Tak butuh waktu lama, bau amis pun menyebar. Uang hasil jarahan tak terbagi rata, membuat persatuan di kubunya goyah. Saling tuding dan intrik pecah di antara para kroni.
Belakangan terungkap, sebagian besar dana ternyata hanya dinikmati segelintir orang—gubernur sendiri dan lingkaran eksklusifnya.
Mereka yang merasa dikhianati mulai berbisik kepada media, menguak borok yang selama ini tertutup rapi.
Hari pelantikan pun tiba, tapi tak ada lagi semangat seperti di awal. Janji-janji kesejahteraan menguap, tergantikan oleh kasak-kusuk soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hari-hari pertama setelah dilantik, gubernur mulai menarik kembali janji-janji manisnya. Program-program unggulan dikaji ulang, dalih “penyesuaian anggaran” jadi tameng untuk memotong kebijakan populis yang dulu ia gaungkan.
Baginya, “memang begitulah politik” – janji yang berlebihan hanya untuk menarik suara, dan kenyataan yang pahit untuk “kepentingan bersama”.
Di luar sana, rakyat yang dulu berharap kini hanya bisa mengelus dada. Lima tahun ke depan bukan lagi soal meraih mimpi, melainkan bertahan dari kenyataan pahit yang kembali terulang.
Baginya, janji-janji itu hanya bumbu penyedap agar tampak enak di lidah, namun tak pernah dimaksudkan untuk dimakan. (**)
Comment