas fisik yang paling sederhana dan mudah…
KalbarOnline, Kapuas Hulu - Calon Wakil Gubernur Kalimantan Barat nomor urut 1, Didi Haryono diminta…
KalbarOnline, Pontianak - Ketua DPW Partai Nasdem Kalimantan Barat sekaligus Ketua Tim Pemenangan Pasangan Midji-Didi,…
KalbarOnline, Jakarta - PT PLN (Persero) terus menggalang kolaborasi global demi mendukung upaya pemerintah dalam…