Windy Prihastari Edukasikan Kepedulian Generasi Muda Cegah Kelahiran Thalasemia Mayor

KalbarOnline, Pontianak – Penjabat (Pj) Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) yang juga Ketua Perhimpunan Orangtua Penderita Thalasemia Indonesia (Popti) Kalbar, Windy Prihastari, getol memberikan edukasi ke berbagai lapisan masyarakat.

Terutama terkait thalasemia dengan menyasar kalangan anak muda, agar mereka peduli dan mengetahui dengan penyakit tersebut.

Dalam sejumlah forum sosialisai dan diskusi, Windy selalu menyisipkan edukasi untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dengan thalasemia. Agar masyarakat turut terlibat dalam upaya mencegah kelahiran thalasemia mayor.

Misalnya dalam forum diskusi di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (Untan) belum lama ini, Windy turut mengajak generasi muda untuk sama-sama mencegah kelahiran thalasemia mayor. Upaya tersebut menurutnya harus dilakukan oleh semua pihak untuk mewujudkan Kalbar zero kelahiran thalasemia mayor.

“Pentingnya thalasemia ini untuk disosialisasikan agar masyarakat khususnya generasi muda peduli tentang penyakit thalasemia,” ungkap Windy.

Dirinya mengungkapkan, kalau thalasemia merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan akan tetapi bisa dicegah. Peran pemuda khususnya yang memiliki ilmu di bidang kesehatan, menurutnya sangat penting untuk menggencarkan edukasi di tengah-tengah masyarakat Kalbar.

Hal ini sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan informasi yang baik kepada masyarakat dan menstimulasi generasi muda mulai dari usia pra nikah untuk melakukan screening darah. Agar bisa mencegah kelahiran thalasemia mayor dimasa mendatang.

“Zero kelahiran thalasemia di Kalbar itu menjadi target kita, maka upaya edukasi harus terus kita gencarkan bersama-sama,” kata dia.

Baca Juga :  Windy Lepas Keberangkatan Bernard B Van Aert Menuju Olimpiade Paris 2024

Dikatakan Windy lagi, bahwa pencegahan thalasemia bisa dilakukan dengan menghindari pernikahan sesama pembawa gen thalasemia. Sedangkan untuk mengetahui pembawa gen thalasemia tidak terdiagnosa secara klinis, sehingga harus dilakukan screening.

Praktik screening bagi masyarakat, khususnya pasangan pra nikah pun kata Windy sudah mulai dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar bersama Popti dengan hadir ke sekolah-sekolah.

“Kita sudah turun ke beberapa sekolah usia pra nikah dalam rangka screening, jangan sampai mereka nanti menikah lalu bertemu dengan sesama pembawa gen thalasemia yang kemungkinan 30 persen anaknya akan mengidap thalasemia mayor,” ujar Windy.

“Talasemia harus kita cegah, tidak boleh bertambah penyandang thalasemia, yang ada harus kita maksimalkan (dengan) memberikan pelayanan terbaik dan memberikan tata kelola pengasuhan dengan baik,” tambahnya.

Windy pun mengajak semua pihak terus meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Terutama kepada anak-anak penyandang thalasemia yang sangat tergantung dengan pendonor darah, agar bisa menjalani transfusi rutin.

Ia menyebut, setidaknya satu orang anak penyandang thalasemia membutuhkan 20 pendonor darah tetap. Untuk itu, pihaknya kini terus gencar mensosialisasikan gerakan sahabat thalasemia, baik untuk menjadi pendonor darah tetap maupun pendampingan psikologi untuk anak-anak thalasemia.

“Untuk itu kita terus gencar melakukan sosialisasi gerakan sahabat thalasemia, untuk menjadi pendonor tetap,” katanya.

Masih dikatakan Windy, keseharian anak-anak thalasemia sama seperti anak lainnya, hanya saja mereka butuh perhatian khusus terkait dengan ketersedian hemoglobin didalam darah agar normal seperti anak lainnya.

Baca Juga :  Mencoba Hidup Gratis di Pontianak, Pasutri Ini Ditangkap Polisi

Kemudian juga karena terlalu sering transfusi, harus diperhatikan juga kadar zat besi di dalam tubuhnya, agar tidak menumpuk dan takutnya mengganggu organ tubuh yang lain.

Windy menjelaskan, thalasemia merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang tidak bisa disembuhkan. Lalu para pengidap thalasemia ini harus seumur hidup melakukan transfusi secara rutin, agar bisa melanjutkan kehidupan.

“Jadi bisa dibayangkan anak-anak talasemia, dan orang tua mereka melakukan (transfusi) itu dengan penuh perjuangan, setiap bulan harus ke rumah sakit, juga setiap bulan belum tentu hanya satu kali mereka transfusi,” jelasnya.

Dilanjutkan Windy, transfusi bagi penyandang thalasemia dilakukan sesuai dengan umur. Seperti misalnya anak yang usianya di bawah lima tahun, hanya butuh satu kantong darah, setiap satu bulan sekali.

Sementara yang sudah remaja hingga dewasa, rata-rata butuh tiga atau empat kantong darah untuk waktu satu bulan. Yang artinya mereka harus tiga sampai empat kali pula datang ke RS, melakukan transfusi darah.

“Belum lagi sebelum datang ke RS (rumah sakit), mereka juga harus memeriksakan hemoglobinnya, kemudian ada pemeriksaan khusus seperti feritin, MRI jantung, itu mereka harus bolak-balik ke RS. Pastinya itu sudah membuat mereka penat dengan segala macam aktivitas transfusi mereka,” pungkasnya. (Jau)

Comment