Pakar: Gelombang Protes Akademisi Bisa Picu Krisis Legitimasi Terhadap Pemerintahan Jokowi

KalbarOnline, Nasional – Gelombang protes kalangan akademikus terhadap manuver-manuver politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pilpres 2024 terus membesar. Hingga kini, tercatat sudah ada lebih dari 20 kampus yang merilis petisi dan mengumumkan pernyataan sikap memprotes indikasi-indikasi kecurangan pemilu yang diduga dilakukan Jokowi untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

Teranyar, puluhan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) merilis pernyataan sikap bertajuk petisi Bumi Siliwangi. Petisi dibacakan di kampus UPI di Bandung, Jawa Barat, Senin (05/02/2024) lalu. Pada hari yang sama, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya juga merilis manifesto yang isinya mengecam segala bentuk praktik pelemahan demokrasi.

IKLANSUMPAHPEMUDA

Pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro memandang, petisi-petisi dan pernyataan protes itu merupakan cerminan kegelisahan kalangan intelektual terhadap “cara main” Jokowi yang dianggap kotor di pilpres 2024. Menurut dia, gelombang protes itu tak boleh dianggap remeh.

“Kalau protes dan kritik diabaikan, kekhawatiran terbesarnya ada dua. Pertama, public trust terhadap institusi formal negara, khususnya pemerintah akan turun. Kedua, legitimasi terhadap politik elektoral. Akan ada krisis legitimasi atas keduanya kalau respons pemerintah mengecewakan publik,” kata Herdiansyah kepada wartawan di Jakarta, Selasa (06/02/2024).

Baca Juga :  Prabowo ke Ganjar: Soekarno Hadapi Irian Barat Pakai Alutsista Bekas

Krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi, kata Herdiansyah, bisa berbuntut panjang. Bukan tidak mungkin seruan-seruan protes di lingkungan kampus itu bertransformasi menjadi aksi unjuk rasa mahasiswa besar, sebagaimana yang terjadi pada 1998.

“Reformasi 98 itu tidak datang begitu saja. Penuh dinamika dan pra kondisi menuju ke sana. Sama seperti sekarang. Tapi, itu bergantung dari seberapa masif, luas, dan konsisten gerakan kita,” ujar Herdiansyah.

Jokowi saat ini condong mendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). Keberpihakan Jokowi terhadap pasangan tersebut kian terang dalam beberapa pekan terakhir.

Pekan lalu, misalnya, Jokowi menunjukkan kedekatan khusus dengan Prabowo lewat kegiatan makan bakso bareng di Magelang, Jawa Tengah. Makan siang bersama itu dilakukan di ruangan terbuka, disaksikan warga setempat, dan diliput beragam media.

Tak hanya itu, Jokowi juga disebut-sebut menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) hingga lebih dari Rp11 triliun. Bantuan sosial itu didesain supaya dikucurkan jelang pencoblosan Pemilu 2024. Jokowi juga memperpanjang pemberian bansos pangan hingga Juni 2024.

Seturut Jokowi, aparat penegak hukum, aparatur sipil negara, dan pejabat publik di berbagai daerah juga menunjukkan ketidaknetralannya. Di Semarang, Jawa Tengah, misalnya, sejumlah camat dan lurah dilaporkan lantaran “mengawal” salah satu paslon memberikan bantuan ke masyarakat.

Baca Juga :  Kemenperin Dorong Pasar Domestik untuk Industri Baja

Indikasi-indikasi keberpihakan itulah yang membuat kalangan akademikus gerah. Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) jadi yang pertama bersuara lewat petisi Bulaksumur yang dirilis akhir Januari 2024. Isi petisi memprotes tindakan-tindakan menyimpang Jokowi selama pemilu dan meminta Jokowi berhenti bermanuver memenangkan salah satu pasangan.

Selain UGM, UPI, dan Unair, protes terhadap manuver Jokowi juga diserukan akademikus sejumlah kampus lainnya, semisal Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Padjadjaran, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Hasanuddin, Unika Atma Jaya, dan Institut Pertanian Bogor.

Herdiansyah menilai gelombang protes akan terus menguat jika Jokowi mengabaikan peringatan dari kaum intelektual tersebut.

“Tergantung konsistensinya. Kalau nafasnya pendek, ya sulit mengulangi 98,” sebut Herdiansyah. (Indri)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment