UNICEF: Sikapi Ketakutan akan Covid-19 dengan Positif

KalbarOnline.com – Respons masyarakat terhadap wabah virus Covid-19 masih cenderung negatif. Namun, UNICEF Communications Development Specialist Rizky Ika Syafitri mengatakan bahwa ketakutan akan Covid-19 bisa mengarahkan perilaku seseorang untuk bertindak positif dalam mencegah penularannya.

Rizky mengungkapkan respon publik tersebut beradasarkan survei yang digelar AC Nielsen guna menggali sikap masyarakat terkait praktik pencegahan virus Covid pada kehidupan sehari-hari. Survei yang dilakukan atas kerjasama dengan UNICEF ini dilakukan di enam kota besar di Indonesia dengan 2.000 responden.

Ia menyebut, hasil survei menunjukkan, 69,6 persen responden di enam kota tersebut mengaitkan virus Covid-19 dengan aspek negatif seperti, berbahaya, menular, darurat, mematikan, menakutkan, khawatir, wabah, pandemi, dan penyakit.

“Ketakutan jika dimanfaatkan dengan benar, bisa mengarahkan ke perilaku yang lebih baik. Karena kalau tidak diolah dengan baik ketakutan ini hanya akan jadi ketakutan saja, tidak menjadi aset untuk mengolah perubahan perilaku,” ujarnya, Senin (23/11).

Untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya perubahan perilaku ini, lanjutnya, penting juga untuk mengetahui media penyalurannya yang tepat. Sumber informasi yang paling dipercayai masyarakat mengenai virus Covid-19 ini adalah media massa televisi, kemudian diikuti oleh koran, radio, media sosial, WhatsApp Group, pemberitaan media online, dan situs internet.

“Jadi kalau untuk perubahan perilaku, kita cari tahu yang terpercaya. Karena kalau terpercaya asumsinya masyarakat akan mau melakukan perubahan yang dipromosikan. Medium televisi masih menjadi salah satu penyaluran terkuat untuk dimanfaatkan. Yang menarik juga di sini tokoh masyarakat dan tokoh agama masih didengarkan oleh masyarakat,” ujar Rizky.

Baca Juga :  Tes GeNose Sudah Di Gunakan 2.580 Calon Penumpang Kereta

Dengan demikian, masyarakat harus terus diingatkan soal kampanye memakai masker, menjaga jarak aman, dan mencuci tangan (3M). Menurutnya, ini merupakan satu paket protokol kesehatan yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mencegah penularan virus corona. Imbauan ini perlu dipatuhi dan dijalankan secara disiplin, mengingat langkah ini adalah rekomendasi dari para ahli dan dokter.

Survei juga mengungkap perilaku masyarakat terkait menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3M) secara rill di lapangan menunjukkan bahwa 31,5 persen responden melakukan secara disiplin. Sekitar 36 persen responden melakukan dua dari perilaku 3M. Sementara 23,2 persen melakukan 1 dari perilaku 3M. Hanya 9,3 persen dari responden yang tidak melakukan kepatuhan terhadap 3M sama sekali.

Sementara, Konsultan UNICEF Risang Rimbatmaja mengatakan, apabila analisa secara individual, menjaga perilaku jaga jarak (47 persen) lebih rendah daripada memakai masker (71 peesen) dan mencuci tangan (72 persen). Khusus untuk jaga jarak, didapatkan ternyata ada aspek norma sosial yang berperan di sini misalnya, merasa tidak enak menjauh dari orang lain, orang lain yang mendekat ke saya, atau berpikir bahwa semua orang juga tidak menjaga jarak,” jelasnya.

Baca Juga :  MPR: Siswi Non Muslim Diwajibkan Pakai Jilbab Jadi Alarm Tanda Bahaya

Selanjutnya, konsep kesalahan persepsi bahwa orang yang kelihatan sehat, dianggap tidak bisa menularkan penyakit juga menjadi faktor rendahnya penerapan perilaku menjaga jarak di kalangan masyarakat.

“Yang tidak kalah menonjol adalah salah persepsi, saya sehat atau orang lain sehat kenapa harus jaga jarak. Kelihatannya konsep Orang Tanpa Gejala (OTG) masih belum betul-betul berada di benak masyarakat,” ucapnya.

Selain itu, perlu bagi masyarakat luas mengetahui konsep OTG, karena masyarakat menjadi merasa tidak perlu menjaga jarak. Apabila masyarakat mengetahui lebih jauh lagi soal cara penularan virus Korona, diyakini bahwa masyarakat akan melakukan pencegahan lebih disiplin lagi.

Kebanyakan responden berpikir bahwa penularan virus Korona melalui orang yang batuk dan bersin (71 persen). Hanya 23-25 persen responden yang menyebutkan penularan virus corona melalui berbicara dan bernafas. Ini menjelaskan, mengapa jaga jarak dianggap tidak terlalu perlu saat berbicara dengan orang lain selama lawan bicara tidak batuk atau bersin.

Comment