KalbarOnline, Putussibau – Kejari Kapuas Hulu melaksanakan restorative justice (keadilan restoratif) dengan melakukan penghentian penuntutan terhadap pelaku tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), berinisial H.
Dimana KDRT ini berawal pada tanggal 15 Mei 2022 lalu, saat pelaku H yang marah kepada istrinya A, karena uang yang sedianya akan dipergunakan untuk membayar kontrakan, namun dipergunakan oleh korban untuk kebutuhan lainnya, sehingga H memukul A.
Kasi Intelijen Kejari Kapuas Hulu, Adi Rahmanto menyampaikan, bahwa upaya restorative justice yang ditempuh ini pun telah melalui berbagai pertimbangan.
Melalui keterangan persnya yang diterima pada Senin (27/06/2022), penghentian penuntutan tersebut dilakukan setelah pada Selasa tanggal 21 Juni 2022 lalu, Plh Kejari Kapuas Hulu, Jimmy Didi Setiawan, bersama Kasi Pidum Jackson Sigalingging dan Penuntut Umum Kejari Kapuas Hulu mengunjungi rumah korban di Kecamatan Putussibau Utara Kabupaten Kapuas Hulu (Pasar Ikan).
“Bersama keluarga korban dan terdakwa, tokoh masyarakat serta bhabinkamtibmas, melakukan penelusuran informasi terkait keadaan perekonomian keluarga yang semakin memburuk sejak terdakwa ditahan–serta mendengar permohonan korban langsung yang ingin berdamai dengan pelaku, dan tidak ingin melanjutkan kasus ini ke tahap persidangan,” ujarnya.
Selanjutnya, pihak Kejari Kapuas Hulu kemudian melakukan ekspose permohonan penghentian penuntutan restorative justice secara berjenjang kepada Kejati Kalimantan Barat dan Kejaksaan Agung RI.
“Dimana hasilnya, atas tindakan KDRT yang dilakukan oleh pelaku H tersebut layak untuk diberikan penghentian penuntutan,” ujarnya.
Secara khusus, Adi merincikan, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diantaranya:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
– Tersangka belum pernah dihukum.
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
– Pertimbangan sosiologis.
– Masyarakat merespon positif.
Lebih lanjut, Adi juga menjelaskan, restorative justice diberlakukan terhadap perkara yang ditangani, apabila memenuhi persyaratan formil dan materil sesuai dengan Perja Nomor 15 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan.
“namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki sehingga nantinya dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat khususnya Kabupaten Kapuas Hulu,” ujarnya. (Ishaq)
Comment