Suara dari Sang Tetua

Cerita dari Antah Berantah belum juga rampung. Saat kabar penggeledahan di Balai Janji masih bergema, dan Mas Wacana Mahardika baru saja membuka pintu kabar soal tersangka, kini giliran suara dari luar lingkar istana yang muncul ke permukaan. Bukan dari para prajurit bersenjata, bukan pula dari penguasa yang menatap langit dalam diam.

Kali ini, seorang tetua—yang selama ini hanya menyimak dari kejauhan—memilih bersuara. Ia tak memegang kuasa, tapi memegang nalar. Ia tak menekan, tapi menimbang. Di tengah kabut yang tak kunjung sirna, suaranya datang sebagai penyeimbang antara kegaduhan dan keheningan. Cerita bersambung ini adalah bagian dari upaya menyingkap apa yang selama ini dikunci rapat oleh para penjaga janji.

Taserna

KETIKA Balai Janji sudah digedor, naskah-naskah tua disita, dan suara Mas Wacana Mahardika tak kunjung memberi kepastian, muncullah suara lain—bukan dari istana, bukan dari pendekar Ketoprak, tapi dari seorang tetua bijak yang selama ini memerhatikan jalannya hukum di negeri Antah Berantah.

Baca Juga :  Ketika Jumbo Membuktikan, Anak Bangsa Mampu Membuat Dunia Menangis

Namanya, Hofiran Sang Penimbang Aturan, seorang penafsir siasat dan tata kuasa di Tanah Barat.

Menurutnya, apa yang dilakukan para pendekar Ketoprak sah secara aturan. Mereka tidak datang dengan tangan kosong, tapi membawa Kitab Tata Jejak & Penangkapan, serta gulungan pasal dari Kitab Pembersih Tangan Kotor—dua pusaka hukum yang menjadi dasar tiap langkah pemberantasan rasuah.

“Para penyidik punya hak untuk membongkar, menyita, dan menangkap,” ucap Hofiran dari serambi rumahnya yang penuh naskah-naskah usang.

“Tentu saja, semua itu harus sesuai jalan hukum dan sopan santun penyidikan.”

Ia memuji langkah penggeledahan yang dilakukan dengan senyap dan pengawalan prajurit berkuda, sebagai pertanda adanya koordinasi antar penjaga negeri. Tapi Hofiran tak menahan kritik, “Kenapa begitu lambat bicara?”

Baca Juga :  Janji yang Terkunci

“Di zaman di mana kabar bisa melaju lebih cepat dari kereta kuda, diam justru bahan bakar kegaduhan,” lanjutnya.

“Kalau Pendekar Ketoprak terus menutup tirai kabar, rakyat akan mengisi ruang itu dengan bisik-bisik liar.”

Menurut Hofiran, Kumpulan Pecinta Ketoprak perlu membuka lebih banyak pintu. Bukan membocorkan perkara, tapi memberi sinyal terang bahwa langkah mereka bukan sekadar ritual rahasia yang menebar ketakutan.

Ia mendorong pendekar untuk menyampaikan kabar resmi melalui Cermin Maya di Pasar Bisik, melibatkan rakyat menjaga jalannya keadilan, menjaga kesucian prosedur hukum dalam Kitab Tata Jejak, dan tetap menyucikan niat dengan mantra-mantra dari Kitab Pembersih Tangan Kotor.

“Kerahasiaan penting, iya. Tapi rakyat juga berhak tahu bahwa hukum bukan hanya untuk mereka yang lemah. Kejelasan adalah pupuk kepercayaan,” tutup Hofiran.

Comment