KalbarOnline.com – Perseteruan yang terjadi antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Pemberantasan Korupsi ihwal penambahan dan pemotongan hukuman untuk koruptor kian membuat rakyat bingung. Pengamat politik dan hukum Zulfikri Zein Lubis menilai bahwa kedua lembaga ini saling menunjukan independensi dengan suprioritasnya masing-masing.
Menurut Fikri, terbangunnya doktrin keadilan yang dikaitkan dengan beratnya hukuman untuk seorang koruptor saat ini sudah menjadi tolok ukur siapa yang layak dianggap pahlawan dan siapa yang layak dianggap penjahat. Seolah-olah, semakin berat hukuman yang diberikan, di situlah nilai keadilan itu tegak. Sebaliknya, siapa pun pihak yang mengurangi atau memotong hukuman seseorang, maka itu perbuatan tercela.
“Kalau memang upaya memotong dan menambah hukuman seseorang itu tabu, kenapa tidak direvisi saja UU MA? Lakukan perubahan agar dalam UU MA disebutkan bahwa MA hanya berhak menguatkan putusan hukum sebelumya bagi seorang terpidana. Cantumkan juga bahwa MA tidak punya kewenangan untuk memotong hukuman ataupun membebaskan seorang terpidana,” ujar Ketua Harian Ormas Gerakan Reformasi Hukum tersebut dalam siaran pers yang diterima KalbarOnline.com, Jumat (2/10).
Fikri melanjutkan, adanya rivalitas putusan antara MA dan KPK menunjukan bahwa Indonesia sedang mempertontonkan drama satu babak dengan tema mendegradasi kewibawaan MA sebagai tempat mencari keadilan. “Ini membuat seolah olah sah-sah saja bila KPK menabrak putusan MA meskipun itu harus mengintervensi independensi MA sebagai lembaga tinggi negara, ” ucapnya.
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengaku prihatin terhadap sejumlah putusan MA yang memotong hukuman para koruptor melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Ali mengatakan, setidaknya ada 20 koruptor yang menerima pengurangan hukuman dari MA melalui putusan PK sepanjang 2019-2020. Sementara, ada 38 perkara yang ditangani KPK sedang dalam tahap pengajuan PK.
“Sejak awal fenomena ini muncul, KPK sudah menaruh perhatian sekaligus keprihatinan terhadap beberapa putusan PK Mahkamah Agung yang trennya menurunkan pemidanaan bagi para koruptor,” ujar Ali.
Menurut Ali, hal tersebut mencerminkan belum adanya komitmen yang sejalan antar lembaga penegakan hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Kendati demikian, Ali menyebut PK merupakan hak dari terpidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang Undang (UU).
“Namun, pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan majelis hakim tersebut maupun terhadap kepercayaan MA secara kelembagaan,” ucap Ali.
Comment