Energi matahari nyatanya mampu jadi solusi ketersediaan listrik di pedalaman Kalimantan Barat. Berbekal kemauan dan gotong-royong, warga dan Pemerintah Desa di Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau memanfaatkan Pembangkit Listik Tenaga Surya (PLTS) semi komunal sebagai sumber energi mereka.
Hasilnya, ekonomi meningkat. Dan anak-anak tak perlu takut alisnya terbakar karena belajar malam-malam. Sebuah langkah kecil untuk mendukung target PT PLN membangun pembangkit energi bersih sebesar 10.6 gigawatt hingga tahun 2025.
Sunarto (39) tak perlu cemas lagi ketika sore menjelang. Anyaman bambunya baru selesai setengah. Dia bisa melanjutkannya malam nanti, usai makan. Keistimewaan baru yang didapatnya sejak Juni 2018 lalu.
Bagi sebagian orang kota, kecemasan warga Desa Batu Pahat itu mungkin aneh. Namun bagi warga di enam desa di Kabupaten Sekadau, hal itu beralasan. Sejak merdeka, ‘setrum’ listrik negara belum bisa masuk ke sana.
Malam-malam dilewati dengan cahaya bulan dan pelita. Aktivitas warga benar-benar berhenti jelang isya. Siang berladang, sore menganyam, malam tenggelam.
“Sebelum ada penerangan hanya bisa mengerjakan satu atau dua anyaman. Nah, setelah ada penerangan, bisa memproduksi tiga sampai empat anyaman,” cerita warga Desa Batu Pahat ini kemarin.
Desa Batu Pahat jadi satu dari enam desa yang belum bisa diakses listrik negara di Kabupaten Sekadau. Kondisi geografis dan kepadatan penduduk jadi beberapa alasan. Lima desa lain adalah Desa Teluk Kebau, Desa Landau Apin, Desa Tembaga, Desa Karang Betung, dan Desa Landau Kumpai. Namun kini, empat desa sudah mandiri listrik. Setidaknya, untuk penerangan di malam hari.
Adalah Riyan Hidayat (29), putra asli Batu Pahat yang memulai semuanya. Pengalaman sepuluh tahun bergelut di pengembangan sumber daya manusia di Kota Pontianak, membuatnya ingin memecahkan bisul keresahan di kepalanya. Pulang ke Nanga Mahap tahun 2018, kampung halamannya belum teraliri listrik.
Ada banyak pilihan sumber energi yang ditawarkan tanah kelahirannya. Tanah khatulistiwa. Sungai, angin, matahari. Namun pilihannya jatuh ke tenaga surya yang bisa dinikmati hampir di semua pedalaman Sekadau.
“Yang paling mendukung adalah panel surya, karena ketersediaan matahari kita biasanya lebih dari 8 jam per hari,” kata Riyan.
Ide sudah ada, akan tetapi implementasi jelas beda. Harga komponen panel surya yang tak murah, tak bisa dijangkau semua kepala rumah tangga. Sempat berdiskusi dengan beberapa teman tentang niatnya, seseorang lantas mengiyakan. Seorang rekan yang sudah lama mengidamkan aliran listrik di rumahnya.
Rekannya membeli semua kebutuhan dan Riyan fokus di pemasangan. Dia memberikan edukasi bagaimana PLTS berumur panjang. Hingga kini, panel yang menjadi cikal bakal listrik di empat desa masih beroperasi.
“Ketika yang bersangkutan menggunakan panel surya, kami jadikan sampel. Mulailah kami promosikan ke Pemerintah Desa, karena mereka punya anggaran melalui dana desanya yang memang bisa diarahkan hal itu. Ini juga mendukung satu dari 18 SDGs yaitu ‘Desa yang Berenergi Bersih dan Terbarukan’,” jelasnya.
Dari sanalah gotong-royong matahari itu bermula. Tidak hanya Pemerintah Desa, warga yang ekonominya cukup juga ambil bagian. Pasalnya, untuk satu set PLTS sederhana, harganya bisa mencapai Rp5 juta. Riyan putar otak. PLTS semi komunal akhirnya jadi jawaban.
“Jadi satu set panel surya untuk tiga rumah, jadi fokusnya untuk penerangan,” katanya.
PLTS semi komunal yang berisi satu panel sanggup menerangi tiga rumah. Setiap rumah dipasang tiga buah lampu Dc 12 volt. Warga juga bisa memanfaatkan listrik matahari itu untuk mengecas ponsel atau senter atau alat yang bertegangan lima volt.
Para warga yang rumahnya terhubung dalam satu PLTS semi komunal lantas dijadikan kelompok. Mereka bertugas merawat alat. Mulai dari membersihkan panel sebulan sekali, hingga menjaga air aki penyimpan energi. Mereka juga dibebankan iuran per bulan yang besarnya tidak dipatok. Transfer ilmu juga diberikan secara sukarela.
“Ke depan kalau ada masalah, mereka sudah ada anggaran untuk memperbaiki, atau kalau mau upgrade ke kapasitas yang lebih besar, mereka sudah ada anggaran,” katanya.
Sejak Mei 2018 hingga Juli 2021 sudah 138 unit PLTS terpasang. Menyerap 165.600 W/h listrik dari matahari per hari. Menerangi 414 rumah, dan dinikmati 1.656 jiwa di pelosok desa yang tersebar di pelosok Kecamatan Nanga Mahap.
Gotong-royong matahari Riyan dan timnya bersama warga dan Pemerintah Desa, sudah menyerap anggaran Rp759.000.000. Tak hanya anyaman ragak atau takin yang bisa dibikin malam hari, anak-anak mereka pun belajar dengan nyaman. Semua merasakan terang yang sama.
Warga yang mampu membeli genset pun beralih ke PLTS. Sebelumnya, untuk mendapat listrik dari pukul enam sore hingga sembilan malam, mereka mengeluarkan Rp20.000 per malam. Atau sekitar Rp600.000 per bulan.
“Ketika mereka menggunakan panel surya, mereka tidak menggunakan biaya apapun selama sebulan. Hanya iuran perawatan dan sebagainya,” sambung Riyan.
Saat ini, PLTS yang disediakan fokus pada penerangan. Karena menggunakan sistem kelompok, peningkatan kapasitas harus atas persetujuan bersama. Dengan catatan, alat tersebut juga harus bisa menggunakan daya aki.
“Masih sedikit sekali yang memanfaatkan PLTS ini sebagai energi listrik. Pelosok Nanga Mahap masih banyak wilayah pemukiman yang belum teraliri listrik,” katanya.
Kolaborasi Pemdes
Kepala Desa Teluk Kebau, Kecamatan Nanga Mahap, Nana Arianto bercerita, dari empat dusun di desanya, cuma satu yang teraliri listrik negara. Mereka yang mampu, membeli genset dan menghabiskan delapan sampai sepuluh liter bensin tiap malam. Persentasenya sekitar 10 persen.
Begitu terpilih menjadi Kepala Desa tahun 2020, dia tancap gas. Melirik potensi anak muda desa sebelah, Dana Desa diarahkan untuk pengadaan PLTS di Dusun Tapang Tomat, Dusun Nyonak, dan Dusun Sungai Hijau. PLTS dipilih lantaran sumber energinya melimpah. Dia pun melihat, kepastian listrik negara masuk ke sana masih belum jelas.
“Saya ingin duit negara yang diberikan kepada desa, bisa dirasakan manfaatnya oleh warga, bukan hanya dalam hal yang sifatnya pembangunan fisik,” sebut kades muda ini.
Dia ingin ada kesamaan hak atas listrik bagi warganya. Walau sekarang, masih sekadar penerangan. Kegembiraan dirasakan. Warganya bahkan berseloroh, seperti sudah pindah ke ibu kota kecamatan.
Hingga kini, sudah ada 60 unit PLTS menyebar di desanya. Rata-rata, satu unit menerangi empat rumah. Sistemnya sama seperti yang diberdayakan Riyan.
“Tahun 2021 ini ada Rp111 juta Dana Desa yang kami anggarkan untuk pengadaan PLTS. Tahun lalu Rp189,9 juta. Tapi masih banyak PR ke depan. Masih banyak warga belum teraliri listrik ini,” katanya.
332 Desa di Kalbar Belum Teraliri Listrik
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Kalbar, Syarif Kamaruzaman menerangkan hingga akhir 2020, ada 332 di Kalbar yang belum teraliri listrik negara. Pilihan yang bisa diambil adalah energi baru terbarukan. Salah satunya tenaga surya.
“Tapi sebetulnya, pemilihan teknologi yang tepat untuk melistriki desa-desa yang belum teraliri listrik ini harus dilakukan kajian dengan beragam problematika di tiap wilayah,” katanya.
Dia menjelaskan energi surya berbiaya tinggi jika dibandingkan mikro hidro atau energi angin. Semua harus dikembalikan pada kondisi wilayah. Mana yang paling murah, itu yang dipilih. Namun masalahnya, dari 332 desa, hanya tenaga surya yang memungkinkan dimanfaatkan.
“Jadi maksud saya, investasi mahal itu dibayar sesuai dengan potensi yang ada, sehingga ekonomis dan tidak ada pilihan lain,” katanya.
Akan tetapi untuk pengembangan PLTS, dinasnya terus berkoordinasi dengan PLN. Dilema terjadi lantaran perusahaan negara itu memiliki keterbatasan, sementara pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak listrik warganya.
“Untuk daerah seperti ini kami sedang lakukan kajian, jadi di beberapa program kami, kami masukan studi kelayakan berbasis energi baru terbarukan. Jangan sampai kita bangun tenaga surya di suatu tempat, ternyata PLN masuk. Pertama mubazir dari segi anggaran. Kedua kasihan, kenapa tidak dibangun di tempat yang betul-betul membutuhkan, kenapa Pemda dan PLN masuk di satu tempat atau double. Makanya kami koordinasi agar itu tidak terjadi,” jelasnya.
Dia menerangkan, dari 332 desa di Kalbar yang belum teraliri listrik, 178 di antaranya memungkinkan untuk mendapat jaringan PLN. Sisanya, diupayakan dengan energi baru terbarukan.
Dukungan Pusat
Langkah ini didukung Pemerintah Pusat yang mengamatkan transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan. Apalagi Indonesia memiliki potensi 400.000 Mega Watt energi terbarukan dengan setengahnya berasal dari energi surya. Namun, pemanfaatannya baru sekitar 0,08 persen dari potensi.
“Dunia bergerak cepat dalam mengurangi energi fosil dan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.
Dadan menjelaskan, pemerintah terus memperketat pembiayaan untuk bisnis energi fosil. Sementara energi terbarukan makin pesat dengan harga makin murah dari waktu ke waktu. Terutama PLTS.
“Indonesia adalah negara khatulistiwa yang seharusnya bisa jadi panglima dalam pengembangan energi surya,” tutupnya.
Comment