Sutarmidji Bongkar Manuver di Balik Polemik Hibah Mujahidin

Mantan Gubernur Kalbar, Sutarmidji, angkat bicara soal dugaan manuver hukum yang dinilai ditujukan untuk merusak nama baik dan reputasinya.

KALBARONLINE.com – Mantan Gubernur Kalbar periode 2018 – 2023, Sutarmidji mengungkapkan adanya dugaan manuver-manuver yang bertujuan untuk menghancurkan nama baik diri dan keluarganya, dengan cara memaksakan agar polemik pemberian hibah secara berturut-turut dari Pemerintah Provinsi Kalbar kepada Yayasan Masjid Mujahidin berlanjut pidana.

Isu yang awalnya hanya berhembus sayup-sayup oleh masyarakat dan netizen di media sosial itu seolah ditempa terus menerus agar mengeras dan mengkristal, sehingga dapat dijadikan dalih sebagai pijakan awal untuk pihak berwenang guna melakukan pengusutan. Beberapa nama pun kemudian dipaksa mondar-mandir datang ke ruang penyidikan, agar memberikan kesan insinuasi terhadap kasus yang “katanya” mengarah pada dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang tersebut.

Mirisnya, isu dugaan penyimpangan yang ditudingkan itu terus saja menggantung. Hingga bertahun-tahun lamanya belum ada keputusan apapun yang dihasilkan dari pemeriksaan yang dilakukan. Alhasil, nama-nama yang sudah kadung ter-blow up selama ini di media massa dan maya pun keburu rusak, yang bahkan ikut menyeret-nyeret nama baik keluarga besar yang bersangkutan.

Kepada KalbarOnline, Sutarmidji secara blak-blakan menceritakan bagaimana duduk persoalan sebenarnya hibah yang diperuntukkan bagi pembangunan sekolah di komplek Masjid Raya Mujahidin itu dimulai, hingga seperti apa dan siapa saja yang diduga terlibat dalam manuver yang ditujukan guna melakukan pembusukan dan bahkan menghapus jejak rekam karirnya di panggung politik Kalbar.

Melalui rekaman suara yang diterima pada Senin 7 April 2025, Sutarmidji menceritakan awal mula tercetusnya ide untuk memberikan hibah kepada Yayasan Masjid Mujahidin yang diperuntukkan bagi pembangunan sekolah di komplek masjid raya tersebut.

Yakni berangkat dari realitas timpangnya rasio antara jumlah bangku sekolah SMP dengan SMA/SMK negeri maupun swasta di Kota Pontianak dan Kubu Raya. Berbekal pengalaman menjadi Wali Kota Pontianak dua periode, Sutarmidji yang kala itu sudah menjabat sebagai Gubernur Kalbar berpikir untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

“Pontianak ini tamatan SMP setiap tahun lebih dari 12 ribu anak, sedangkan daya tampung SMA/SMK baik negeri maupun swasta itu tidak sampai 12 ribu. Hitungan kita akan masih ada 300 – 400 anak tamatan SMP/Tsanawiyah baik negeri maupun swasta di Pontianak yang tidak tertampung di SMA dan SMK negeri maupun swasta,” katanya.

“Kubu Raya, yang berbatasan dengan Pontianak lebih parah lagi, setiap tahun ada 9.800 – 10 ribu anak yang tamat, (tapi) daya tampung (SMA/SMK yang dimiliki) hanya 6 ribu lebih, baik swasta maupun negeri. Nah sehingga ada sekitar 3 ribuan anak Kubu Raya yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK. Lalu dicarilah terobosan,” lanjut Sutarmidji.

Sutarmidji menyampaikan, sejak awal dirinya menjadi Gubernur Kalbar, ia telah bertekad bagaimana pendidikan di Kalbar dapat merata dan maju. Dari situ banyak kebijakan yang ditelurkannya, satu diantaranya yaitu membuat sekolah-sekolah baru agar anak-anak di daerah bisa melek huruf.

“Pembangunan SDM ini menjadi sangat-sangat utama, akhirnya selama 5 tahun, bahkan saat covid, kita membangun baru dan dibangun baru hampir 70 sekolah, dan itu menggunakan APBD murni, bukan APBN, bukan bantuan pusat, murni dari APBD dari peningkatan PAD,” katanya.

Menurutnya, jika tidak ada terobosan maka sulit untuk memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bidang pendidikan.

“Solusinya waktu itu kita minta izin rektor untuk me-negeri-kan SMA Santun Untan agar bisa menambah daya tampungnya dan menjadi lab school, tapi sepertinya tidak ada jawaban,” kata Sutarmidji.

“Kemudian kita mau jadikan BLKI jadi SMA dan SMK, agar di Pontianak Tenggara ada SMA dan SMK Negeri. Tapi terbentur pada proses pemindahan BLK karena harus berproses di Kemenaker,” timpalnya.

Akhirnya, setelah dikaji, ada solusi agar bisa juga menampung anak tamatan SMP dari Kubu Raya, yaitu membangun sekolah di lahan Yayasan Mujahidin. Lalu dibuat perjanjian dan perencanaan. Pemprov memberikan hibah untuk membangun sekolah dan Yayasan Mujahidin bersedia lahannya digunakan Pemprov untuk bangun sekolah.

Hibah itu diberikan 3 tahun berturut-turut sebesar Rp 22 Miliar. Dari dana ini terbangun sekolah 4 lantai, di mana lantai dasar ada 20 kios dan lantai 1 serta lantai 2 untuk ruang belajar dan lantai 3 untuk olahraga dan lain-lain. SMA Mujahidin ini bisa menampung 380 anak setiap tahun atau 10 kelas untuk masing-masing tingkatan.

Pembangunannya pun sangat efisien. Hanya Rp 3,8 juta permeter. Jika dibandingkan dengan sejumlah proyek pembangunan di Kota Pontianak belum lama ini, maka pembangunan SMA Mujahidin jauh lebih efisien. Sebagai pembanding, proyek pembangunan Kantor Kejaksaan Negeri Pontianak misalnya, yang per meternya bisa memakan anggaran sebesar Rp 6,3 juta. Hampir dua kali lipat lebih besar.

Baca Juga :  Ria Norsan Ajak Umat Islam Tak Percaya Berita Bohong Hadapi Pemilu 2019

Pemberian hibah berturut-turut ini sebenarnya tidak hanya kepada Yayasan Mujahidin, tapi juga ke Katedral Santo Yosef Pontianak. “Ketika saya menjadi gubernur, sudah saya SK-kan Mujahidin, dan Katedral menjadi tanggungjawab Pemprov. Sehingga setiap tahun juga dibantu operasionalnya. Itu yang kita lakukan,” ucapnya.

Di waktu bersamaan, Pemprov Kalbar juga memberi hibah kepada GKE untuk bangun Sekolah Theologi dan Masjid Al-Falah Mempawah sebesar Rp 9 Miliar.

Namun hibah yang diberikan Pemerintah Provinsi Kalbar secara berturut-turut kepada Yayasan Mujahidin kemudian dipersoalkan. Termasuk misalnya ada pertanyaan kenapa membangun sekolah di lahan Yayasan Mujahidin dilakukan dalam bentuk hibah bukan melalui mekanisme proyek yang ditender. Menurutnya, hal itu dibolehkan secara aturan karena lahannya bukan milik Pemprov.

“Perlu saya jelaskan, yang pertama karena ada perjanjian antara Pemprov Kalbar dengan Yayasan Mujahidin dalam penggunaan lahan. Yang kedua karena merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid. Pada BAB III dalam keputusan itu mengatur tentang Tipologi Masjid,” katanya.

Tipologi masjid yang dimaksud Midji sesuai keputusan tersebut dibagi menjadi sembilan di antaranya masjid negara, masjid nasional, masjid raya, masjid agung, masjid besar, masjid jami, masjid bersejarah, masjid di tempat publik dan mushalla.

Masjid negara adalah masjid yang berada di Ibu Kota Negara Indonesia. Salah satu kriterianya adalah, dibiayai dari subsidi negara melalui APBN dan APBD serta bantuan masyarakat. Lalu ada masjid nasional. Masjid yang berada di ibu kota provinsi. Salah satu kriterianya adalah, dibiayai dari pemerintah provinsi melalui APBD dan bantuan masyarakat.

Berikutnya masjid raya. Masjid yang berada di Ibu Kota Provinsi. Kriterianya adalah dibiayai dari Pemerintah Provinsi melalui APBD dan dana masyarakat. Lalu di kabupaten/kota ada masjid agung yang bisa dibiayai oleh pemerintah kabupaten/kota dan bantuan swadaya masyarakat. Hingga seterusnya.

“Sehingga masjid negara, masjid nasional, masjid raya itu boleh menerima hibah berturut-turut karena pembiayaan operasionalnya menjadi tanggungjawab pemerintah,” jelas Sutarmidji.

Lalu lanjut Midji, muncul lagi pertanyaan, kenapa bangun sekolah, tetapi ada kios? Midji menjelaskan, di dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam juga menyebutkan kriteria selanjutnya untuk masing-masing tipologi masjid. Di mana Masjid Raya diperkenankan ada bidang pendidikan, bidang usaha, bidang ibadah.

Bahkan hotel dan rumah sakit juga diperkenankan. Ini merujuk pada keputusan tersebut yakni memiliki fasilitas/bangunan penunjang seperti kantor, bank syariah, toko, aula, hotel atau penginapan, poliklinik, sekolah atau kampus.

“Jadi masalah kenapa hibah tiap tahun, kenapa bangun sekolah, kenapa ada kios, semua jelas aturannya,” kata Sutarmidji.

Selain Keputusan Dirjen Bimas Islam, Sutarmidji juga berpegang pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah yang disebutkan, bahwa kaitan hibah secara formil maupun materil yang bertanggungjawab terhadap penggunaan dana hibah adalah penerima hibah bukan pemberi hibah.

“Sebagai gubernur saya bertindak sebagai pemberi hibah. Saya yakin Yayasan Mujahidin telah menggunakan dana dengan baik karena sudah pernah ada audit BPK atas penggunaan dana hibah tersebut. Semua SPJ-nya sudah diserahkan ke BKAD,” kata Sutarmidji.

Sutarmidji mengaku, bahwa ia sebenarnya tidak merasa keberatan jika kebijakannya ini dipermasalahkan dan diungkap ke publik, namun harus dengan semangat dalam rangka penegakan aturan dan hukum. Hanya saja ia meminta agar proses yang dijalankan itu dapat dilakukan seobjektif mungkin.

“Saya persilakan jaksa untuk mengungkapkan, tapi ungkaplah seobjektif mungkin dalam rangka menegakan hukum bukan mempermainkan hukum. (Karena) saya dengar ada petinggi kejaksaan yang bilang ‘ya kita ajukan saja ke pengadilan biar tergantung urusan pengadilan yang memutuskan’, kan enggak benar cara seperti itu,” katanya.

Dari informasi tersebut, Sutarmidji telah mencium adanya gelagat aneh dari oknum penegak hukum yang terkesan ingin memaksakan polemik hibah ini ke ranah hukum. Padahal menurutnya, jika ingin melakukan proses hukum secara benar, aparat terkait tentu harus mengantongi minimal dua alat bukti bukti yang sah atau valid terlebih dahulu

Baca Juga :  Satu Dari Dua Kota se-Indonesia, Syarifah Adriana Raih Karya Bhakti Satpol PP

“Korupsi itu unsurnya penuhi dulu, jangan sampai pokoknya asal ini-pokoknya asal itu, itukan bisa merusak kredibilitas orang, merusak nama baik orang. Saya kalau mau merusak nama baik orang, merusak nama institusi, ayo! Saya akan buka semua,” katanya.

Sutarmidji mengungkap, bahwa penanganan masalah hibah ini menjadi tak objektif dan cenderung memiliki tujuan tertentu karena ada manuver tersembunyi di balik pengusutannya.

“Karena ada oknum yang minta jabatan. Ada yang punya perusahaan tambang, dan ingin dipercepat izinnya. Bahkan ada yang berharap kasus ini bisa menyeret saya, agar yang bersangkutan bisa dapat prestasi dan promosi jabatan,” bebernya.

Ia menyebut, hal ini juga ada kaitannya dengan Ketua Yayasan Mujahidin yang memang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan ESDM Kalbar. Karena izin tambang tidak cepat keluar, katanya, maka yayasan dijadikan sasaran.

“Kalau ini dibiarkan, siapa pun bisa dikorbankan kapan saja. Banyak lagi yang meminta ini dan itu yang belum mau saya ungkap. Termasuk kasus-kasus yang ribuan kali lebih dahsyat dibanding hibah Yayasan Mujahidin yang senyap seperti ditelan ombak Pantai Kijing,” ungkapnya.

“Kalau misalnya ada, seberapa besar pun dana hibah Mujahidin yang mengalir ke saya, ke istri saya, ke anak saya, ke menantu saya, saya akan beri kuasa kepada kejaksaan sebagai pengacara negara untuk menyita dan menggunakan seluruh aset saya yang tercatat dalam LHKPN untuk kepentingan negara,” kata Sutarmidji.

Sejalan dengan itu, Sutarmidji juga meminta, agar aparat penegak hukum (APH) berlaku adil, dengan melakukan pemeriksaan pula terhadap semua kebijakan hibah yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Kalbar selama ini, siapapun gubernurnya.

“Periksa semua hibah yang dikeluarkan ketika masa jabatan saya. Kalau perlu sebelum masa jabatan saya. Periksa semua hibah itu, tapi transparan. Kalau ada (korupsi), saya akan bertanggung jawab dunia akhirat,” katanya.

“Selama ini nama baik saya dirugikan atas pemberitaan ini. Banyak pertanyaan yang timbul dari penanganan hibah Mujahidin,” katanya.

Ia pun menilai, pemeriksaan kualitas bangunan sejauh ini jelas tidak prosedural dengan menggunakan tenaga ahli dari daerah lain yang tidak tahu menahu struktur tanah di Kalimantan Barat.

“Jangan sampai nanti terjadi seperti gedung BPN dan BCA dulu, itu karena tidak mengerti struktur tanah kita di sini,” kata Sutarmidji.

“Saya selama ini diam, karena saya tidak ingin berpolemik. Tapi sekarang sepertinya semakin jadi. Semakin kita diam, semakin jadi. Kalau mau buka-bukaan, saya lebih banyak tahu. Saya sebagai gubernur lebih tahu persis, saya tahu semua. Tapi jangan paksa saya buka. Nanti institusi penegak hukum, dan oknum-oknumnya bisa kehilangan kepercayaan masyarakat,” paparnya.

Bagi mereka yang sudah membuat fitnah terhadapnya dan keluarga, Sutarmidji hanya bisa berdoa, semoga Allah menyadarkan mereka.

“Dan ingat hukum tabur tuai pasti akan berlaku. Sebelum itu terjadi segeralah bertaubat,” katanya.

Sutarmidji turut menyarankan kepada para mahasiswa yang sering demo tentang hibah Mujahidin, untuk tetap kritis, bersuara, untuk memberantas korupsi.

“Saya siap untuk berbagi, berdiskusi ataupun berdialog,” katanya.

Dirinya juga berharap kepada auditor dalam hal ini adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar dapat bekerja secara profesional. Midji berharap, BPKP dalam bekerja tak memasukkan unsur perasaan “tak enak” dan memaksakan harus ada temuan. Terlebih lagi ada permintaan dari institusi-institusi tertentu.

“BPKP dalam mengaudit harus objektif, jangan ada rasa tidak enak karena ada institusi ini-institusi itu, harus objektif. Kalau sudah dipermainkan, ‘oh harus ada temuan’, tidak bisa begitu, mau jadi apa negara ini? Kalau tidak ada temuan jangan dipaksakan ada temuan,” katanya.

Kalaupun memang ada temuan, namun temuan itu ternyata secara nyata dipaksakan, maka Sutarmidji meminta kepada Yayasan Masjid Mujahidin untuk berani melakukan perlawanan terbuka.

“Gugat saja kalau ada temuan-temuan yang tidak benar. Kita lapor saja (ke institusi di atasnya), jika perlu lapor ke KPK, biarkan KPK yang tangani, habis itu saya akan sebut satu per satu, termasuk kasus-kasus besar yang tidak diungkapkan,” katanya.

“Kepada penegak hukum jangan saudara bicara ‘kita ajukan saja ke pengadilan, terserah pengadilan yang memutuskan’, jangan paksakan kasus untuk kepentingan saudara mendapat promosi jabatan,” tutup Sutarmidji. (**)

Comment