KALBARONLINE.com – Mantan Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji ikut menengahi saling sahut antara Wakil Gubernur Kalbar, Krisantus dengan Anggota DPR RI, Cornelis terkait kewenangan perizinan dan pengelolaan sektor pertambangan di daerah.
Kendati Krisantus dan Cornelis berasal dari partai yang sama, yakni PDIP, namun kedua kader banteng itu kekeh berseteru pandang soal cara mengurus tambang.
Awal saling sahut ini bermula dari pernyataan Krisantus yang pada intinya menginginkan kewenangan lebih dari pemerintah pusat agar daerah dapat mengelola sendiri tambangnya. Dengan alasan minimnya kontribusi perusahan-perusahaan tambang yang ada selama ini bagi pendapatan daerah (PAD).
Namun tak lama, aspirasi Krisantus itu disahut oleh Cornelis, dengan menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Kalbar sebaiknya tidak memusingkan hal-hal yang bukan menjadi kewenangannya, sembari menyarankan agar pemerintahan Krisantus yang baru seumur jagung itu dapat fokus saja menggali segenap potensi PAD yang ada, di luar tambang.
“Fokus saja yang menjadi kewenangan provinsi,” celetuk Cornelis yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur Kalbar dua periode.
“Ngapain kita pusing? Kalau kita tak diberi hasil ya sudah. Itu resiko Negara Kesatuan Republik Indonesia,” timpalnya.
Menanggapi hal itu, Sutarmidji berpandangan, bahwa memang sebaiknya—atau setidaknya untuk saat ini—kewenangan perizinan dan pengelolaan pertambangan di daerah dipegang oleh pemerintah pusat. Beberapa argumen yang bisa dijadikan dasarnya, pertama, perintah konstitusi. Pada Pasal 33 ayat (3) UUD 45 dinyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Diksi “negara” pada pasal itu diartikan sebagai pemerintah pusat.
Kedua, pertambangan merupakan sektor usaha yang sangat padat modal. Artinya, kesanggupan daerah untuk membiayai pengelolaan tambang juga harus menjadi pertimbangan. Kemudian soal dampak lingkungan, pengawasan dan lain-lain. Di mana hal itu harus disiapkan dalam dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) sebagai dokumen yang wajib disusun oleh penanggung jawab kegiatan pertambangan rakyat untuk memastikan kegiatan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dokumen ini berisi identifikasi potensi dampak, pengelolaan, dan pemantauan lingkungan selama kegiatan pertambangan berlangsung.
“Kewenangan perizinan dan pengelolaan sektor pertambangan sebetulnya sudah jelas, mana yang wewenang pusat dan daerah, karena sektor tambang ini sangat padat modal dan tak boleh asal-asalan, karena dampak lingkungannya yang sangat berbahaya untuk jangka panjang kalau tak dikelola sesuai UKL-UPL yang sudah disetujui,” kata dia.
Maksud Sutarmidji, diperlukan komitmen dan keseriusan yang kuat dari pemerintah daerah jika ingin mengelola sektor pertambangan. Sebagai langkah awalnya, pemerintah daerah saat ini bisa mengajukan izin Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) kepada pemerintah pusat.
“Kalau untuk daerah, bisa mengajukan Wilayah Pertambangan Rakyat, tapi harus serius, jangan cuma semangat aja, atau bisa-bisa jadi alat pemodal, atau bos tambang ilegal yang ‘mungkin’ tak rela ada WPR,” katanya.
Khawatirnya pula, jika pemerintah daerah tak serius mengelola tambang, ditambah lagi dengan indikasi lemahnya pengawasan yang ada, maka hal itu akan menjadi bancakan bos-bos tambang ilegal. Sehingga yang tadinya berharap akan untung besar untuk PAD, malah jadi lahan basah bagi mafia untuk merampok kekayaan alam di daerah.
“Karena (kalau) pengelolaan WPR pasti akan jelas. Kalau sinyalemen Pak Wagub benar, yang katanya emas dari tambang ilegal itu ton-tonan, itu mungkin jadi potensi daerah (PAD). Yang jadi tanda tanya, kemana mas yang ber ton-ton itu? Kalau keluar dari Kalbar lewat mana? Jaringan ini harus dibongkar, pasti sudah ada yang tau jaringannya, dan ini pajaknya kemana? (Bayangkan) kita jual 100 gram aja ada dikenai pajak,” kata Sutarmidji.
Mantan Wali Kota Pontianak dua periode itu juga serius mengingatkan, agar pemerintah daerah tidak serta merta menuntut kewenangan yang lebih besar tanpa mengukur kemampuan. Dengan kata lain, Sutarmidji mau bilang, banyak PR yang harus dibenahi terlebih dahulu di daerah sebelum meminta tanggung jawab yang lebih besar dari negara.
“Ingat kasus SB (cukong emas) yang triliunan?” ungkapnya retorik.
Kembali soal WPR, Sutarmidji mendorong agar setiap kabupaten/kota yang memiliki potensi tambang dapat mengajukan izin ke pemerintah pusat melalui pemerintah provinsi. Adapun di antara syaratnya, pemerintah kabupaten/kota tersebut harus terlebih dahulu menentukan lokasi WPR sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RTRD) masing-masing.
“Kemudian ajukan ke pusat lewat provinsi, nah provinsi urus ke pusat. Tahun 2021 (saat saya jadi gubernur) kalau tak salah sudah ada 6 (izin) WPR yang keluar, 3 Ketapang, 3 Kapuas Hulu, cuma operasionalnya lama karena persyaratan untuk itu lama di TL, seperti tak ada anggaran untuk susun UKL/UPL-lah, belum ada koperasinya lah, dan ini semua (kewajiban, red) ada di kabupaten,” ujarnya.
“Saya sarankan, supaya yang 6 WPR ini dibantu sampai operasionalnya, bagus sebagai percontohan, agar pengajuan WPR-WPR lain dapat disetujui. Sekarang ada koperasi Merah Putih, gunakan momentum ini untuk ajukan WPR,” tambah Sutarmidji.
Namun demikian, diakui Sutarmidji, pengajuan WPR ini memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, ketika izin tersebut keluar, tambang di daerah diharapkan dapat dikelola secara maksimal.
“Proses UKL-UPL ini tak mudah juga, bisa tahunan baru selesai, cuma ketika suatu izin tambang sudah keluar dan operasional, pengawasannya oleh Inspektur Tambang sangat lemah. Saran saya, APH (aparat penegak hukum) harus periksa penggunaan dana reklamasi pasca operasional, saya yakin banyak yang harus diperbaiki dari sektor reklamasi ini,” katanya.
Persoalan keseriusan APH di daerah juga menjadi sorotan tersendiri. Menurut Sutarmidji, forkopimda harus benar-benar berkolaborasi demi mensejahterakan rakyat di daerah.
“Semoga sukses. Cuma kalau berharap PAD dari sektor tambang saya rasa masih panjang, kecuali kalau APH bisa bongkar kemana aliran hasil tambang ilegal yang ber ton-ton emas, tak mungkin barang tuh ada dan disimpan semuanya di Kalbar,” kataya.
“Tapi kalau sudah ketangkap (pelakunya), jangan pula seperti kasus emas yang sebelumnya, hanya dituntut 1,5 tahun dan diputus 1 tahun, istrinya dituntut 1 tahun putusan 8 bulan, atau kasus SB (impor emas) yang sampai sekarang seperti angin ribut di tengah malam, kencang tapi disaat kita tertidur,” pungkasnya. (Jau)
Comment