KalbarOnline, Jakarta – Kerugian negara Rp 300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah menjadi sorotan tajam. Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membuktikan angka fantastis ini dinilai seperti “mencari-cari cara” oleh beberapa ahli.
Romli Atmasasmita, ahli hukum pidana menyebut, bahwa angka Rp 300 triliun yang telah diumumkan Kejagung ke publik menjadi beban berat yang sulit dipenuhi. Penetapan lima perusahaan sebagai tersangka dinilainya sebagai langkah untuk mengejar kekurangan angka tersebut.
“Kejagung harus menunjukkan hasil, karena angka itu sudah diumumkan ke publik. Namun, tampaknya sulit terbukti,” kata Romli, Kamis (02/01/2025).
Data Tidak Valid, Kritik Muncul
Menurut Sudarsono Soedomo, profesor dari IPB, angka Rp 300 triliun itu lebih menyerupai potensi kerugian, bukan kerugian riil. Bahkan, ia menilai data yang digunakan Kejagung tidak valid.
“Persepsi yang muncul di masyarakat seolah-olah angka itu kerugian nyata. Namun, sebenarnya itu hanya potensi kerugian,” ungkap Sudarsono.
Ia juga mengkritisi kompetensi Kejagung dalam menghitung kerugian lingkungan, yang menjadi salah satu elemen utama perhitungan tersebut.
“Kerugian lingkungan itu sulit dihitung dan masih menjadi perdebatan para ahli. Kejagung tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya,” tambahnya.
Langkah TPPU dan Risiko Disparitas Hukum
Langkah Kejagung untuk menambahkan tuduhan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada lima perusahaan tersangka juga menuai kritik. Menurut Romli, hal ini bisa menjadi masalah besar jika data awal tidak akurat.
“Jika data awalnya sudah bermasalah, bagaimana mereka bisa membuktikan kerugian sebesar Rp 300 triliun?” tegasnya.
Ia juga memperingatkan, bahwa langkah ini berisiko menciptakan disparitas hukum. “Jangan sampai ada yang didenda triliunan, sementara yang lain hanya ratusan juta. Ini akan menimbulkan masalah keadilan,” ujarnya.
Baik Romli maupun Sudarsono menegaskan, bahwa fokus seharusnya pada data valid dan proses hukum yang adil, bukan mengejar angka besar yang sulit dibuktikan.
“Kejagung harus mendengarkan ahli lain dan berhenti membesar-besarkan angka hanya untuk terlihat seperti pahlawan,” tutup Sudarsono. (Jau)
Comment