Indonesia sudah masuk kategori negara darurat hoaks. Banyak kalangan sudah berusaha keras mengatasinya. Sebegitu jauh, hoaks masih merajalela. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai kreasi, inovasi, dan terobosan guna mengatasi hoaks berbasis kearifan lokal.
Peluang tersebut sangat memungkinkan mengingat Indonesia kaya dengan kearifan lokal. Karena tidak kurang memiliki 1.340 suku bangsa (BPS 2010) dan 652 bahasa (Kemendikbud). Kearifan lokal dengan berbagai ragam khasanah kebudayaan tersebut telah lama menjadi penyangga tata kehidupan masyarakatnya sehingga masyarakat Indonesia di masa lalu dikenal hidup tentram dan harmonis. Hoaks yang kini merajalela telah mengusik dan merusak berbagai ketentraman dan keharmonisan tersebut masyarakat maupun bangsa.
Secara terminologis, menurut Sony A. Kerap dalam buku “Etika Lingkungan” (2002), kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya. Sedangkan menurut Edi Sedyawati (2006:381), kearifan lokal dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika.
Suswandari (2017:37) berpendapat, kearifan lokal mempunyai fungsi: 1). Penanda identitas komunitas, 2). Elemen perekat lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan, 3). Tidak bersifat memaksa tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat sebagai data ikat yang lebih mengena, 4). Memberikan warna kebersamaan bagi seluruh komunitas, 5). Menambah pola pikir dan hubungan timbal balik antara individu dengan kelompok, dan 6). Pendorong terbangunnya kebersamaan.
Ikhtiar melakukan revitalisasi kearifan lokal bukan hanya karena kita kaya dengan warisan nilai-nilai luhur tersebut, melainkan juga mempunyai landasan hukum kuat, yakni: UUD 1945 Pasal 32 ayat 1: “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Secara khusus, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab 1 poin 30 menyatakan, kearifan lokal diartikan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Khasanah Lokal
Indonesia kaya dengan nilai-nilai dan khasanah yang mengandung kearifan lokal. Sebagaimana diteliti Amirulloh Syarbini dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung tentang “Kearifan Lokal Baduy Banten” (Jurnal Refleksi Volume 14, Nomor 1, April 2015). Bagi masyarakat Baduy, kejujuran adalah harga diri. Bahkan kejujuran dijadikan persyaratan khusus masyarakat Baduy untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut dapat terlihat jelas pada filsafat dan pepatah Suku Baduy berikut:
“Jadi pamimpin mah ulah nyaur teu diukur, ulah nyabla teu diungang, ulah ngomong sageto-geto, ulah lemek sadaek-daek, nu enya dienyakeun, nu ulah diulahkeun, ulah gorok ulah linyok. Tapi jadi pamimpin kudu landung tali ayunan, kudu laer tali aisan, kudu nulung kanu butuh, nalang kanu susah, kudu nganter kanu sieun, ngoboran kanu poekeun.”
Artinya, jadi pemimpin itu jangan berbicara tidak terukur, jangan bicara tanpa dipikir terlebih dahulu, jangan berkata seenaknya, yang benar katakan benar, yang dilarang katakan dilarang, jangan menipu dan jangan bohong, tapi jadi pemimpin harus bijaksana memutuskan, harus memiliki sifat toleran, harus menolong kepada yang membutuhkan, memberi kepada yang kesusahan, harus memandu kepada yang ketakutan, dan menerangi kepada yang kebingungan (kegelapan).”
Betawi (penduduk asli Jakarta) juga punya nilai kearifan lokal. Banyak pribahasa Betawi mengandung muatan kearifan lokal. Misalnya “kebakaran jauh kelihatan asep, kebakaran ati orang enggak tahu”. Yang artinya kurang lebih menjelaskan isi hati seseorang tidak dapat diperkirakan karena tidak terlihat. Digunakan dalam konteks interaksi masyarakat. Nilai yang terkandung: maksud dan hati seseorang apakah baik atau jelek sukar diperkirakan. Juga mengandung arti jangan suka berburuk sangka. (Suswandari:2017:127).
Di Sulawesi Utara ada kredo “Torang Samua Basudara”. Kredo ini adalah pengakuan kolektif, bahwa perbedaan adalah anugerah yang melekat dalam kehidupan. Di Maluku terkenal dengan pela gandong. Kredo ini merupakan sebutan kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain. Pela gandong merupakan intisari “Pela” dan “Gandong”. Pela adalah ikatan persatuan sedangkan gandong berarti saudara. Jadi pela gandong suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara.
Sementara di Sulawesi Tenggara, tepatnya suku Tolaki memiliki budaya Kohanau (malu) dan Merou (budaya sopan), “inae merou nggoieto ano dodio toonu merou ihanuno” yang artinya: barang siapa bersikap sopan kepada orang lain akan bersikap santun pula kepadanya. Di lingkungan suku Dayak terpatri salam khas yakni: Adil Ka’Talino (adil terhadap sesama manusia), Bacuramin Ka’Suraga (berpandangan hidup kepada surga), dan Basengat Ka’Jubata (selalu mengingat Tuhan sebagai pemberi hidup). Nilai-nilai luhur serupa juga banyak kita temukan di berbagai daerah di Indonesia.
Bukan hanya Indonesia yang kaya dengan kearifan lokal. Melainkan juga di banyak negara di dunia ini. Di Afrika Selatan misalnya, kearifan lokal disebut Ubuntu. Yakni: sebuah kearifan lokal yang menekankan harmoni hidup bersama, eksistensi seseorang berasal dari sikap menghargai eksistensi orang lain: I am because we are. Hingga Nelson Mandela pun tetap memegang teguh Ubuntu sewaktu menginisiasi “Truth and Reconciliation” di Afrika. Di Korea Selatan dikenal Cheong, sedang di Jepang disebut Hansei (Ichsan Malik:2017:169-170).
Disrupsi Informasi
Dewasa ini kita hidup di era disrupsi informasi. Era ini ditandai terjadinya pergeseran aktivitas dari dunia nyata ke dunia maya (virtual). Dunia virtual terkadang diidentikkan dengan era digital karena berbasis teknologi internet. Berdasarkan laporan terbaru We Are Social, pada tahun 2020 disebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan 17% atau 25 juta pengguna internet di negeri ini. Mengingat total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka itu artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya.
Persentase pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun yang memiliki masing-masing jenis perangkat, di antaranya mobile phone (96%), smartphone (94%), non-smartphone mobile phone (21%), laptop atau komputer desktop (66%), table (23%), konsol game (16%), hingga virtual reality device (5,1%).
Dalam laporan ini juga diketahui bahwa saat ini masyarakat Indonesia yang ponsel sebanyak 338,2 juta. Begitu juga data yang tak kalah menariknya, ada 160 juta pengguna aktif media sosial (Medsos). Bila dibandingkan dengan 2019, maka pada tahun ini We Are Social menemukan ada peningkatan 10 juta orang Indonesia yang aktif di Medsos.
Adapun Medsos yang paling banyak ‘ditongkrongi’ oleh pengguna internet Indonesia dari paling teratas adalah YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit, Sina Weibo. We Are Social juga mengungkapkan rata-rata kecepatan koneksi internet mobile hanya sekitar 13,83 Mbps, sedangkan rata-rata kecepatan koneksi internet fix di angka 20,11 Mbps.
Kemajuan teknologi internet telah mengakibatkan berkembangnya penggunaan gadget/daring dengan media baru (new media), khususnya melalui media sosial (Medsos). Hal ini dibuktikan dengan riset terakhir Pew Research yang mengungkapkan, satu dari lima orang dewasa Amerika Serikat (AS), sering mendapatkan informasi dari Medsos ketimbang media cetak. Penurunan penggunaan media cetak sebagai sumber berita disebabkan semakin berkurangnya sirkulasi media cetak dan adanya peningkatan pengguna Medsos.
Trend serupa terjadi di Indonesia. Survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga 2017 menyebutkan, saat ini pembaca media digital lebih banyak ketimbang pembaca media cetak. Jumlah pembeli koran terus merosot dalam empat tahun terakhir karena masyarakat beranggapan informasi seharusnya bisa didapat secara gratis. Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya 20%, menurun dibandingkan 2013 yang 28%.
Tidak mengherankan manakala Philip Mayer, profesor emeritus University of Carolina, AS dalam bukunya “The Vanining Newspaper” (2004) memprediksi koran akan mati pada tahun 2043. Prediksi Philip Meyer sangat berpeluang terjadi mengingat trend pengguna Medsos di Indonesia kini menempati urutan keempat terbesar di dunia setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil.
Sebuah fenomena nyata yang menurut pakar komunikasi Sony Subrata disebut, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, Medsos mempersatukan teman yang terpisah, mengumpulkan keluarga yang berbeda lokasi dan memperkenalkan teman-teman baru, mempersatukan cinta NKRI dan membuat kita makin menghayati Bhinneka Tunggal Ika. Di sisi lain, bisa dijadikan senjata untuk memecah-belah bangsa.
Dalam konteks global, sebagaimana dirilis The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation yang ditulis Samantha Bradshaw, University of Oxford dan Philip N. Howard, University of Oxford yang meneliti manipulasi dan disinformasi di Medsos, pada 26 negara rezim di 70 negara yang diriset, Medsos digunakan sebagai alat kontrol informasi dalam tiga perbedaan cara: (1) untuk menekan hak asasi manusia, (2) mendiskreditkan lawan politik, dan (3) tenggelam perbedaan pendapat. Menariknya, Indonesia tidak masuk ke dalam 26 negara itu.
Darurat Hoaks
Salah satu dampak negatif dari disrupsi informasi adalah berkembanya beragam informasi hoaks. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan hoaks sebagai ‘berita bohong’. Bentuknya antara lain (1) fake news atau penyebaran informasi bohong secara sengaja untuk menipu orang. (2) judul berita tidak sesuai isi berita, (3) berita benar (bukan hoaks) namun sudah out of context dari sisi orientasi, perilaku sumber berita dan waktunya, dan (4) sumber informasi dan informasinya mengandung kebenaran namun diberitakan secara tidak utuh, sudah ‘dipelintir’ atau ‘digoreng’.
Indonesia masuk kategori negara darurat hoaks. Konstatasi ini mengacu data Dewan Pers yang menyebutkan, ada sekitar 43.000 situs yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tidak sampai 300. Artinya terdapat puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu (hoaks) di internet.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) pernah merilis, ada sekitar 800.000 situs terindikasi sebagai penyebar hoaks. Dari jumlah tersebut, hoaks dominan terkait isu sosial politik. Jumlahnya sekitar 91,8 persen. Hoaks lain tentang SARA, kesehatan, makanan dan minuman, penipuan keuangan, Iptek, berita duka, candaan, bencana alam, dan lalu lintas. (Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/12/12).
Mekanisme penyebarannya, menurut lembaga pemantau percakapan di Medsos, PoliticaWave, biasanya berawal dari grup percakapan di Medsos, seperti WhatsApp dan Facebook. Pencipta hoaks sengaja membagikan informasi manipulatif itu ke platform Medsos milik kelompok relawan, terutama Twitter, agar daya ledaknya lebih besar dan menjadi viral.
Merajalelanya hoaks berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat.
Survei Masyarakat Telekomunikasi (MASTEL) menyebutkan, 98.7 persen menganggap hoaks mengganggu kerukunan masyarakat, 96.8 persen menganggap mampu menghambat pembangunan, 84.5 persen menganggap mengganggu kehidupan mereka. Adapun media menjadi penyebar hoaks masih didominasi Medsos sebesar 92.40 persen, 34.9 persen dari media daring, dan 8,7 persen dari media televisi (tekno.liputan6.com).
Contoh teranyar hoaks antara lain beredar kembali narasi yang menyebut vaksin virus corona penyebab Covid-19 dapat mengubah DNA manusia. Yang sudah dibantah oleh sejumlah ahli kesehatan. (18/10/2020, 14:17 WIB). Hoaks lain pada Senin (19/10/2020) sekitar pukul 19.20 WIB yang menyebutkan Wakil Presiden ke-9 RI Hamzah Haz wafat. Contoh lainnya adalah beredarnya narasi bahwa mayoritas pengguna masker terpapar Covid-19, sedangkan orang yang tidak pakai masker negatif. CDC menegaskan narasi itu salah. (19/10/2020, 12:54 WIB). Dan banyak contoh lain informasi menyesatkan.
Meski sudah cukup banyak pelaku dan penyebar hoaks dijerat hukum melalui UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tak urung hoaks masih sering terjadi. Hal ini kata guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung, Deddy Mulyana, karena karakter asli masyarakat tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat. Faktor lain dengan meminjam analisis Ichsan Malik disebabkan prasangka rasial, agama, jenis kelamin, sosial politik dan sebagainya. Sedangkan substansi dari prasangka itu bervariasi lima macam: ketidakadilan, dukungan institusional, perasaan sebagai anggota kelompok, konformitas, dan konflik antar kelompok. (2017:34).
Lima Langkah
Ada pendapat, pendekatan budaya guna mengatasi konflik dalam kasus hoaks, mengandung kelemahan. Kelemahan itu, kata Alpha Amirrachman (2007:10), karena pendekatan budaya bagi sebagian sarjana kurang memadai untuk menjelaskan akar konflik. Namun sebagian sarjana lain menganggap dimensi budaya tetap penting, mengingat tidak semua penerapan mekanisme di wilayah-wilayah konflik berhasil secara langgeng menciptakan perdamaian antarpara pihak yang bertikai.
Untuk mengimplementasikan khasanah kearifan lokal dalam menangkal hoaks diperlukan sejumlah langkah. Diantaranya pertama, menghimpun berbagai khasanah kearifan lokal di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk menangkal problem hoaks. Kedua, mengajak dan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk berperan aktif dalam melakukan dalam ikhtiar mengatasi problem hoaks berbasis kearifan lokal.
Ketiga, melakukan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan lokal guna menjawab problem hoaks. Keempat, merumuskan agenda, gerakan dan aksi bersama guna mengatasi problem hoaks berbasis kearifan lokal. Kelima, mengadopsi teknologi digital, khususnya media baru secara kreatif dan inovatif guna menjinakkan problem hoaks di era disrupsi informasi. [rif]
Achmad Fachrudin
(Direktur Eksekutif Literasi Demokrasi Indonesia)
Comment