25 Tahun Syafaruddin Gugur, BEM Polnep Gelar Konsolidasi “Juni Berdarah”: Luka Itu Masih Menganga

DUA PULUH LIMA tahun lalu, suara mahasiswa Polnep dibungkam dengan peluru. Hari itu, 14 Juni 2000, seorang mahasiswa bernama Syafaruddin Usman rebah bersimbah darah, tertembak di kepala oleh aparat kepolisian saat menyuarakan keresahan rakyat di depan Kantor Gubernur Kalimantan Barat. Sejak itu, tak ada keadilan. Yang tersisa hanya luka, sunyi, dan ketidakjelasan.

Kini, tepat di momentum itu, BEM Politeknik Negeri Pontianak kembali memanggil kesadaran kolektif mahasiswa dalam sebuah konsolidasi bertajuk “Juni Berdarah”, yang akan digelar pada Sabtu malam, 14 Juni 2025, pukul 19.00 WIB di Taman Beriman Polnep.

“Ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah bentuk kemarahan yang belum tuntas. Sudah 25 tahun, dan tak satu pun pelaku diadili. Kami tidak akan diam. Kami akan terus mengingatkan bahwa nyawa mahasiswa bukan harga murah,” tegas Syarif Falmu, Menteri Sosial Politik BEM Polnep, Jumat (13/06/2025).

Baca Juga :  DPD Golkar Kapuas Hulu Gelar Konsolidasi Persiapan Rakerda

Konsolidasi ini digagas sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa. Melalui orasi, pembacaan puisi, penyalaan lilin, dan refleksi kolektif, BEM Polnep mengajak seluruh mahasiswa untuk menolak tunduk pada narasi penghapusan sejarah.

Syariful Hidayatullah, Presiden Mahasiswa BEM Polnep, menyatakan bahwa peringatan ini juga menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai.

“Syafaruddin mati bukan karena salah, tapi karena berani. Keberanian itu yang harus kita warisi. Mahasiswa tidak boleh jinak, tidak boleh diam, apalagi takut. Kampus ini bukan mesin pencetak apatis, tapi benteng perlawanan terhadap ketidakadilan,” seru Syariful.

Baca Juga :  Korupsi di Indonesia: Penyakit Kronis yang Butuh Solusi Radikal

Selama ini, kasus Syafaruddin Usman nyaris tak dibahas dalam diskursus publik. Tak satu pun aparat diadili. Tak ada pengakuan negara. Tak ada permintaan maaf. Yang ada hanyalah waktu yang terus berjalan, dan upaya sistematis untuk membuat mahasiswa lupa akan sejarahnya sendiri.

“Kami akan terus bersuara. Biar dunia tahu, bahwa di Pontianak, ada mahasiswa yang masih setia melawan lupa,” tutup Syarif.

Konsolidasi “Juni Berdarah” diharapkan menjadi ruang untuk menghidupkan kembali semangat perlawanan mahasiswa Polnep. Karena diam adalah pengkhianatan, dan lupa adalah pembunuhan kedua. (**)

Comment