KalbarOnline, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendapat sorotan tajam terkait upaya membuktikan kerugian negara senilai Rp 300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah. Angka fantastis yang telah diumumkan ke publik ini disebut menjadi beban besar yang sulit dibuktikan.
Ahli hukum pidana, Romli Atmasasmita, menilai, Kejagung terkesan seperti mencari-cari cara untuk memenuhi angka tersebut, termasuk menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka.
“Kejagung sudah kadung mengumumkan kerugian Rp 300 triliun ke publik. Presiden pun sudah memberikan respons. Jadi, mereka harus menunjukkan hasil, meski angka itu tampaknya sulit terbukti,” ujar Romli dalam keterangannya, Jumat (03/01/2025).
Perdebatan Denda dan Kerugian Lingkungan
Menurut Romli, denda kepada korporasi dalam kasus ini harus mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, di mana hakim memiliki patokan tersendiri dalam menentukan kerugian negara.
“Jaksa boleh saja hitung seenak jidatnya, semau-maunya dia. Tapi, hakim punya aturan dalam menilai kerugian keuangan negara sesuai Perma 1/2020,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar menjelaskan, bahwa angka Rp 300 triliun bukan sepenuhnya berasal dari hasil korupsi seperti suap atau anggaran negara. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tambang timah ilegal.
“Kerugian akibat kerusakan lingkungan yang dihitung ahli mencapai Rp 271,069 triliun. Dari angka itu, Rp 183,703 triliun merupakan kerugian ekologi, sedangkan Rp 74,479 triliun adalah kerugian ekonomi lingkungan,” ungkap Harli.
Selain itu, biaya pemulihan lingkungan juga menyumbang kerugian negara sebesar Rp 11,887 triliun. Harli menambahkan, kerugian keuangan negara lainnya berasal dari penyewaan alat processing pengolahan timah yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2,284 triliun, serta pembayaran bijih timah dari tambang ilegal yang mencapai Rp 26,648 triliun.
Ahli Soroti Validitas Perhitungan Kejagung
Romli menegaskan, langkah Kejagung untuk menggabungkan kerugian lingkungan dan ekonomi dalam satu kasus berisiko memicu perdebatan. “Kejagung perlu berhati-hati, jangan sampai langkah ini dianggap berlebihan. Fokus pada angka yang benar dan adil,” ujarnya.
Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran penting dalam menangani kerugian negara secara profesional, tanpa melupakan keadilan hukum bagi para terdakwa. (Jau)
Comment