“Tolonglah pejabat kita yang di pusat suarakan. Kan di DPR RI ada tuh. Suarakan itu, ini menjadi penyebab. Kalau misalnya kita jadi pejabat di pusat tapi tidak bisa menyuarakan untuk kepentingan di daerah untuk apa. Kalau saya Gubernur yang ngomong nanti bagaimana. Saya minta-lah, kita harus berpikirlah untuk kepentingan masyarakat Kalbar. Saya harap ini jadi konsen kita bersama. Tidak boleh ada saling menyalahkan, tapi mari bersinergi bersama untuk menangani banjir yang terjadi ini,” katanya lagi.
Belum lagi aktivitas pertambangan bauksit. Justru menurutnya lebih parah dan mengkhawatirkan. Di mana, kata Midji, Kementerian ESDM memberikan izin ekspor 14 juta ton bauksit mentah setiap tahunnya. Dari aktivitas ini, setiap tahun menyebabkan terjadinya penurunan lahan dan itu menurutnya sangat mengkhawatirkan.
“Kalau mereka gali lahan dua meter, artinya ada berapa juta meter persegi lahan yang turun. Begitu saja menghitungnya. Penurunan lahan berapa banyak. Tapi semuanya bukan kewenangan provinsi, semuanya urusan pusat, yang mengatur kuota Kementerian ESDM, izin ekpor itu Kementerian Perdagangan, kita nunggu banjirnya saja kapan,” katanya.
70 persen DAS Kapuas rusak
Akibat DAS Kapuas yang sudah semakin rusak, membuat Midji yakin, sedimentasi yang terjadi di sungai sangat tinggi pula. Akibatnya, daya tampung air menjadi berkurang. Dia pun mencontohkan, jika misalnya pendangkalan yang terjadi mencapai satu meter, artinya volume air yang pindah ke daratan juga mencapai satu meter. Hal ini dikarenakan daya tampung air yang juga berkurang.
Sebab menurutnya, sungai merupakan tempat alami untuk menampung air dari daratan. Jika semakin dangkal, maka semakin tinggi pula potensi air menjangkau daratan.
Maka Midji tak merasa heran jika saat ini Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, dan Kabupaten Melawi mudah banjir bila diguyur hujan dengan intensitas tinggi, terlebih lagi bila banjir juga terjadi di Kalimantan Tengah.
“Kalau diikuti dengan pengerukan yang rutin tidak masalah, sekarang ini kalau tidak salah saya sudah 2-3 tahun terakhir tidak ada pengerukan muara sungai. Justru kalau air tidak pasang, ketinggiannya itu hanya tinggal empat meter, atau paling tinggi 4,5, sehingga kapal-kapal tidak bisa masuk, harus tunggu air pasang. Akibat pendangkalan itu, katakanlah mencapai satu meter (pendangkalan), artinya volume air yang pindah ke daratan juga mencapai satu meter,” katanya.
Karena itu, menurutnya perbaikan DAS menjadi salah satu upaya penting dilakukan selain melakukan upaya penghijauan secara masif. Upaya tersebut diharapkan Midji dapat menjaga daerah resapan air terutama di kawasan DAS Kapuas.
“Perbaikan DAS perlu, penghijauan juga perlu supaya daerah resapan air terjaga,” katanya.
Midji memperkirakan terjadi pendangkalan yang cukup tinggi di sepanjang Sungai Kapuas. Terutama di kawasan muara sungai yang menjadi pintu keluar air ke laut. Untuk itu pihaknya akan menyurati kementerian terkait untuk melakukan pengerukan.
“Ini sudah tiga tahun tidak ada pengerukan setelah kewenangan pengerukan itu pindah ke Kementerian Perhubungan kalau tidak salah saya sekarang,” katanya.
Dia pun menduga, hal inilah yang menyebabkan arus air sungai keluar ke laut menjadi lambat sehingga rawan terjadi banjir. Sebelumnya, kata Midji, ketika Pelindo masih menggunakan Pelabuhan Dwikora sebagai pelabuhan utama di Pontianak, setiap tahun muara Sungai Kapuas pasti dikeruk.
“Sekarang ini sudah 2-3 tahun mungkin sudah tidak dikeruk, ini mungkin salah satu penyebabnya, selain Daerah Aliran Sungai Kapuas yang 70 persen itu sudah rusak, sedimentasinya sangat tinggi,” katanya.
Comment