Korupsi di Indonesia: Penyakit Kronis yang Butuh Solusi Radikal

Oleh: M Jauhari Fatria

Beberapa waktu lalu, muncul wacana bahwa pemerintah bisa mempertimbangkan untuk “memaafkan” koruptor asal mereka mengembalikan uang hasil korupsi. Pernyataan ini tentu menuai kontroversi. Banyak yang menganggapnya sebagai bentuk kompromi terhadap kejahatan luar biasa yang selama ini merusak negara.

Jika Prabowo benar-benar serius ingin membuat Indonesia lebih bersih, kenapa tidak menggagas undang-undang yang lebih keras bagi koruptor?

PelantikanKepalaDaerah2025

Kurangnya Tanggung Jawab Negara Terhadap Rakyat

Selain korupsi, salah satu masalah besar di Indonesia adalah rendahnya akuntabilitas pejabat negara. Ketika ada kegagalan sistem atau skandal besar, hampir tidak pernah ada pejabat yang mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral.


Sebagai tolok ukur, di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, seorang pejabat tinggi bisa mengundurkan diri hanya karena kesalahan kecil. Di Australia, jika listrik padam hanya beberapa menit saja, perusahaan listrik bisa dikenakan denda besar atau bahkan harus memberi kompensasi gratis ke pelanggan.

Baca Juga :  Puluhan Ribu Masyarakat Kalbar Tumpah di Alun-Alun Kapuas, Rayakan HUT Partai Gerindra bersama Prabowo Subianto

Bagaimana dengan Indonesia? Listrik padam berjam-jam, pelayanan publik buruk, korupsi merajalela, nyaris nihil pejabat yang mengambil langkah mundur secara etis.

Hukuman untuk Koruptor: Saatnya Lebih Keras dan Tanpa Ampun

Salah satu alasan kenapa korupsi di Indonesia tak pernah surut adalah hukuman yang terlalu ringan. Rata-rata koruptor hanya dihukum 4 – 10 tahun penjara. Lebih buruknya lagi, banyak yang mendapat remisi sehingga bisa bebas lebih cepat.


Di beberapa negara seperti China dan Arab Saudi, hukuman bagi koruptor jauh lebih berat, termasuk hukuman mati bagi pelaku mega korupsi. Di Indonesia, hukuman mati bagi koruptor sebenarnya memungkinkan berdasarkan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, tetapi belum pernah diterapkan.

Comment