Ketika Jumbo Membuktikan, Anak Bangsa Mampu Membuat Dunia Menangis

PADA sebuah malam Rabu, 23 April 2025, di tengah kesibukan yang tak pernah benar-benar reda, aku menemukan secercah rasa penasaran lewat sebuah obrolan ringan di layar kecil. Podcast Raditya Dika bersama Ryan Adriandhy — sutradara film animasi Jumbo — mengalir pelan ke telingaku, memantik sesuatu yang sudah lama terlupakan, rasa ingin tahu tentang seberapa jauh sebenarnya kualitas animator Indonesia kini.

Dalam podcast itu, Ryan bercerita — dan di situ juga aku baru sadar, bahwa pria yang dulu dikenal sebagai stand-up comedian, teman lama Raditya Dika di serial Malam Minggu Miko, ternyata menyimpan cerita lain yang tersembunyi dari gemerlap panggung komedi.

Ryan Adriandhy pernah bersekolah animasi di luar negeri. Bukan hanya mengocok perut lewat panggung, tetapi diam-diam, ia membangun mimpi lewat meja gambar, melalui kelas-kelas teknik animasi di negeri orang.

Fakta itu menampar rasa penasaranku lebih keras. Kalau selama ini aku mengagumi keberanian Ryan di dunia komedi, kini aku ingin melihat seperti apa mimpi-mimpinya dituangkan dalam bentuk animasi.

Apakah jenaka? Apakah emosional? Apakah cukup kuat untuk membuatku — seorang wartawan yang skeptis — percaya?

Malam itu juga, aku mengambil ponsel dan mengetik pesan kepada istriku. “Yang, coba cek di M-Tix, masih ada gak film Jumbo?” (M-Tix, aplikasi andalan untuk memesan tiket bioskop XXI secara online, memudahkan pencarian.)

Padahal, aku sendiri punya aplikasi M-Tix di ponselku. Tapi malam itu, aku sengaja meminta dia yang mengecek — sebagai sebuah kode kecil, isyarat tak langsung bahwa aku ingin mengajaknya pergi menonton bersama.

Tak lama, balasan masuk: “Masih.”

Dalam hati, aku memutuskan: “Oke, besok kita nonton.”

Tanpa banyak pikir panjang, aku langsung membuka M-Tix dan membeli tiket. Kususun kursi satu deret — untukku, Azurra, istriku, dan Uccy — sebuah barisan kecil untuk perjalanan rasa yang belum kami tahu akan begitu dalam malam itu.

Keesokan harinya, aku mengajak seluruh keluarga kecilku — istriku, dan ketiga buah hatiku: Uccy, Azurra, dan Athar — menuju bioskop.

Sekitar pukul 15.22 WIB, aku mengabari istriku lewat pesan singkat: “Tiket sudah aku beli.”

Sebuah pesan sederhana, tetapi dengan makna yang dalam — isyarat agar ia bisa bersiap sejak awal, mengatur segala keperluan tiga nyawa kecil di rumah, plus satu dirinya sendiri.

Aku tahu, untuk seorang ibu, berangkat bersama tiga anak kecil bukan urusan remeh. Ada pakaian ganti, popok, cemilan, susu, mainan kecil — daftar tak terlihat yang harus ia bawa rapi dalam pikirannya.

Tentu saja, seperti keluarga dengan anak kecil pada umumnya, perjalanan ini tetap dimulai dengan sebuah keributan kecil.

Sejak petang, rumah kami di kawasan Pontianak Tenggara riuh oleh suara-suara kecil yang berlarian. Saat aku pulang kerja, Azurra, yang baru empat tahun lebih, menyambutku dengan pelukan hangat di depan pintu. Di kamar, kulihat istriku sudah bersiap — tangan-tangannya lincah, mengatur pakaian dan perlengkapan.

Uccy, yang berusia lima tahun lebih, terlihat santai duduk di lantai, menonton kartun — bukan kartun lokal, melainkan kartun luar negeri yang sesekali membuatnya terkikik kecil.

Baca Juga :  Benarkah Masyarakat Kita Tidak Patuh Bayar Pajak?

Sementara itu, Athar, bayi mungil kami yang baru lima bulan lebih, sedikit rewel. Batuk pilek membuatnya tak setenang biasanya, meski dalam dekapan ibunya, ia tetap berusaha tenang.

Dalam sunyi yang sibuk, istriku tampak bergulat menggantikan pakaian Athar, sementara aku mengambil alih satu tugas kecil tapi bagiku penting, mencuci sandal Azurra.

Beberapa malam sebelumnya, aku sudah lebih dulu mencuci sandal Uccy, saat hendak pergi makan malam bersama, sehingga malam ini, sandal Azurra yang menjadi giliran.

Ini bukan semata-mata tentang kebersihan, tetapi tentang mengajarkan rasa hormat kepada diri sendiri, kepada orang lain, dan kepada tempat yang akan kami datangi.

Pukul 19.50 WIB, setelah semua kerepotan kecil itu, kami meluncur menuju Ayani Mega Mall, membelah udara malam Pontianak yang basah sisa hujan.

Tiba di parkiran sekitar 20.05 WIB. Film Jumbo baru akan tayang pukul 20.50 WIB — masih ada waktu sekitar 45 menit.

Sambil menunggu, kami mampir ke XXI Cafe, membeli cemilan dan minuman. Uccy dan Azurra memeluk kotak popcorn mereka dengan senyum kecil, sementara Athar — berlawanan dengan suasana di rumah — terlihat tenang, matanya penuh rasa ingin tahu.

Jumbo: Sebuah Ledakan Tanpa Modal Nostalgia

Begitu film dimulai, aku langsung sadar, ini bukan animasi biasa. Karakter-karakter seperti Don dan Meri — yang tak punya warisan legenda seperti Aladdin atau Mulan — tetap mampu hidup, berbicara, dan menancap di hati. Mereka lahir dari kosong, tanpa nostalgia, namun berhasil membuat kami peduli hanya dalam waktu singkat.

Di dunia animasi, membangun cinta terhadap karakter baru adalah misi berat. Tetapi Jumbo berhasil. Dengan cerita yang jujur, visual yang memukau, dan emosi yang dalam, film ini menunjukkan bahwa cinta bisa lahir dari keberanian menciptakan sesuatu dari nol.

Visualnya? Tak kalah dari karya Pixar. Pencahayaan, tekstur, gerakan, hingga ekspresi karakter — semua dieksekusi nyaris sempurna.

Aku yang datang dengan ekspektasi besar, tidak sedikit pun merasa kecewa.

Sebuah Tangisan Kecil di Tengah Gelap

Di tengah gelap studio 1 XXI Pontianak, kami duduk berurutan di kursi G7 hingga G10 —
aku di G7, Azurra kecil di G8, istriku di G9, dan Uccy di G10.

Ketika cerita mencapai nadir emosinya, istriku perlahan mencolek lenganku. Dengan bisikan yang hampir tak terdengar, ia berkata: “Uccy nangis yah.”

Aku menoleh, dan di bawah cahaya samar layar besar, kulihat Uccy, matanya berkaca-kaca, air matanya mengalir perlahan di pipi kecilnya. Bukan karena ketakutan. Bukan karena dipaksa.

Tetapi karena ia sungguh merasakan sedihnya kehilangan, merasakan perjuangan Don dan Meri dalam mencari harapan di dunia yang keras. Aku menahan napas. Dalam diam, aku tahu, Jumbo bukan sekadar film. Ia menyentuh hati bahkan yang paling polos.

film Jumbo, animasi Indonesia, film animasi Indonesia, Ryan Adriandhy, film Jumbo 2025, film animasi terbaik Indonesia
Uccy (kiri) dan Azurra (kanan) berpose di studio 1 bioskop XXI usai menonton Jumbo.

Sementara itu, di pelukan istriku, Athar yang tadi sempat terpaku melihat layar, perlahan tertidur pulas, seolah dunia warna dan cahaya itu menjadi pelantun ninabobo untuknya.

Baca Juga :  Refleksi Prahara Penobatan “Mak Repek”: Jatuhnya Marwah Kesultanan Pontianak di Tangan Sultan Syarif Mahmud Melvin Alkadrie?

Di Balik Layar: Perjuangan Tanpa Henti

Apa yang kami nikmati malam itu, dibangun dari darah dan peluh ratusan kreator. Dari ide-ide kecil yang bahkan pernah dianggap utopia.

Dalam salah satu podcast bersama Raditya Dika, Ryan Adriandhy bercerita dengan jujur, bagaimana berkali-kali ia mengetuk pintu produser membawa cerita Jumbo — yang saat itu masih hanya hidup dalam kepalanya.

Setiap pertemuan, ia harus menjelaskan: Ini butuh waktu lama. Ini butuh biaya lebih besar. Ini bukan proyek yang instan.

Dan setiap kali itu pula, selalu ada keraguan yang muncul dari seberang meja: “Memang animasi di Indonesia selama ini pernah ada sukses storynya?”

Banyak yang menolak. Banyak yang ragu. Bahkan sebagian menahan tawa. Tetapi perjalanannya berubah, saat ia bertemu dengan Angga Dwimas Sasongko — seorang kreator yang percaya bahwa mimpi layak diperjuangkan, sekalipun semua statistik dunia berkata sebaliknya.

Setelah Ryan menjelaskan mimpinya tentang Jumbo, tentang dunia baru, tentang keberanian membangun cerita dari kosong, Mas Angga hanya menjawab sederhana: “Ya udah, mau gak kita jadi sukses story?”

Sebuah kalimat pendek, tetapi membawa seluruh dunia Jumbo keluar dari kepala Ryan, masuk ke dunia nyata.

Sejak saat itu, perjalanan panjang animasi ini dimulai. Di bawah panji Visinema Pictures, sebuah rumah produksi yang dikenal lewat karya-karya film Indonesia berkualitas, Jumbo mulai dibangun dari nol — dengan ketekunan, dengan mimpi, dengan keberanian menembus batasan.

Visinema bukan sekadar produsen film, tetapi dalam proyek ini, mereka menjadi rumah bagi lebih dari 200 animator Indonesia, yang bertahan, berkarya, dan bermimpi bersama, meski badai pandemi menghambat langkah.

Lebih dari 200 animator Indonesia — bekerja dalam kondisi terbatas, melewati badai pandemi Covid-19, bertahan, berkarya, bertumbuh.

Ryan Adriandhy, Widya Arifianti, Anggia Kharisma, Angga Dwimas Sasongko, dan puluhan nama lainnya, membuktikan bahwa kesetiaan pada visi bisa membawa hasil melampaui batasan apa pun.

Per 24 April 2025, Jumbo sudah ditonton lebih dari 6,3 juta orang. Sebentar lagi, akan tayang di 17 negara di seluruh dunia.

Apa yang dulu diragukan, kini berdiri gagah — bukan hanya sebagai film, tetapi sebagai bukti bahwa Indonesia bisa menciptakan sukses story-nya sendiri.

Untuk siapapun yang masih mempertanyakan, “Apakah worth it nonton film animasi Indonesia?”

Jawabanku hanya satu, rugi kalau tidak nonton Jumbo.

Bukan sekadar soal nasionalisme. Tapi karena ini karya yang layak diperhitungkan di level dunia. Cerita yang jujur, visual yang memukau, emosi yang mengikat.

Indonesia tidak lagi sekadar penonton. Indonesia sudah menjadi kreator.

Sebuah Malam, Sebuah Film, Sebuah Kebanggaan

Malam itu, ketika lampu bioskop menyala, dan aku merangkul bahu kecil Azurra, melihat Uccy yang tertawa kecil, dan Athar yang tertidur damai, aku sadar, kami tidak sekadar menonton film. Kami sedang menjadi saksi lahirnya sejarah kecil di dunia animasi Indonesia.

Dan dalam sejarah itu, ada air mata kecil, ada kehangatan, ada harapan. Sebuah malam yang tak akan pernah aku lupakan.

Comment