KalbarOnline.com – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyampaikan terjadi penurunan penilaian terhadap kebebasan sipil di Indonesia dan kecenderungan represifitas aparat harusnya menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia saat ini, telah terjadi pelanggaran terhadap konsititusi.
Hal merujuk pada survei Indikator Politik Indonesia pada Minggu (25/10) menyebutkan, 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis dan 47,7 persen responden warga makin takut menyatakan pendapat.
“ICJR mencatat dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, aparat sering bertindak represif dengan tidak mengindahkan batasan kewenangan yg diatur dalam UU dan melanggar hak asasi manusia yang fundamental,” kata Erasmus dalam keterangannya, Kamis (29/10).
Erasmus menuturkan, pada aksi penolakkan Omnibus Law Cipta Kerja, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan melaporkan aparat kepolisian melakukan penggunaan kekuatan secara berlebihan. Berdasarkan catatan, polisi juga melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa adanya proses hukum.
“Per 26 Oktober 2020, Polda Metro Jaya melaporkan telah menangkap 2.667 orang sepanjang tiga demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 8, 13, dan 20 Oktober 2020. Dari angka itu, bahkan diketahui 70 persen yang ditangkap merupakan pelajar, dan di bawah umur, maka perlakuan harus diberikan secara khusus kepada anak dalam ruang pelayanan khusus dan harus dilakukan penghindaran penahanan dan upaya-upaya represif lainnya. Diketahui juga aparat melakukan tindakan berlebihan terhadap warga, polisi melakukan penggeledahan, penyitaan dan pengaksesan tanpa dasar terhadap telepon genggam,” cetus Erasmus.
Dia memandang, aparat cenderung bertindak sewenang-wenang, namun impunitas terhadap aparat tersebut terus terjadi. Hal ini perlu menjadi sorotan bagi Pemerintah dan DPR untuk mempercepat langkah untuk perbaikan substansial hukum acara pidana di Indonesia.
“RKUHAP yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024 perlu menjamin adanya pengetatan pengawasan, membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan-penuntutan, RKUHAP harus secara ketat mengatur larangan permanen penggunaan kantor-kantor kepolisian sebagai tempat penahanan, penahanan harus dilakukan pada institusi lain, guna menjamin adanya pengawasan bertingkat,” tegas Erasmus.
Tidak hanya dari segi hukum acara pidana, lanjut Erasmus, sampai dengan saat ini pun Indonesia masih memuat hukum materil yang represif dan bertentangan dengan semangat perlindungan kebebasan sipil, utamanya dalam iklim demokrasi yang modern yaitu UU ITE. Walaupun sudah direvisi namun memuat pasal karet yang menciptakan iklim ketakutan di masyarakat.
“Pasal-pasal dalam UU ITE menyerang kelompok-kelompok yang seharusnya dilindungi oleh negara. Lebih spesifik pengaturan penghinaan di Pasal 27 ayat (3) yang tidak memperhatikan batasan tentang penghinaan dalam KUHP, sebuah institusi negara pada Agustus 2020 pernah secara terang-terangan menggunakan pasal ini untuk menakut-nakuti seseorang atas ekspresi kritik terhadap pimpinan institusi tersebut,” sesalnya.
Sebagai negara demokrasi Pancasila yang menjunjung perlindungan hak asasi manusia, harusnya bisa berbenah. Dia mengharapkan, pengawasan terhadap aparat penegakan hukum harus diperketat, salah satunya dengan mempercepat reformasi subtansial hukum acara pidana lewat pembaruan KUHAP dan memperbaiki hukum pidana materil yang memuat pasal karet, yang utama UU ITE terus memakan korban dan menghadirkan ketakutan di masyarakat.
“Pemerintah dan DPR juga perlu secara khusus melakukan reformasi di tubuh aparat penegak hukum, khususnya penggunaan pasal-pasal pidana seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu dengan tujuan membungkam ekspresi yang sah,” pungkasnya. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment