Masalah Dana Penanganan Pandemi pun, Tak Ada Yang Berani Menjelaskan

Dualisme di Birokrasi Pemkab Jember yang Berbuntut Keruwetan (2-Habis)

Sejak pecah kongsi antara Bupati Faida dan Wabup Abdul Muqit Arief, arah pemerintahan menjadi tidak jelas. Semua pejabat memilih tutup mulut.

IKLANSUMPAHPEMUDA

NUR HARIRI, Jember, Jawa Pos

NORMALNYA setiap daerah pasti mempunyai perencanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat untuk setahun ke depan. Tapi, memasuki awal 2021 ini, Pemkab Jember belum memiliki angan-angan atas apa yang akan dibangun dan siapa yang diberdayakan.

Itu terjadi lantaran struktur pemerintahan di kalangan elite tengah berada dalam kondisi yang tidak normal. Pecah kongsi yang begitu nyata membuat roda pemerintahan berjalan tak searah.

Ibarat gerbong kereta api, sudah ada dua lokomotif yang berpisah arah dengan tujuan berbeda.

Kebijakan Bupati Faida tak lagi diamini banyak aparatur sipil negara (ASN). Sebaliknya, apa yang dilakukan Wabup Abdul Muqit Arief juga dinilai salah di mata ASN yang probupati.

Birokrasi Pemkab Jember yang tidak sehat itu kontan mengorbankan banyak hal krusial. Situasi di Jember, sudah tidak ada lagi obrolan antar pejabat terkait terobosan dunia kesehatan.

Tidak ada pembahasan di tingkat elite bagaimana meningkatkan pendidikan. Apa yang akan dibangun selama 2021 juga belum terbayangkan. Apakah akan membangun sirkuit atau sekadar menambal aspal yang mrotol, pembahasan para penggawa daerah itu belum sampai ke ranah tersebut.

Akibatnya, Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Perda APBD) 2021 yang selayaknya dibahas atau disahkan harus dipetieskan. Perkada APBD pun menjadi satu-satunya alternatif untuk memenuhi urusan dasar, tetapi nasibnya juga belum jelas.

Kesan bahwa Bupati Faida hanya bekerja bersama para pejabat yang pro kepadanya tidak bisa dimungkiri. Begitu pula ASN yang melakukan mosi tidak percaya berjalan di barisan Wabup Muqit. Kondisi seperti itu menjadikan arah pembangunan di Kota Suwar-Suwir tidak jelas. Bukan itu saja. Arah pemerintahan, khususnya internal eksekutif, juga semakin buram.

Baca Juga :  MK Sudah Terima 87 Permohonan Sengketa Hasil Pilkada 2020

Fenomena dualisme belasan pejabat di internal Pemkab Jember memang tak berpengaruh pada para staf pegawai yang ada di organisasi perangkat daerah. Tetapi, menemui pejabat yang dicopot dan yang mendapat SK baru sulitnya minta ampun. Betapa tidak, rata-rata mereka tidak ada di kantor. Apalagi, di antara para kepala OPD tersebut, ada yang menjabat pelaksana tugas (Plt) di beberapa OPD lain.

Keruwetan di pemkab bisa dilihat dengan penempatan para pejabat. Ada ketimpangan penugasan antara ASN satu dan ASN lain. Contoh nyata, Sekda Mirfano yang dicopot bupati kini tidak memiliki tugas apa pun karena di-nonjob-kan. Sementara itu, Plt Sekda Edy Budi Susilo yang diangkat bupati harus mengemban tugas sebagai asisten perekonomian dan pembangunan.

Edy Budi juga didapuk sebagai Plt kepala dinas pemberdayaan masyarakat dan desa untuk menggantikan Eko Heru Sunarso yang di-nonjob-kan bupati. Bayangkan, Mirfano dan Heru tidak memiliki tugas, sedangkan Edy Budi mengemban amanah tiga posisi penting. Nah, fenomena yang demikian masih cukup banyak di beberapa OPD lain.

Sejak pecah kongsi meledak, Bupati Faida yang biasanya bisa dikonfirmasi awak media mendadak sulit ditemui. Khusus kasus itu, rilis resmi dari Pemkab Jember pun tidak ada. Rata-rata para pejabat di barisan Bupati Faida tutup mulut saat dikonfirmasi. Kondisi serupa terjadi pada pejabat barisan Wabup Muqit meski sesekali ada yang menyuarakan mosi tidak percaya kepada Faida.

Baca juga: Yang Bertamu Ditanya, Mau Bertemu Sekda yang Mana?

Plt Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika sekaligus Humas Pemkab Jember Gatot Triyono juga tidak mau menjelaskan keruwetan di internal pemkab. Sebagai humas, Gatot mengaku tidak pernah mendapat petunjuk untuk menjelaskannya ke publik. ’’Untuk itu (keruwetan pejabat, Red), saya tidak tahu,” katanya.

Baca Juga :  Temukan Psikotropika Golongan IV, Ririn Ekawati Bakal Jalani Tes Rambut

Begitu ditanya apabila ada berkas penting yang harus segera ditandatangani pejabat yang pecah kongsi, Gatot pun menjawab tidak tahu. ’’Saya tidak tahu urusan itu. Siapa yang tanda tangan, saya tidak bisa berkomentar,” papar Gatot.

Dampak lain lokomotif gerbong pemerintahan yang berjalan tak searah, keterbukaan informasi di Kabupaten Jember nyaris mati. Padahal, banyak hal yang dituntut agar informasi di Jember dibuka lebar-lebar.

Salah satunya berkaitan dengan dana penanganan pandemi Covid-19 yang ditemukan BPK banyak bermasalah. Ada ribuan orang yang sudah meninggal, tetapi menjadi sasaran bantuan penanganan korona. Ada pula dana miliaran rupiah yang harus dikembalikan. Sayangnya, tidak ada pejabat di Jember yang berani menjelaskan.

Perpecahan pejabat di internal Pemkab Jember itu pun mendapat sorotan dari banyak pihak. Keruwetan pejabat membutuhkan kepastian, siapa pejabat yang sah. Apakah pejabat yang dicopot bupati atau pejabat yang mendapat SK baru sebagai Plt. Itu semua tentu membutuhkan solusi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Jember.

Bukan hanya itu. Fenomena Bupati Faida dan Wabup Muqit yang sama-sama dipolisikan warga juga membutuhkan kepastian. Keruwetan di Jember tentunya menguji penegakan hukum. Apakah Bupati Faida atau Wabup Muqit yang lulus ujian hukum atau bahkan keduanya sama-sama tidak lolos dari jeratan ancaman UU Pilkada?

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment