KalbarOnline.com – Sabtu malam (9/1), beberapa jam menjelang hari ulang tahunnya, Sarah Beatrice Alomau menerima kabar mengejutkan. Namanya tercatat dalam manifes Sriwijaya Air PK-CLC yang hari itu hilang kontak pukul 14.40 WIB. ”Waktu itu baru pulang kerja sekitar pukul 20.00 WIB, teman saya kasih tahu,” tuturnya.
Orang tua dan saudara Sarah pun histeris saat menghubunginya.
Mereka mengira perempuan 19 tahun tersebut turut menjadi korban. Padahal, saat itu kondisi Sarah baik-baik saja. Pangkal persoalannya adalah penggunaan KTP Sarah oleh seorang temannya.
Menurut Sarah, yang menggunakan KTP miliknya adalah temannya asal Flores bernama Shelfi Ndaro, 24. Penggunaan kartu identitas itu tanpa sepengetahuan Sarah. ”Saya gak tau, kan saya lagi berangkat kerja. Saya juga gak tau dompet dan KTP saya ditinggal di rumah. Apa dia scan atau foto, saya gak tau,” katanya.
Shelfi Ndaro merupakan teman sekantor Sarah di salah satu perusahaan pabrik kertas nasi di Kawasan Pergudangan 8, Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten. Mereka bertetangga kos. Menurut Sarah, temannya itu tidak pernah meminta izin untuk meminjam KTP-nya. ”Dia bekerja seperti saya sebagai (di bagian, Red) molding . Dia tidak pinjam KTP atau fotokopi KTP,” ungkapnya.
Kuasa hukum Sarah, Richard Riwoe, telah mendatangi posko Sriwijaya Air di Bandara Soekarno-Hatta untuk mengklarifikasi hal tersebut. Dia menjelaskan bahwa yang melakukan perjalanan diduga teman Sarah, yakni Shelfi Ndaro. ”Bagaimana bisa dia (Shelfi, Red) mendapat identitas dan menggunakannya itu si Sarah tidak tahu. Hanya, dia (Sarah, Red) memang mendapatkan informasi Shelfi Ndaro mau ke Pontianak,” tuturnya.
Pihaknya mempertanyakan bagaimana Shelfi bisa lolos dari pemeriksaan administrasi, rapid test antigen, dan lainnya. Sebab, KTP asli Sarah saat ini masih ada di dompetnya. ”Pertanyaannya, Shelfi Ndaro ini pakai apa. Kalau pakai fotokopi atau foto dalam handphone, apa sesuai aturan?” kata Richard.
Penggunaan identitas tersebut, lanjut dia, nanti menyebabkan permasalahan administrasi dan klaim asuransi korban. Karena itu, pihaknya ingin maskapai Sriwijaya Air mengecek CCTV untuk memastikan siapa yang melakukan perjalanan. ”Untuk jelasnya siapa yang berangkat silakan dilihat dari CCTV, mulai masuk sampai dia di ruang tunggu. Shelfi Ndaro itu rambutnya panjang dan lurus, kalau Sarah rambut keriting,” terangnya.
Kasus penggunaan identitas orang lain itu, sambung Richard, harus menjadi koreksi pihak maskapai. Sebab, celah tersebut sangat rawan disalahgunakan pihak tidak bertanggung jawab. ”Ini juga jadi pelajaran bagi maskapai lain, bisa saja untuk penyamaran, menghindari suatu hal dengan menggunakan KTP orang lain,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum Komunikasi Masyarakat (FKM) Flobamora (NTT) Jabodetabek Fridrik Makanlehi menyatakan, pihaknya telah melaporkan kejadian itu kepada pihak Sriwijaya Air dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Pihaknya tidak ingin kejadian tersebut nanti menjadi permasalahan.
Alumnus Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Jogjakarta itu juga tengah berkonsultasi dengan ahli hukum. Pihaknya belum mengetahui apakah Shelfi Ndaro tetap mendapatkan santunan atau tidak. Berdasar Permenhub No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, korban jiwa karena kecelakaan pesawat mendapatkan santunan Rp 1,25 miliar.
”Menurut hukum, kalau orang tidak terdaftar berarti nihil (tidak ada bantuan, Red). Kita belum tahu dari Sriwijaya Air apakah korban tetap dikasih santunan atau tidak. Itu masih kita koordinasikan dengan teman-teman,” ungkapnya.
Cerita berbeda datang dari Vera Gusman, 35. Ibu dua anak itu sempat memohon-mohon agar bisa ikut dalam penerbangan Sriwijaya Air SJ182. Dia bersama putri sulungnya, Febri, berencana terbang menuju Pontianak dengan maskapai yang sama hari itu. Namun, pesawat yang ditumpanginya dijadwalkan berangkat lebih dahulu dari Sriwijaya Air PK-CLC. ”Saya tanya ke petugas, hari ini (Sabtu, Red) ada berapa penerbangan ke Pontianak? Dia bilang dua. Saya lalu minta bisa ikut penerbangan selanjutnya,” tuturnya.
Keberangkatan Vera pada pukul 05.00 WIB sebelumnya memang terkendala persyaratan tes swab PCR. Dia tak mengetahui ada aturan baru mengenai batas waktu penggunaan hasil tes sebagai syarat terbang. ”Punya saya dibilang sudah lewat satu hari. Padahal, anak saya harus kembali karena Senin sekolah,” jelasnya.
Vera yang menempuh perjalanan dari Bandung sejak Jumat malam sontak panik. Dari pos pemeriksaan berkas kesehatan, dia disarankan untuk melakukan rapid test antigen. ”Alhamdulillah, hasilnya negatif,” ungkap Vera.
Baca juga: Sinyal Black Box Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 Mulai Terlacak
Sayang, di konter check-in, Vera ditolak. Sebab, untuk masuk Pontianak, wajib test swab PCR. Hasil rapid test antigennya pun tak berarti. Dia makin khawatir lantaran jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Akhirnya, Vera tidak hanya meminta diberi keringanan soal swab test, tapi juga diizinkan ikut penerbangan selanjutnya, yakni Sriwijaya Air PK-CLC. Tapi, permintaannya ditolak. Dia disarankan untuk reschedule.
Vera yang putus asa akhirnya memilih kembali ke Bandung bersama putrinya. Hingga, dia mendengar kabar ada pesawat Sriwijaya yang hilang kontak. ”Saya langsung lemas. Gemetar banget. Itu kan pesawat yang saya mohon-mohon untuk ikut terbang,” ungkapnya.
Baca juga: Boeing 737-500 Yang Jatuh Berusia 26 Tahun, Sriwijaya Air Beli Second
Ada pula cerita keluarga Atma Budi Wirawan yang selamat karena batal menumpang Sriwijaya PK-CLC. Atma menuturkan, lantaran biaya tes PCR yang mahal, keluarganya memilih untuk berangkat dengan kapal. ”Pagi ini, saya menjemput ibu mertua, adik ipar dan istrinya, serta keponakan-keponakan yang baru tiba dari Jakarta, rombongan delapan orang. Semestinya mereka pulang Sabtu sore dengan penerbangan Sriwijaya PK-CLC, tiket sudah dibeli sekitar semingguan sebelumnya,” ungkap Atma kepada Pontianak Post kemarin (10/1).
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment