Soal Pesta Pora di Pendopo Jabatan, Ria Norsan Dinilai Sudah Keterlaluan

KALBARONLINE.com – Pesta pora berkedok “open house” Idul Fitri 1446 H di Pendopo Gubernur Kalbar terus menjadi perbincangan publik hingga hari ini. Ketidakpuasan hingga kecaman silih datang bersahutan di berbagai platform media.

Pesta yang terlihat lebih diperuntukkan bagi relawan 02 itu dinilai masyarakat sungguh keterlaluan. Di tengah ekonomi yang sulit, tumpukan persoalan daerah yang menunggu untuk diselesaikan, Ria Norsan sebagai gubernur malah seolah lupa daratan.

Jangankan mau menuntaskan pekerjaan rumah yang ada, langkah pertama yang dijanjikan dalam 100 hari kerja sebagai kepala daerah pun tak kunjung dimulainya. Keresahan mengenai kredibilitas dan kapabilitas Norsan sebagai pemimpin turut muncul beriringan, bahkan bagi mereka yang duduk di menara gading kini ikut menggelengkan kepala.

Fenomena hedonisme pejabat yang dibungkus dengan “dalih” open house ini pun turut disesalkan oleh Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalbar, Herman Hofi Munawar. Menurutnya, ketika telah resmi dilantik oleh Presiden RI pada 20 Februari 2025, maka seharusnya tidak ada lagi kubu 01, 02 atau 03. Semuanya diharapkan melebur menjadi satu. Begitu pula dengan gubernurnya, harus bisa menjadi pemimpin untuk semua rakyatnya.


“Sudah selesai ceritanya, dengan terpilihnya gubernur yang baru. Dengan adanya yel-yel semacam itu, itu membuka luka lama bagi sebagian orang, jadi ada kekesalan (sehingga viral) tadi, ini mesti dipahami juga oleh gubernur yang mestinya tidak terjadi,” kata dia.

“Apalagi disitu diperlihatkan secara jelas, diperlihatkan ada gubernur bersama istri juga dengan gerakan yang sama, seolah-olah menciptakan sebuah sekat-sekat baru di kehidupan masyarakat. Seharusnya kan gubernur sebagai kepala daerah mestinya harus meleburkan semua itu tadi. Tidak ada lagi sekat-sekar baru di dalam masyarakat,” lanjut Herman.


Dirinya pun menilai wajar, jika sebagian publik bereaksi keras terhadap apa yang dilakukan Norsan, istri serta pendukungnya itu. Termasuk soal asal dana yang digunakan, di mana masyarakat kata Herman berhak pula mempertanyakannya.

“Kedua terkait penilaian masyarakat yang terlalu mewah, kita mengerti juga terlepas (perdebatan) itu dana dari siapa, apakah dana dari APBD atau dana pribadi, tapi karena dilakukan di pendopo jabatan, wajar masyarakat beramsumsinya ke sana (pakai APBD),” ujar Herman.


“Jadi tidak bisa kita salahkan juga ketika masyarakat menilai bahwa ini dananya bukan dari dana pribadi tapi dana APBD, karena memang dilaksanakan di pendopo pemerintah, dengan fasilitas pemerintah, karyawan-karyawan yang menyiapkan segala macamnya itu karyawan dari pemerintah, sehingga asumsi masyarakat tidak bisa disalahkan kalau mereka berpikir seperti itu,” terangnya lagi.

Herman berpendapat, andai sekalipun dana yang digunakan berasal dari dana pribadi, tetap saja pesta mewah itu tidak tepat dilakukan sekarang ini.


“Terlepas dari cerita apakah ini dana pribadi atau dana pemerintah, tapi itu kurang pas, di situasi ekonomi kita yang sekarang ini, ada efisiensi semacam ini, artinya sebenarnya secara psikologis kurang begitu pas lah ya. Mestinya, perlihatkan bahwa kondisi ekonomi kayak begini, aktivitasnya pun mesti disesuaikan lah, jadi tidak ada kesan (tidak pengertian dengan rakyat, red), ini ada artis ibu kota lah, apa segala macamnya lah,” kritiknya.

Terlebih kata Herman, APBD Kalimantan Barat saat ini tengah dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, di mana PAD yang ada juga sangat kecil, sehingga dinilai belum mampu mencukupi atau mengcover segala pembangunan yang dibutuhkan masyarakat.


“Apalagi ditambah efisiensi, transfer dana pusat sendiri dan bagi hasil pajak juga semakin berkurang. Ini kan persoalannya sangat serius sekali. (Jadi) kalau timbul kritikan-kritikan dari masyarakat mengenai efisiensi anggaran saya pikir hal yang wajar juga, karena masyarakat sangat mengetahui sekali, banyak kebutuhan dasar masyarakat yang belum terpenuhi saat sekarang ini,” tegasnya.

Baca Juga :  Biar Orang Ngomel-ngomel, Sutarmidji: Soal Covid-19 Kita Ketat

Kendati Herman tak mengetahui apa sebenarnya tujuan Norsan berbuat demikian, namun yang jelas kegiatan di Pendopo Gubernur Kalbar kemarin sedikit melukai perasaan masyarakat, terutama masyarakat-masyarakat yang berada di daerah. Mereka yang serba kekurangan dalam segala hal.

Beban Utang Budi

Hiruk pikuk perdebatan mengenai pesta mewah ini kian memanas di media sosial, hal itu seiring dengan aksi saling berbalas pantun yang dilakukan antara masyarakat versus pendukung 02.

Mirisnya, dari sisi masyarakat yang melakukan kritik terhadap gaya hedonisme tersebut justru dibalas oleh fans Norsan sebagai ungkapan kedengkian lantaran kalah dalam pemilu 2024. Dengan kata lain, setiap masyarakat yang mengkritik Norsan hari ini, akan buru-buru dihakimi sebagai orang-orang yang kontra 02 yang tak senang karena Norsan menang.


Berangkat dari fenomena itu, Herman turut menduga, kalau ide “open house” ini bukanlah ide Norsan semata, melainkan lebih kepada tuntutan tim suksesnya yang ingin bersuka ria.

“(Mungkin) hanya euforia semata sebetulnya, saya yakin sebenarnya ini bukan ide dari beliau (Norsan), bukan pure dari beliau, saya yakin itu, tapi euforia orang-orang terdekat beliau yang mendorong beliau seperti itu, saya yakin, tapi beliau ini terkadang tidak mampu juga melawan, membendung bisikan-bisikan kiri-kanan ini, sehingga terjadi seperti begitu,” katanya.


Namun apapun itu, lantaran Norsan kini sudah menjadi gubernurnya rakyat Kalbar, Herman berharap agar yang bersangkutan segera sadar diri dan sebisa mungkin mengurangi bisikan-bisikan tersebut ke depannya. Menurutnya, jangan sampai karena merasa ini adalah tim pemenangannya, Norsan lantas memperturutkan keinginan yang bahkan kontraproduktif bagi masyarakat secara luas.

“Ini (kalau diturutkan) sangat berbahaya sekali. Saya pikir ke depan kurangi lah hal-hal yang semacam itu, artinya bisikan-bisikan dan sebagainya yang kontraproduktif sifatnya, bisa merusak citra beliau sendiri. Tapi saya yakin beliau tidak demikian, tapi karena tadinya sudah terjebak dengan situasi seperti itu, tambah lagi semacam merasa berbahagia dan (tuntutan) ucapan terima kasih dengan tim-tim yang ada, sehingga dibuatlah (acara) kayak begitu, walaupun momennya menurut saya kurang tepat,” urainya.


Selain itu, yang dikhawatirkan pula, tim-tim yang berasal dari latar belakang berbeda, semisal suku, agama dan lainnya, ingin juga diperlakukan sama. Sehingga pesta-pesta semacam ini mau tak mau terus berlanjut sehingga akan menjadi masalah tersendiri, dan pastinya membebani keuangan yang ada.

“Soalnya nanti ada muncul lagi lho, bukan ini saja, nanti akan ada agenda-agenda yang lain, orang berpikir kenapa di agenda (Idulfitri) ini saja, nanti ketika kami Natal dibuat juga lho, nanti Tahun Baru dibuat juga lho, dan seterusnya-dan seterusnya, artinya banyak persoalan yang akan muncul nanti,” kata Herman mengingatkan.


Lama Gerak, Bikin 100 Hari Kerja Mangkrak

Herman Hofi Munawar yang juga merupakan direktur di lembaga bantuan hukum “Herman Hofi Law” ini ikut menebak-nebak apa sebenarnya yang ada di kepala Ria Norsan. Sebab, sebagai Gubernur Kalbar, mantan Bupati Mempawah itu belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi pembangunan dan masyarakat.

“Ini lah, agak lamban juga sih sebetulnya, yang kita lihat beberapa gubernur di provinsi lain, begitu selesai pelantikan itu terus bergerak, macam-macam yang mereka lakukan,” katanya.


Herman tak menampik, kalau Kalbar memang tak bisa serta merta disamakan dengan daerah lain, ditambah dengan luasannya yang satu setengah kali Pulau Jawa sehingga membutuhkan waktu dan sebagainya. Tapi maksud dia, setidaknya sang pemimpin juga seharusnya sudah memiliki jaring-jaring kebijakan yang jelas dan masuk akal.

Baca Juga :  Bertemu Tokoh Sanggau, Ria Norsan Minta Doa Restu dan Bertukar Ide Soal Pembangunan ke Depan

“Tetapi yang jelas, untuk 100 hari kerja yang dicanangkan itu saya tidak yakin, karena memang situasi yang ada sekarang ini,” katanya.


Hal itu disampaikan Herman saat menanggapi progres janji program 100 hari kerja Gubernur Kalbar yang akan menggratiskan biaya SMA dan SMK swasta di 14 kabupaten kota yang ada.

“Misalnya beliau pernah men-declare bahwa 100 hari kerja itu adalah pendidikan gratis untuk SMK dan SMA negeri dan swasta. Saya rasa ini tidak mungkin, dan saya pastikan ini tidak akan terlaksana,” kata Herman terang-terangan.


Menurut analisa Herman, Norsan sebenarnya tak cukup mempunyai perhitungan yang matang soal ini. Karena untuk menjadikan SMA maupun SMK swasta gratis, setidaknya ia membutuhkan dua buah peraturan daerah (perda).

“(Kebijakan sekolah gratis) membutuhkan kajian yang sangat serius sekali, jadi tidak main-main. Yang pertama adalah dia mesti mengeluarkan, paling tidak ada dua perda yang harus dibuat. Pertama adalah perda gratis itu sendiri, yang kedua adalah perda tentang standar biaya pendidikan, nah kita belum punya (keduanya),” katanya.


“Kita tidak punya perhitungan berapa biaya yang dibutuhkan, makanya mesti ada perda standar biaya pendidikan itu, dari perda itu sendiri menjadi acuan pemerintah untuk melakukan ploting anggaran terkait dengan subsidi ke sekolah-sekolah swasta itu sendiri,” tambahnya.

Selanjutnya, kata “gratis” yang dimaksud dalam program ini. Norsan menurutnya harus pula menjelaskan secara detail apa yang dimaksudkannya.


“Gratis itu kayak apa di sekolah-sekolah swasta? Apakah ini pure 100 persen itu gratis, atau ada subsidi tertentu? Kalau misalnya pemerintah hanya membantu per anak Rp 100 ribu, ini kan tidak mungkin, nah sementara se-Kalimantan Barat ini kalau tidak salah saya ada hampir 400-an sekolah SMA/SMK yang harus digratiskan, ini belum termasuk yang pondok pesantren dan sebagainya,” terang Herman.

Maka dari itu, ia kembali menekankan perlu adanya kajian yang sangat serius mengenai persoalan ini.


“Terkait dengan penganggaran tadi, perhitungan APBD kita, itu sudah dihitung belum? Belanja-belanja terkait pendidikan itu seperti apa? Tentu otomatis ini akan menggeser anggaran yang lain. Artinya pos-pos ini harus di-clear-kan dulu,” katanya.

Alhasil, untuk membuat sebuah perda saja membutuh waktu yang cukup panjang. Karena akan ada pembahasan-pembahasan, kajian-kajian, konsultasi dan lain sebagainya.


“Misalnya pernah tidak sudah dilakukan kajian-kajian untuk bantuan ke sekolah-sekolah swasta itu, kayak apa bentuknya? Saya pastikan belum ada kajian. Belum lagi koordinasi dengan sekolah-sekolah swasta itu sendiri, karena sekolah-sekolah swasta itu ada yayasannya, dan yayasan-yayasan itu ada aturan mainnya, dan itu tentu harus dibicarakan dulu, didiskusikan dulu, dilakukan pengkajian dan sebagainya,” papar Herman.

Kesimpulannya, dengan lambannya gerak Norsan dalam melakukan eksekusi, ditambah lagi dengan adanya sejumlah pergeseran nomenklatur dan efisiensi anggaran serta masalah lainnya, Herman memastikan, kalau program sekolah gratis yang akan dibuat dalam 100 hari kerja ini hanya bagaikan mimpi di siang bolong saja.


“Jadi saya lihat, mohon maaf sekali, gubernur kita ini terlalu cepat (berucap janji) tanpa ada perhitungan dengan data yang jelas. Karena perencanaan tanpa data, sama saja merencanakan kegagalan,” tegasnya.

“Cobalah, ini kan banyak akademisi, di Untan, di perguruan tinggi swasta dan lainnya ini kan banyak, diajak bicaralah, sehingga betul-betul ada kajian secara ilmiah, kajian yuridis dan sebagainya harus diperhatikan,” tutup Herman. (**)

Comment