EFISIENSI ANGGARAN, menjadi dua kata yang paling sering keluar dari mulut pejabat hari-hari ini. Tapi dua kata ini juga yang sekarang terasa paling menyakitkan bagi rakyat Kalimantan Barat.
Karena kenyataannya, efisiensi itu bukan dilakukan dari atas. Tapi dari bawah. Yang dipotong bukan fasilitas pejabat, tapi harapan publik. Dan salah satu tokoh paling getol menggunakan dua kata itu di Kalbar adalah Gubernur Ria Norsan.
Salah satu janji kampanye paling dielu-elukan Ria Norsan adalah membuat jalan di Kalbar mulus dalam 3 tahun. Tepuk tangan bergema, billboard terpasang, dan publik percaya.
Tapi tak butuh waktu lama, janji itu pun digeser jadi 5 tahun. Alasannya? Tentu saja dalih sakti, “karena efisiensi anggaran dari pusat.”
Seketika, seluruh penundaan dibenarkan. Rakyat disuruh maklum. Rakyat disuruh realistis. Seolah-olah publik tak paham mana janji dan mana pembenaran.
Padahal publik tau, ini bukan soal efisiensi. Ini soal janji yang diucap tanpa perhitungan. Ini soal kampanye berlebihan yang kini dicuci tangan.
Saat rakyat menelan “efisiensi”, Gubernur Ria Norsan malah pesta. Di saat masyarakat diminta sabar menunggu jalan diperbaiki, Gubernur Ria Norsan justru menggelar open house skala besar. Lengkap dengan panggung megah, undangan massal, artis lokal, bahkan artis ibukota didatangkan.
Lalu diputar lagu—dan bukan sembarang lagu. Anthem kampanye. Jargon-jargon nomor 2. Yang dipakai saat dia masih calon. Padahal hari ini dia sudah dilantik jadi Gubernur Kalimantan Barat. Sudah resmi. Sudah sah. Tapi masih asyik bermain simbol politik di acara yang diduga kuat dibiayai oleh APBD itu.
Apa pantas, rakyat disuruh maklum karena APBD cekak, tapi dana daerah dipakai buat glorifikasi kemenangan politik pribadi?
Setelah dilantik, seorang pemimpin bukan lagi milik partai atau nomor urut. Dia milik seluruh masyarakat. Termasuk yang tak nyoblos.
Tapi apa yang ditunjukkan Norsan justru sebaliknya. Mental kampanye belum selesai. Simbol-simbol kemenangan masih ditonjolkan. Anthem nomor 2 masih dinyanyikan. Semangat euforia pribadi masih dibiayai oleh fasilitas publik.
Ini bukan sekadar tak etis. Ini bentuk pelecehan terhadap akal sehat publik. Hari ini, “efisiensi anggaran” bukan lagi kebijakan fiskal. Dia sudah berubah jadi alat politik. Alat untuk menutupi janji yang tidak ditepati. Alat untuk menghindari kritik. Alat untuk menyalahkan pusat dan membungkam pertanyaan publik.
Dan ketika dalih ini digunakan sambil tetap bersenang-senang di atas panggung pesta, maka yang sedang dipermainkan bukan cuma uang rakyat. Tapi harga diri publik.
Ria Norsan dan istrinya—yang juga seorang kepala daerah—adalah pasangan suami istri terkaya di Kalimantan Barat. Kuat secara ekonomi dan politik. Tapi pertanyaannya, apa mereka pakai uang pribadi untuk acara open house megah yang disebut “silaturahmi rakyat” itu? Kalau ada APBD, ya kenapa tidak? Itu poin pentingnya.
Bukan soal mampu atau tidak mampu secara finansial. Tapi soal niat dan kejujuran dalam menggunakan fasilitas negara. Kalau betul silaturahmi rakyat, kenapa diselipkan anthem kampanye? Kenapa nuansanya tetap selebrasi kemenangan pribadi?
Dan kalau memang benar pakai anggaran daerah, itu artinya rakyatlah yang secara tidak langsung membiayai perayaan kemenangan politik gubernurnya.
Mari jujur. Mindset politikus Indonesia sangat berbeda dengan pemimpin di banyak negara maju. Di negara lain, seseorang jadi pemimpin karena merasa terpanggil membuat perubahan, karena yakin bisa membawa solusi, karena punya visi besar untuk rakyatnya.
Di sini? Banyak yang berhasrat jadi pemimpin karena ingin memperkaya diri, memperkuat kuasa, memperbesar pengaruh. Jabatan bukan amanah, tapi investasi politik. Pemilu jadi ajang jual janji, setelah menang jadi ajang bagi-bagi proyek.
Dan sikap seperti inilah yang terus-menerus menampar rakyat. Karena yang mereka pilih bukan pemimpin, tapi pelakon drama kekuasaan.
Masyarakat tentu tidak anti pemimpin, apalagi hanya seorang Ria Norsan. Masyarakat tak jua anti pesta, apalagi open house.
Tapi kalau pesta dilakukan, di lain sisi ada dalih “efisiensi”, kalau open house jadi panggung glorifikasi kampanye, kalau rakyat disuruh sabar sambil pemimpinnya berjoget di panggung, maka yang masyarakat tolak adalah penghinaan terhadap kecerdasan publik.
Karena di Kalbar hari ini, efisiensi anggaran artinya, rakyat disuruh puasa, tapi gubernurnya pesta. Dan ketika Norsan berdiri di panggung mewah itu lalu berkata, “Ini adalah rumah rakyat, mari kita pererat silaturahmi dan bersama-sama membangun Kalimantan Barat yang lebih baik.” Maka yang terasa bukan harapan. Tapi sindiran pahit bagi mereka yang masih melintasi jalan rusak, masih menunggu janji ditepati, masih bertanya, “kami rakyat, tapi kok kami gak pernah diajak duduk di rumah ini?”.
Comment