Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Sabtu, 23 Agustus 2025 |
KALBARONLINE.com – Dari pedalaman Kalimantan Barat, dua anak muda Iban, Kynan Tegar dan Paskalia Wandira, berhasil membawa cerita komunitas adat mereka ke ruang publik modern. Melalui film dokumenter dan konten media sosial, keduanya membuktikan bahwa kearifan lokal bisa tetap hidup dan relevan di era digital.
Kynan, sutradara muda yang sudah melahirkan film dokumenter Indai Apai Darah dan Earth Defender, mengaku tergerak membuat film karena jarang melihat masyarakat Iban tampil di layar.
“Saya sejak kecil banyak menonton TV, tapi tidak pernah melihat orang-orang Iban muncul di sana. Tidak ada representasi tentang kami, tentang kehidupan nyata keluarga dan masyarakat adat. Karena itu saya mulai membuat film, agar cerita-cerita kami bisa disampaikan dari perspektif kami sendiri,” kata Kynan dalam diskusi nonton bareng di Kolase Jurnalis Camp 2025, Jumat (22/8/2025) malam di Pontianak.
Menurutnya, masyarakat adat bukan sekadar label atau romantisasi, melainkan komunitas nyata dengan filosofi hidup yang selaras dengan alam. “Menjadi masyarakat adat bukan karena kami tidak punya sinyal atau listrik. Yang penting adalah bagaimana hubungan timbal balik dengan alam tetap dijaga,” tegasnya.
Paskalia, Kreator Konten yang Banggakan Budaya Iban
Sementara itu, Paskalia Wandira, kreator konten asal Kapuas Hulu, memilih Instagram untuk memperkenalkan budaya Dayak Iban. Sejak 2019, ia konsisten membuat konten tentang kehidupan masyarakat Iban, mulai dari tradisi hingga aktivitas sehari-hari.
“Tujuan saya membuat konten adalah agar orang tahu keseharian masyarakat Iban, budaya, dan tradisi kami. Saya juga ingin anak-anak muda sadar bahwa kita punya kekayaan budaya yang harus dilestarikan, bukan ditinggalkan,” ujarnya.
Salah satu tradisi yang ia angkat adalah tenun khas Iban dari kampungnya, Kaposuru. Motif tenun itu lahir dari imajinasi perempuan desa, terinspirasi dari alam, hewan, dan fenomena cuaca, dengan pewarna alami dari hutan.
Namun, keterbatasan infrastruktur masih jadi tantangan. “Di kampung saya tidak ada sinyal internet. Kalau mau unggah konten, saya harus jalan jauh keluar kampung untuk cari sinyal. Kadang konten baru bisa terunggah seminggu kemudian,” ungkapnya.
Inspirasi bagi Generasi Muda
Partnership Manager Ashoka, Cornila Desyana, menyebut pengalaman Kynan dan Paskalia inspiratif karena mampu menggabungkan kearifan lokal dengan pendekatan kreatif. “Cerita mereka menunjukkan bahwa menjaga budaya dan lingkungan bisa dilakukan dengan cara kreatif melalui film dan media sosial,” katanya.
Senada, jurnalis senior Daeng Rizal menilai generasi muda Iban punya kebanggaan besar pada identitasnya. Ia menyinggung filosofi hidup masyarakat Iban: sungai adalah darah, tanah adalah daging, udara adalah napas, dan hutan adalah ibu. “Filosofi ini sekarang dibawa ke publik lewat film dan media digital. Sesuatu yang jarang kita temui di kota,” ujarnya.
Menurutnya, isu lingkungan kini punya tantangan baru. Jika dulu jurnalis menghadapi intimidasi fisik, kini tantangannya adalah branding perusahaan yang kerap menutupi kerusakan alam.
Alam dan Spiritualitas
Kynan menutup diskusi dengan pesan kuat soal relasi manusia dan alam. “Kalau kita mengambil sesuatu dari hutan, kita harus memberi balik. Krisis iklim hari ini adalah akibat dosa kita kepada alam. Itu pesan utama yang ingin saya sampaikan lewat film,” tuturnya.
Lewat Kolase Jurnalis Camp 2025, para peserta sepakat bahwa film, media sosial, dan jurnalisme bisa jadi jembatan penting untuk menggaungkan isu lingkungan sekaligus menjaga kearifan lokal.
“Keragaman hayati adalah kekuatan kita bersama. Dan peran media, terutama yang digerakkan anak muda, menjadi kunci dalam menjaga warisan tersebut,” tutup Cornila. (Lid)
KALBARONLINE.com – Dari pedalaman Kalimantan Barat, dua anak muda Iban, Kynan Tegar dan Paskalia Wandira, berhasil membawa cerita komunitas adat mereka ke ruang publik modern. Melalui film dokumenter dan konten media sosial, keduanya membuktikan bahwa kearifan lokal bisa tetap hidup dan relevan di era digital.
Kynan, sutradara muda yang sudah melahirkan film dokumenter Indai Apai Darah dan Earth Defender, mengaku tergerak membuat film karena jarang melihat masyarakat Iban tampil di layar.
“Saya sejak kecil banyak menonton TV, tapi tidak pernah melihat orang-orang Iban muncul di sana. Tidak ada representasi tentang kami, tentang kehidupan nyata keluarga dan masyarakat adat. Karena itu saya mulai membuat film, agar cerita-cerita kami bisa disampaikan dari perspektif kami sendiri,” kata Kynan dalam diskusi nonton bareng di Kolase Jurnalis Camp 2025, Jumat (22/8/2025) malam di Pontianak.
Menurutnya, masyarakat adat bukan sekadar label atau romantisasi, melainkan komunitas nyata dengan filosofi hidup yang selaras dengan alam. “Menjadi masyarakat adat bukan karena kami tidak punya sinyal atau listrik. Yang penting adalah bagaimana hubungan timbal balik dengan alam tetap dijaga,” tegasnya.
Paskalia, Kreator Konten yang Banggakan Budaya Iban
Sementara itu, Paskalia Wandira, kreator konten asal Kapuas Hulu, memilih Instagram untuk memperkenalkan budaya Dayak Iban. Sejak 2019, ia konsisten membuat konten tentang kehidupan masyarakat Iban, mulai dari tradisi hingga aktivitas sehari-hari.
“Tujuan saya membuat konten adalah agar orang tahu keseharian masyarakat Iban, budaya, dan tradisi kami. Saya juga ingin anak-anak muda sadar bahwa kita punya kekayaan budaya yang harus dilestarikan, bukan ditinggalkan,” ujarnya.
Salah satu tradisi yang ia angkat adalah tenun khas Iban dari kampungnya, Kaposuru. Motif tenun itu lahir dari imajinasi perempuan desa, terinspirasi dari alam, hewan, dan fenomena cuaca, dengan pewarna alami dari hutan.
Namun, keterbatasan infrastruktur masih jadi tantangan. “Di kampung saya tidak ada sinyal internet. Kalau mau unggah konten, saya harus jalan jauh keluar kampung untuk cari sinyal. Kadang konten baru bisa terunggah seminggu kemudian,” ungkapnya.
Inspirasi bagi Generasi Muda
Partnership Manager Ashoka, Cornila Desyana, menyebut pengalaman Kynan dan Paskalia inspiratif karena mampu menggabungkan kearifan lokal dengan pendekatan kreatif. “Cerita mereka menunjukkan bahwa menjaga budaya dan lingkungan bisa dilakukan dengan cara kreatif melalui film dan media sosial,” katanya.
Senada, jurnalis senior Daeng Rizal menilai generasi muda Iban punya kebanggaan besar pada identitasnya. Ia menyinggung filosofi hidup masyarakat Iban: sungai adalah darah, tanah adalah daging, udara adalah napas, dan hutan adalah ibu. “Filosofi ini sekarang dibawa ke publik lewat film dan media digital. Sesuatu yang jarang kita temui di kota,” ujarnya.
Menurutnya, isu lingkungan kini punya tantangan baru. Jika dulu jurnalis menghadapi intimidasi fisik, kini tantangannya adalah branding perusahaan yang kerap menutupi kerusakan alam.
Alam dan Spiritualitas
Kynan menutup diskusi dengan pesan kuat soal relasi manusia dan alam. “Kalau kita mengambil sesuatu dari hutan, kita harus memberi balik. Krisis iklim hari ini adalah akibat dosa kita kepada alam. Itu pesan utama yang ingin saya sampaikan lewat film,” tuturnya.
Lewat Kolase Jurnalis Camp 2025, para peserta sepakat bahwa film, media sosial, dan jurnalisme bisa jadi jembatan penting untuk menggaungkan isu lingkungan sekaligus menjaga kearifan lokal.
“Keragaman hayati adalah kekuatan kita bersama. Dan peran media, terutama yang digerakkan anak muda, menjadi kunci dalam menjaga warisan tersebut,” tutup Cornila. (Lid)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini