KalbarOnline.com – Sekretaris Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Arif Nur Kholis mengungkapkan, kondisi pendemi corona saat ini makin memberatkan pemerintah. Pasalnya, penyebaran pandemi yang makin melonjak, membuat pemerintah menghadapi posisi dilematis.
“Jika terus-terusan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka akan menghambat perputaran roda perekonomian. Sebaliknya, jika pemerintah memilih melonggarkan PSBB maka lonjakan kasus makin besar. Korban makin banyak berjatuhan,” kata Arif dalam keterangan tertulisnya pada KalbarOnline.com, Selasa (17/11).
Meski jumlah kasus hampir mencapai setengah juta, papar Arif, namun Indonesia masih di bawah Amerika Serikat yang mencapai 8,7 juta kasus. Kemudian disusul oleh India, Brazil, Perancis dan Rusia. Dilansir dari Worldmeters pada Sabtu, 14 November 2020 melaporkan jumlah kasus Covid-19 di dunia telah mencapai 53,7 juta kasus. Indonesia per oktober 2020, jelas Arif, berada di peringkat ke-5 di Asia dan peringkat ke-21 dalam urutan akumulasi penyebaran Covid-19 di dunia.
“Padahal pada bulan Juli 2020, Indonesia secara agregat masih berada di urutan ke 11 di Asia, sehingga patut dikaji secara mendalam sejumlah faktor yang berkonstribusi menyebabkan peningkatan penyebaran virus dalam beberapa waktu terakhir,” katanya.
- Baca Juga: Diperiksa Polisi Selama 9 Jam Soal Rizieq, Anies Bilang Begini
Menurut Arif, sejak virus Korona pertama terdeteksi, pemerintah langsung bersiaga dengan menetapkan sejumlah protokol penanganan dan pencegahan. Bahkan, kesungguhan melawan Covid-19 itu dibuktikan dengan penganggaran fantastis, hampir mencapai seribu triliun rupiah.
Dana itu digunakan untuk memasang alat pendeteksi tubuh di 135 bandara dan pelabuhan, menyiapkan ratusan rumah sakit rujukan, penambahan laboratorium dan alat tes, meningkatkan infrastruktur dan peralatan rumah sakit bukan rujukan, penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) secara massif, serta pemberian insentif tambahan bagi tenaga medis.
Namun beragam upaya antisipasi yang cukup agresif tersebut ternyata tidak cukup mengendalikan penyebaran virus. Menurut Arif, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan.
“Pertama kurangnya kesadaran kolektif semua lapisan masyarakat dalam menaati protokol kesehata. Hal ini dapat dilihat dari ketidakdisiplinan masyarakat menggunakan masker, mencuci tangan serta menjaga jarak di lingkungan tempat tinggal yang sulit diawasi,” ujar Arif.
Berdasarkan catatan MCCC, lanjut Arif, memang menyebutkan, upaya membangun persepsi masyarakat atas risiko virus Covid-19 memang tidak mudah, sehingga membutuhkan waktu dan upaya yang persisten. Namun demikian, bila presepsi risiko sudah terbentuk pada titik aman, maka saat itulah berbagai macam protokol kesehatan akan otomatis berjalan atas dasar kesadaran.
“Sehingga sangat perlu untuk mengupayakan tetap tinggi, jangan sampai menurun hingga pandemi berakhir. Upaya ini jangan diganggu agenda-agenda pragmatis dan egois, apalagi dilakukan pemuka masyarakat dan pejabat publik,” paparnya.
Alasan kedua menurut Arif, makin banyaknya kerumunan sosial seperti aksi demonstrasi massif buruh dan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia yang melakukan penolakan UU Cipta Kerja. Begitu pula kerumunan kampanye Pilkada langsung, dikarenakan ketidaktaatan kandidat dan pendukung calon Pilkada menerapkan protokol. Hal ini telah menjadi klaster baru penyebaran virus akibat kurang disiplinnya masyarakat.
“Kerumunan kampanye pilkada terbukti banyak melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Bawaslu mencatat, terdapat 375 pelanggaran protokol kesehatan pada periode 6-15 Oktober 2020. Angka ini bertambah bila dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya, yaitu 26 September-5 Oktober yang tercatat 237 kasus,” papar Arif.
Arif juga menghawatirkan, kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia yang dibarengin intensitas berkumpulnya massa dalam jumlah banyak dalam penyambutan maupun kegiatan-kegiatan susulan, bisa menimbulkan klaster baru penyebaran virus Corona.
“Padahal sudah cukup banyak contoh sebelumnya, bahwa berkumpulnya massa dalam jumlah banyak tanpa menjaga jaga jarak dan menggunakan masker telah menjadi klaster penyebaran covid-19,” ujarnya.
Sedangkan faktor ketiga, menurut Arif, soal kurang tegasnya penegakan hukum atas pelanggaran protokol kesehatan. Seharusnya, kata Arif, ketika indeks persepsi risiko bahaya Covid-19 sudah pada tingkat memprihatinkan, maka harus ada upaya represif dari pemerintah, untuk menegakkan protokol tanpa pandang bulu. Karena pemerintah adalah institusi yang mendapat amanat undang-undang untuk menegakkan hukum, bahkan bisa melakukan penangkapan serta menghukum pelanggar peraturan demi keselamatan bersama.
“Memberikan toleransi terhadap kegiatan pengumpulan massa seperti kampanye pilkada, kegiatan keagamaan, kegiatan keluarga hingga resepsi pernikahan apalagi dengan tamu yang sangat banyak tentu akan berkontribusi pada penurunan indeks persepsi risiko publik. Sekali publik runtuh kepercayaannya kepada protokol kesehatan dan tenaga kesehatan, maka akan sangat sulit dinaikkan lagi,” tukas Arif.
Maka dari itu, Arif meminta adanya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah dalam melawan virus Korona. Karena menurutnya, tanpa kerjasama yang ditunjukkan masyarakat melalui kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan, penyebaran virus akan kian sulit dikendalikan.
“Sembari menunggu upaya pemerintah mempersiapkan dan melakukan vaksinasi Virus Corona kepada seluruh rakyat Indonesia, mari kita sebagai bangsa yang besar terus berlaku disiplin dan bersikap optimis agar bisa melewati masa sulit ini dengan baik. Kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah adalah salah satu garantor yang bakal memastikan Indonesia tidak perlu terjerembab dalam krisis kesehatan dan kemanusiaan,” pungkasnya.
Comment