KalbarOnline.com –Unggahan Gubernur DKI Anies Baswedan di laman media sosialnya, saat sedang membaca buku ‘How Democracies Die’ atau ‘Bagaimana Demokrasi Mati’ memantik beragam komentar dari elit politik. Ada yang menerka biasa saja, dan ada juga yang beranggapan jika Anies sedang caper alias cari perhatian.
Wakil Sekjen PPP Achmad Baidowi misalnya menilai, kegiatan membaca buku How Democracies Die yang diposting Anies itu juga ditinjau dari segi posisi Anies sebagai pejabat publik. Menurutnya, Anies seolah-olah mencari perhatian agar mendapat atensi publik.
“Ya membaca Anies itu jangan hanya dibaca Anies sebagai Phd ataupun ahli ilmuwan. Tetapi harus menempatkan Anies juga dalam posisi politisi atau pejabat politik. Saya kira kalau kita melihat ya Anies mencoba menarik simpati, menarik perhatian dengan membaca judul buku seperti itu seolah-olah memberikan pesan bahwa meskipun tak ada niat tetapi publik akan melihat bahwa Anies mencoba menghubung-hubungkan,” ujar Achmad Baidowi seperti dikutip dari detik.com, Senin (23/11/2020).
Pria yang akrab disapa Awiek itu menilai, Anies sengaja berupaya menarik simpati publik untuk menjaga elektabilitasnya di media sosial. Menurutnya popularitas di medsos perlu dijaga seorang kepala daerah yang menduduki jabatan politik.
“Ya supaya apa? Ya supaya perhatian politiknya tetap mendapat perhatian tidak hilang begitu saja. Untuk menjaga elektabilitas di media sosial, popularitas di media sosial itu saya kira tetap perlu dan itu disiasati oleh seorang Anies yang menjabat gubernur sekaligus dan jabatan politik,” ujar Awiek.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani menyarankan untuk menanyakan balik ke Anies maksudnya memposting kegiatan membaca buku tersebut.
Sebab menurut Arsul, daripada menerka-nerka maksud postingan Anies tersebut lebih baik ditanyakan langsung ke Anies. Arsul menanyai Anies terkait pandangannya terhadap demokrasi pada kondisi RI saat ini.
“Dari pada menafsirkan apa makna postingan di medsos Pak Anies yang sedang memegang dan membaca buku How Democracies Die, sehingga pikiran dan analisis kita menjadi macam-macam, maka lebih baik kita bertanya saja kepada Pak Anies apa makna buku itu baginya dan bagaimana ia mengkontekstualkan isi buku itu dengan keadaan kita sekarang ini,” kata Arsul.
“Apakah menurutnya demokrasi kita ini akan mati kalau kondisinya seperti sekarang atau bagaimana?” imbuhnya.
Sekjen PPP itu menilai makna dari konteks postingan Anies itu sebaiknya dikembalikan ke Anies. Hal itu agar publik tidak berdebat terkait maksud dari postingan Anies yang sedang membaca buku berjudul ‘How Democracies Die’ itu.
“Jadi tafsir atas makna dan konteks postingan tersebut kita kembalikan kepada Pak Anies dengan pertanyaan diatas. Kalalau gak begitu, maka masing-masing akan bikin tafsir sendiri. Mulai dari tafsir yang melihatnya sebagai hal biasa sampai pada tafsir tentang kegundahan Pak Anies dengan situasi yang dihadapinya,” ungkap Arsul.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto sedang membaca buku berjudul ‘How Democracies Die’ di media sosialnya. Anies mengunggah buku tersebut sambil menikmati suasana libur di akhir pekan. “Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi,” kata Anies di laman instagramnya, Minggu (22/11/2020).
Buku ‘How Democracies Die’ merupakan karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres, tetapi lekat dengan label ‘diktator’.
Dalam bukunya, mereka mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.
Setidaknya hal ini mereka catat saat Donald Trump, yang diusung oleh Partai Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Trump unggul atas kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton. Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump diduga kuat menang karena berhasil memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.
Begitu terpilih, Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial yang semakin memunculkan kesan dia sebagai diktator. Beberapa di antaranya pernyataan perang yang diumumkan lewat akun Twitter pribadinya, rencana membangun tembok perbatasan Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang memicu perang; reformasi pajak; sikapnya arogan kepada media yang mengkritiknya; ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Pada buku ‘How Democracies Die’, selain di Amerika Serikat, Brasil, Filipina, dan Venezuela, fenomena ‘soal pemimpin yang menang pemilu namun terkesan diktator’ ini juga terjadi di beberapa negara lain, misalnya Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina. [ind]
View this post on Instagram
Comment