KALBARONLINE.com – Beberapa waktu lalu, di sebuah negeri antah berantah, muncul sebuah kasus hukum yang dinilai cukup sulit untuk “dipecahkan”. Kasus tersebut berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan seorang pejabat publik.
Sebelumnya, KALBARONLINE telah mengulas dalam artikel berjudul Muncul Jurus Baru Antigratifikasi, Cukup Bilang ‘Bayar Utang’, yang membahas pola dugaan penggunaan dalih “bayar utang” sebagai jurus untuk menghindari jerat gratifikasi. Artikel ini merupakan lanjutan pembahasan tersebut, dengan membedahnya lebih dalam dari perspektif hukum dan kebijakan publik.
Kasusnya tergolong unik. Sang pejabat diketahui telah dinyatakan di pengadilan setempat menerima uang dari seorang kontraktor terkait sejumlah paket proyek. Namun, pejabat tersebut menolak jika hal itu dinyatakan sebagai gratifikasi atau siasat korupsi. Ia justru berdalih bahwa uang dengan nilai fantastis yang diterimanya itu merupakan pembayaran utang dari sang kontraktor kepada dirinya.
Polanya sederhana, tapi mematikan logika. Dan jika itu benar semata-mata hanyalah dalih untuk lolos dari jeratan hukum, tentu hal ini dapat menjadi jurus pamungkas yang mungkin akan disalin banyak pejabat publik di masa depan, yakni jurus “bayar utang” agar “selamat dari kandangan”.
Alhasil singkat cerita, sang pejabat tersebut pun kini masih belum dapat diproses. Kasusnya juga masih menggantung di kepolisian setempat. Ia masih melenggang bebas dan bahkan terpilih kembali sebagai kepala daerah pada pemilu 2024 kemarin.
Yang menjadi pertanyaan besar publik hari-hari ini, apakah memang sesulit itu aparat penegak hukum, atau penyidik kepolisan di republik berlambang burung itu mengurai fakta-fakta di balik modus tersebut?
Berikut KALBARONLINE akan membedahnya melalui wawancara eksklusif dengan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Herman Hofi Law sekaligus pengamat hukum dan kebijakan publik, Herman Hofi Munawar. Penjelasannya mengacu pada prinsip hukum di Indonesia, tentu saja—bukan hukum ala negeri antah berantah.
Apa pendapat Anda soal dalih “pembayaran utang” yang digunakan oleh pejabat publik saat menerima aliran dana besar dari pihak terkait proyek pemerintah?
Pembayaran utang yang digunakan pejabat publik saat menerima dana besar dari pihak terkait proyek pemerintah, adalah alasan yang sangat meragukan dan seringkali digunakan sebagai tameng untuk menyamarkan praktik korupsi atau gratifikasi.
Terdapat beberapa poin yang patut dipertanyakan, ketika ada dana besar dibayarkan dengan dalih bayar utang dan sebagainya, pertama ada konflik kepentingan, jadi jelas. Jika seseorang yang punya kendali atau pengaruh terhadap proyek pemerintah, menerima uang dari pihak yang terlibat dalam proyek itu, otomatis ada potensi konflik kepentingan, apalagi jika jumlahnya besar. Sangat sulit meyakinkan publik bahwa itu murni transaksi pribadi.
Kedua, tidak tertulis atau tidak transparan. Biasanya pembayaran utang yang sah dan legal bisa dibuktikan dengan dokumen, surat perjanjian pinjaman, bukti transfer, kuitansi. Kalau ini terjadi (tidak ada bukti fisiknya), maka ini adalah alasan yang sengaja dicari-dicari.
Kemudian, timing (waktu) yang mencurigakan. Kalau uang yang diterima berdekatan dengan momentum atau momen penting dalam sebuah proyek, seperti penunjukkan pemenang tender, atau pencairan anggaran, itu mungkin memperkuat ada kesan suap terselubung.
Kemudian, kalau kejadiannya (menerima uang dalam bentuk cash atau transfer) berulang atau sering terjadi, dalih serupa (bayar utang) juga dilakukan, hal ini sering dipakai dalam berbagai kasus korupsi dan sudah jadi semacam template pembelaan. Dan ini bikin publik skeptis, karena kesannya klise dan tidak kreatif.
Kalau memang benar ada utang piutang pribadi, harusnya transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak ada kaitan langsung dengan proyek pemerintah. Dan sebaiknya pejabat yang bersangkutan tidak sedang menjabat atau punya pengaruh terhadap proyek tersebut.
Dalam konteks Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sejauh mana narasi “utang pribadi” bisa membatalkan unsur gratifikasi?
Pertanyaan ini sangat penting, karena pertanyaan ini menyentuh inti dari hukum, bagaimana khususnya undang-undang hukum pidana memandang adanya relasi gratifikasi dan dalih utang pribadi.
Kalau kita lihat, dalam UU Tipikor, pada Pasal 12b, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ini termasuk juga pemberian uang, barang, rabat atau diskon, kemudian pinjaman tanpa bunga, misalnya juga ada tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata dan seterusnya, itu adalah bagian daripada gratifikasi.
Jadi dalih utang pribadi tidak otomatis menghapus unsur gratifikasi. Jadi pertanyaannya, kapan utang pribadi bisa dianggap bukan gratifikasi atau suap? Hubungan utang piutang harus jelas dan sah secara hukum. Harus bisa dibuktikan terlebih dahulu dengan dokumen tertulis, perjanjian pinjam-meminjamnya, seperti apa? Bukti transfer seperti apa? Bukti pelunasan seperti apa dan lain-lain. Nah jumlahnya dan waktunya pun harus masuk akal.
Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah, tidak ada kaitan dengan jabatan. Jika pemberi punya kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap jabatan si pejabat, maka utang tersebut sangat rentan diklasifikasikan sebagai gratifikasi atau suap. Ketentuannya sudah ada sebenarnya, gratifikasi itu wajib dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja. Kalau tidak dilaporkan, maka otomatis itu sebagai bentuk pemberian suap.
Apakah praktik seperti ini (transaksi lisan tanpa bukti tertulis) masih bisa diproses secara hukum? Atau cukup berhenti karena pengakuan personal?
Transaksi tidak tertulis tetap bisa diproses secara hukum. Kemudian, pengakuan personal tidak otomatis menghentikan proses hukum. Justru dalam hukum pidana—termasuk juga korupsi di sini, pengakuan bukan satu-satunya alat bukti yang sah sehingga cukup untuk menghentikan perkara, tidak begitu.
Yang tak kalah pentingnya, dalam hukum pidana, termasuk juga dalam tindak pidana korupsi, tidak mengisyaratkan adanya dokumen tertulis saja, namun yang diperlukan adalah alat bukti yang cukup. Tidak terbatas pada dokumen, ini sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.
Nah, alat bukti itu, ada keterangan saksi, ada keterangan ahli, ada surat atau dokumen, ada petunjuk misalnya aliran dana, komunikasi atau rekaman, itu petunjuk. Kemudian ada keterangan dari terdakwa.
Jadi meski tidak ada perjanjian tertulis, bisa saja ada rekaman suara yang mengetahui adanya transaksi, adanya bukti transfer, adanya petunjuk dari ya mungkin ada pemeriksaan dari BPK, dan seterusnya. Jadi (intinya) pengakuan pribadi tidak menutup proses hukum. Maksudnya (bermodal) pengakuan pribadi saja itu tidak berarti hukum itu selesai.
Pengakuan pejabat bahwa itu adalah utang pribadi, tidak lalu mengikat penyidik untuk tidak melakukan penegakan hukum, tidak demikian. Jadi penegak hukum atau penyidik tetap bisa melakukan penyelidikan, jika memang ada indikasi gratifikasi atau suap. Penyidik juga harus paham dulu, ada tidaknya indikasi gratifikasi atau suap. Apakah ada hubungannya dengan proyek pemerintah (atau) tidak? Kemudian terkait dengan kewajaran, wajar atau tidak, misalnya soal angka (nominal)-nya dan seterusnya.
Ini banyak sebenarnya terjadi, pelaku korupsi itu awalnya mengaku uang pinjaman pribadi. Setelah diselidiki, ditemukan bukti-bukti lain secara formal atau alasan rasional, akhirnya dia tetap pidana.
Kemudian, dalam kasus korupsi, penegak hukum bisa saja kerja sama dengan PPATK, bisa melakukan pelacakan transaksi keuangan. Jadi meskipun tidak tertulis, asal ada aliran dana yang mencurigakan, tetap bisa dibongkar.
Jadi kesimpulannya, bahwa tidak ada dokumen tertulis, tidak menjadi penghalang dalam proses hukum. Pengakuan pribadi tidak menghentikan proses pidana. Asal ada alat bukti lain, semisal saksi, rekaman, aliran uang, kasus tetap bisa diproses.
Bagaimana risiko preseden ini terhadap penegakan hukum di Indonesia jika terus dibiarkan? Apakah dapat merusak sistem hukum pidana kita secara menyeluruh?
(Risikonya) parah sekali. Jadi ini sangat rentan dalam penegakan hukum, sangat berisiko pada sistim hukum pidana kita, terutama dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Apa risikonya? Pertama adalah melemahkan prinsip kepastian hukum dan keadilan hukum. Jika dalih pribadi yang tidak bisa diverifikasi secara objektif dibiarkan saja, (maka) hukum akan kehilangan wibawa, masyarakat akan melihat bahwa hukum bisa dibelokkan kemana-mana, ada narasi-narasi lain yang bukan berdasarkan bukti-bukti yang konkret. Jadi hukum (seolah) terasa negosiasi bukan sistim yang objektif.
Kondisi itu tadi bisa menciptakan celah bagi pelaku (untuk) menghindar, jadi setiap pelaku korupsi mengatakan itu bukan suap, itu utang pribadi, ‘cuman karena kami tidak sempat tulis perjanjiannya’, bisa saja mereka berkata seperti itu. Dan ini kan akan terus menjadi preseden buruk ke depan. Kalau terus lolos tanpa pembuktian, maka modus utang pribadi ini akan jadi template pembelaan massal bagi kelompok pelaku korupsi.
Selain itu, ini bisa merusak integritas penegak hukum kita, jika jaksa, polisi, bahkan hakim sekalipun, melihat narasi-narasi semacam itu tanpa melakukan penyelidikan yang lebih mendalam lagi, maka muncul ruang kompromi dan negosiasi hukum di belakang layar. Ini yang kita semua khawatirkan.
Yang tidak kalah pentingnya, wajah penegakan hukum kita menjadi wajah yang ganda, punya standar ganda, yang gilanya, kepercayaan publik terhadap sistim hukum kita akan semakin rusak. Jadi Ini dampaknya akan sangat luar biasa kalau seperti itu. Jadi penegakan hukum kita harus berbasis bukti bukan narasi. Bukan ucapan-ucapan. Aparat penegak hukum kita harus memperketat pembuktian motif transaksi.
Revisi regulasi memperjelas batas-batas utang pribadi dan gratifikasi, harus konkret.
Apakah ini bisa dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan atau penyamaran gratifikasi?
Menurut saya, ini bisa dikategorikan penyalahgunaan kewenangan. Karena jelas sekali kajian-kajiannya. Jadi penyalahgunaan wewenang atau abuse of power itu dijerat dalam Pasal 3 UU 31 Tahun 2009. ‘Setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara, maka dapat dipidana’.
Itu jelas, unsur-unsurnya sudah terpenuhi. Apa unsurnya? Pertama unsur pejabat publik. Dia menggunakan posisinya untuk menerima dana dari pihak lain, dengan alasan yang tidak jelas. Kemudian yang berikutnya tidak ada mekanisme formal, kontrak tertulisnya apa? Bukti utangnya apa? Harus jelas, biar sah.
Kemudian (unsur berikutnya), dana yang diterima dalam konteks jabatan dan proyek pemerintah.
Jika ada kuitansi peminjaman uang yang kemudian dijadikan bukti untuk membenarkan narasi “utang pribadi”, namun patut diduga kuat baru dibuat setelah proses penyelidikan berlangsung, bagaimana pandangan Anda terhadap kekuatan hukum dokumen tersebut?
Kita lihat dulu, bukti kuitansi itu merupakan bukti tertulis yang mencakup jumlah pinjaman, tanggalnya, identitas pemberi dan penerima pinjaman, dan tandatangan, pastikan kuitansi itu asli dan lengkap untuk menghindari keraguan secara hukum.
Kemudian, kuitansi hanya membuktikan transaksi pinjaman, bukan motif atau cerita dibalik kuitansi itu. Misalnya dijadikan narasi kuitansi itu mengklaim utang untuk keperluan tertentu, kuitansi tidak otomatis membenarkan klaim tersebut, kecuali ada bukti tambahan, misalnya catatan, ada hal-hal tertentu untuk memperkuat bukti itu tadi.
Jika kuitansi digunakan untuk memanipulasi, jelas melanggar hukum, seperti (sama pada ranah) penipuan atau pemalsuan dokumen. Jadi ini merupakan fakta hukum yang harus menjadi perhatian yang serius.
Apakah kuitansi seperti itu bisa diuji secara forensik untuk membuktikan keasliannya?
Sebetulnya ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk membuktikan kuitansi itu asli apa tidak. Pertama uji kimia tinta misalnya. Jadi, forensik dapat menganalisis komposisi kimia tinta yang digunakan, menentukan usia dari tinta yang dipakai itu tadi, yang digunakan konsisten dengan metode pembuatan kuitansi. Jadi tinta yang digunakan untuk tanda tangan dan untuk menulis bisa diketahui kapan dan jenis tintanya apa, bisa diketahui.
Selain tinta, yakni pada kertasnya. Kertas diperiksa untuk memastikan jenis dan merek kertasnya, karakteristik kertasnya. Kemudian waktu kertas itu, apakah kertas itu sudah lama diproduksi atau tidak, atau ketika itu jenis itu belum ada (sehingga langka) misalnya.
Jadi dengan adanya uji tinta dan uji kertas pada kuitansi, itu menjadi salah satu cara apakah ada pemalsuan atau tidak.
Kemudian dilakukan analisis terhadap tulisan. Perbandingan tanda tangan misalnya. Ahli forensik dapat membandingkan tanda tangan pada kuitansi dengan sampel tanda tangan asli dari pihak yang bersangkutan untuk memastikan keaslian kuitansinya.
Kemudian tekanan dan gaya tulisan, itu bisa diuji. Kecepatan dalam penulisan, atau kebiasaan yang digunakan oleh para pihak tadi dalam melakukan tulisan-tulisan di atas kuitansi itu. Nanti kelihatan, apakah kuitansi itu memang dilakukan oleh orang yang sama, atau tanda tangan itu palsu, sebab masing-masing itu ada gaya (tulisan) yang bisa dilakukan.
Selain tanda tangan, dari forensik juga bisa memeriksa apakah ada bagian dari kuitansi yang diubah, (seperti) ditambah atau dihapus misalnya.
Kemudian kalau misalnya kuitansi itu menggunakan stempel atau cap, maka hal itu juga bisa diperiksa secara forensik, desainnya seperti apa? Konsisten kah dengan stempel atau cap resmi pada masa itu, atau tidak.
Kemudian juga analisa digitalnya. Jadi ketika kuitansi difotokopi atau di-scan, forensik dapat memeriksa dan melihat file untuk mengetahui kapan dokumen itu dibuat, atau (kah) itu hasil editan.
Kemudian usia dokumen, akan kelihatan itu dari berbagai macam variabel tadi. Tinta, kertas, dan gaya tekanan dalam penulisan dan sebagainya.
Kemudian prosesnya. Uji forensik tidak boleh sembarangan, tapi harus dilakukan oleh ahli forensik. Dan itu diyakini memang betul barang itu diperiksa oleh ahli forensik yang terlatih dan terakreditasi—selain laboratoriumnya juga harus yang terakreditasi.
Kemudian, hasil (semua) ujinya dapat digunakan sebagai bukti untuk mencari kebenaran materiil tadi. Jadi sangat ditentukan oleh kecermatan dalam melakukan uji forensik tadi. (**)
Comment