KalbarOnline, Pontianak – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Barat telah menganggarkan pendanaan sebesar Rp 11,744 miliar atau sekitar 2 persen dari sisa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) yang akan digunakan untuk pengendalian inflasi.
Ketua Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Kalimantan Barat, Harisson menyampaikan, bahwa penggelontoran dana sebanyak itu sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134 Tahun 2022.
“Dimana aturan tersebut mempersyaratkan setiap pemerintah provinsi maupun kabupaten kota wajib menganggarkan 2 persen dari sisa DAU, DBH pada program pengendalian inflasi,” ujarnya, Sabtu (17/09/2022).
Lebih lanjut Harisson menerangkan, sesuai arahan Gubernur Kalbar, 60 persen dari dana Rp 11 miliar lebih tersebut sedianya digunakan untuk bantuan sosial (bansos) bahan pangan berupa pemberian paket sembako kepada masyarakat rentan, dan 40 persen sisanya untuk operasi pasar atau gelar pangan murah.
“Jadi dari Rp 11 miliar tersebut, sekitar Rp 4,6 miliar rupiah digunakan untuk gelar pangan murah dan operasi pasar. Lalu Rp 7 miliar rupiah digunakan untuk bantuan sosial bahan pangan berupa pemberian paket sembako yang diberikan kepada masyarakat rentan di kabupaten kota,” jelas Sekda Kalbar itu.
Harisson mengatakan, dalam pengendalian inflasi di daerah, tentu Pemprov Kalbar tak bisa berjalan sendiri. Diperlukan peran serta semua instansi pemerintah termasuk instansi vertikal.
Sebagai Ketua TPID Provinsi Kalbar, Harisson pun meminta agar bulog juga mengambil peran aktif dengan cara mengaktifkan Rumah Pangan Kita (RPK), sebagai penyeimbang harga atau price maker. RPK adalah outlet penjualan pangan pokok untuk masyarakat yang dibina oleh Perum Bulog.
“Bulog mempunyai program RPK, untuk di Kota Pontianak terdapat lebih dari 400 RPK,” katanya.
Melalui RPK yang berlokasi di pemukiman-pemukiman perumahan–yang menjual bahan pokok yang bersumber dari bulog–diharapkan masyarakat dapat membeli bahan pokok dengan harga yang relatif murah. Sehingga RPK bisa menjadi penyeimbang harga.
Sebab menurut Harisson, jika hanya mengandalkan operasi pasar atau gelar pangan murah yang hanya dilakukan pada momen-momen dan titik tertentu saja, maka hal ini kurang dapat mengendalikan inflasi secara kontinu.
“Kalau RPK ini kan bisa terus menerus, setiap hari menjual bahan pokok yang relatif murah, karena bahan yang dijual berasal dari bulog dan pedagang tidak boleh mengambil keuntungan yang tinggi. Kita harapkan bulog tidak tidur dan Rumah Pangan Kita ini bisa menjadi penyeimbang harga agar tetap terkendali,” ujarnya.
Selain itu, Harisson juga mengimbau kepada TPID-TPID di kabupaten/kota juga harus selalu memperhatikan dan mengendalikan inflasi di daerahnya masing-masing. Diantaranya dengan menganalisa penyebab terjadinya inflasi, lalu dilakukan intervensi terhadap penyebab tersebut.
Harisson menjelaskan, untuk level provinsi, angka inflasi di Kalbar saat ini tercatat 4,4 persen years to years (y to y). Angka tersebut memasukkan Kalbar dalam 6 provinsi dengan inflasi terendah se-Indonesia. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, Kabupaten Sintang termasuk dalam 10 daerah dengan angka inflasi tinggi se-Indonesia, yakni mencapai 7,4 persen.
“Inflasi di Sintang tinggi lebih disebabkan oleh biaya transportasi yang tinggi sehubungan dengan kelangkaan dan naiknya harga BBM. Kita terus berupaya untuk menurunkan biaya transportasi ini agar inflasi terkendali dan dapat menekan harga kebutuhan pokok,” ujar Harisson.
Sebagai informasi, adapun tiga daerah di Kalbar yang menjadi indikator perhitungan inflasi di Provinsi Kalbar adalah Kota Pontianak, Kota Singkawang dan Kabupaten Sintang. (Jau)
Comment