KalbarOnline.com – Pakar hukum tata negara Refly Harun bersama dengan ekonom senior Rizal Ramli, mengajukan gugatan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK), terkait dengan presidential threshold 20 persen yang tertuang di dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Keduanya menginginkan ambang batas pencalonan presiden hanya 0 persen.
“Kita mengajukan JR terhadap ketentuan presidential threshold. Kita menginginkan ketentuan presidential threshold itu 0 persen, alias tidak ada,” kata Refly Harun di Gedung MK, Jumat (4/9).
Refly menyatakan, akan membawa fakta baru pada gugatan yang dilayangkan. Karena sejumlah masyarakat sebelumnya telah mengajukan gugatan yang sama, namun kemudian ditolak oleh MK.
“Sekarang pasca Pemilu 2019. Saya merasa bahwa ada fakta-fakta baru yang bisa dikemukakan terkait konstitusionalitas ketentuan ini,” cetus Refly.
Refly berujar, alasan pengajuan presiden threshold menjadi 0 persen agar kontestasi politik dan demokrasi di Indonesia dapat berjalan maksimal. Sehingga bisa membuka putra putri terbaik di negeri ini menjadi seorang pemimpin.
“Agar Pilpres ke depan itu berkualitas dan juga fair kompetisi. Bisa membuka sebanyak mungkin orang terbaik di republik ini, agar bisa menjadi calon dan yang penting itu bisa menghilangkan demokrasi kriminal,” tegas Refly.
Baca juga: Nasdem Ngotot Presidential Threshold Pilpres 2024 Tetap 20 Persen
Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menuturkan, presidential threshold 0 persen diharapkan bisa mengurangi korupsi politik di Indonesia. Dia berujar, untuk menjadi seorang pemimpin dengan adanya presidential threshold memerlukan biaya yang tinggi dan melunturkan nilai demokrasi.
“Kalau mau jadi Bupati mesti nyewa partai, sewa partai itu antara 30 sampai 50 miliar. Ada yang mau jadi Gubernur harus nyewa partai dari 100 miliar sampai 300 miliar. Presiden tarifnya lebih gila lagi,” cetus Rizal.
Oleh karena itu, Rizal mengharapkan agar MK perlu melihat lebih jeli dampak dari presidential threshold 20 persen. Dia menilai, aturan tersebut justru menimbulkan upaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
“Ini yang membuat Indonesia nggak akan pernah menjadi negara hebat, kuat, adil dan makmur. Karena pemimpin-pemimpinnya pada dasarnya itu mengabdi sama yang lain,” pungkasnya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment