Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Redaksi KalbarOnline |
| Kamis, 10 Desember 2020 |
KalbarOnline.com – Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, negara semakin tenggelam dalam praktik impunitas.
’’Lagi-lagi, kami terpaksa mengabarkan berita buruk dari negara soal mandegnya akses keadilan pada para korban. Salah satunya, negara masih tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengingat (state’s duty to remember) dan mengabaikan hak korban untuk mengetahui kebenaran peristiwanya (victim’s rights to know the truth),’’ kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Arif Nur Fikri dalam siaran daring, Kamis (10/12).
Arif menjelaskan, bentuk impunitas itu terlihat dari pengabaian penegak hukum atas kewajibannya untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini ditunjukkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin pada rapat kerja bersama Komisi III DPR RI.
Saat rapat tersebut, sambung Arif, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat berdasarkan rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999–2004.
’’Pernyataan ST Burhanuddin yang melandasi argumentasi bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II berdasarkan Keputusan Paripurna DPR RI jelas hanya alasan politis dari Jaksa Agung untuk menghindari tanggung jawabnya melakukan penyidikan peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan melindungi Presiden untuk tidak mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad hoc,’’ cetus Arif.
Sebagai seorang penegak hukum yang mengemban mandat untuk melakukan penyidikan, seharusnya Jaksa Agung ST Burhanuddin dapat menuntaskan pelanggaran HAM berat atau tidaknya sebuah peristiwa ditentukan lewat jalur pro justisia dengan Komnas HAM sebagai penyelidik yang diamanahkan undang-undang, bukan lewat keputusan politis di dalam rapat anggota DPR.
Peristiwa Semanggi I dan II digugat oleh keluarga korban Sumarsih dan Ho Kim Ngo bersama dengan Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II. Pada Mei 2020, mereka menggugat Jaksa Agung atas pernyataannya tersebut. Gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dengan perbuatan melanggar hukum Jaksa Agung.
’’Hasilnya, pengadilan TUN mengabulkan seluruhnya tuntutan keluarga lewat Putusan Nomor:99/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia Jaksa Agung telah melakukan perbuatan melanggar hukum mengandung kebohongan (bedrog) karena menyatakan peristiwa Trisakti, Semanggi I & II bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat dan memberikan ketidakpastian hukum di Indonesia,’’ cetus Arif.
Majelis hakim PTUN Jakarta juga memerintahkan Jaksa Agung untuk membuat pernyataan sebenarnya tentang tragedi Semanggi I dan II. Alih-alih menerima keputusan tersebut, tetapi Jaksa Agung justru mengajukan banding melawan keluarga korban. ’’Dari peristiwa ini, nyata terlihat bahwa penegak hukum tidak memiliki keinginan (unwilling) dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu,’’ tegasnya. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
KalbarOnline.com – Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, negara semakin tenggelam dalam praktik impunitas.
’’Lagi-lagi, kami terpaksa mengabarkan berita buruk dari negara soal mandegnya akses keadilan pada para korban. Salah satunya, negara masih tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengingat (state’s duty to remember) dan mengabaikan hak korban untuk mengetahui kebenaran peristiwanya (victim’s rights to know the truth),’’ kata Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Arif Nur Fikri dalam siaran daring, Kamis (10/12).
Arif menjelaskan, bentuk impunitas itu terlihat dari pengabaian penegak hukum atas kewajibannya untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam hal ini ditunjukkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin pada rapat kerja bersama Komisi III DPR RI.
Saat rapat tersebut, sambung Arif, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat berdasarkan rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999–2004.
’’Pernyataan ST Burhanuddin yang melandasi argumentasi bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II berdasarkan Keputusan Paripurna DPR RI jelas hanya alasan politis dari Jaksa Agung untuk menghindari tanggung jawabnya melakukan penyidikan peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, dan melindungi Presiden untuk tidak mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad hoc,’’ cetus Arif.
Sebagai seorang penegak hukum yang mengemban mandat untuk melakukan penyidikan, seharusnya Jaksa Agung ST Burhanuddin dapat menuntaskan pelanggaran HAM berat atau tidaknya sebuah peristiwa ditentukan lewat jalur pro justisia dengan Komnas HAM sebagai penyelidik yang diamanahkan undang-undang, bukan lewat keputusan politis di dalam rapat anggota DPR.
Peristiwa Semanggi I dan II digugat oleh keluarga korban Sumarsih dan Ho Kim Ngo bersama dengan Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II. Pada Mei 2020, mereka menggugat Jaksa Agung atas pernyataannya tersebut. Gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dengan perbuatan melanggar hukum Jaksa Agung.
’’Hasilnya, pengadilan TUN mengabulkan seluruhnya tuntutan keluarga lewat Putusan Nomor:99/G/2020/PTUN-JKT yang menyatakan bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia Jaksa Agung telah melakukan perbuatan melanggar hukum mengandung kebohongan (bedrog) karena menyatakan peristiwa Trisakti, Semanggi I & II bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat dan memberikan ketidakpastian hukum di Indonesia,’’ cetus Arif.
Majelis hakim PTUN Jakarta juga memerintahkan Jaksa Agung untuk membuat pernyataan sebenarnya tentang tragedi Semanggi I dan II. Alih-alih menerima keputusan tersebut, tetapi Jaksa Agung justru mengajukan banding melawan keluarga korban. ’’Dari peristiwa ini, nyata terlihat bahwa penegak hukum tidak memiliki keinginan (unwilling) dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu,’’ tegasnya. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini