KalbarOnline, Pontianak – Dari 14 kabupaten dan kota di Kalbar yang menerima opini dari BPK RI, hanya Kabupaten Bengkayang saja yang tidak mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2021.
Dengan demikian, Bengkayang menjadi satu-satunya kabupaten di kalbar yang meraih opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada LKPD tahun 2021.
Kendati demikian, Gubernur Kalbar, Sutarmidji tetap memuji upaya Pemerintah Kabupaten Bengkayang dalam membenahi tata kelola keuangan pemerintahannya.
“Saya rasa semenjak Pak Darwis (Bupati Bengkayang) ini bagus. Kami kan evaluasi APBD-nya, sudah progres, bagus. Pak Darwis dan Pak Wakilnya bahu membahu, mudah-mudahan yang 2022 ini (bisa) WTP,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Sutarmidji seusai melakukan penyerahan penghargaan WTP atas LKPD 2021 dan penghargaan Satker UAPPA-W dan FGD Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah di Balai Petitih, Kantor Gubernur, Kamis (20/10/2022) kemarin.
Lebih lanjut, Sutarmidji menilai, bahwa “tertundanya” Pemkab Bengkayang memboyong penghargaan WTP pada 2021, lebih dikarenakan beban rekomendasi BPK terhadap tata kelola keuangan pada zaman pemerintahan bupati sebelumnya yang belum tuntas ditindaklanjuti.
“Saya berharap di tahun 2022 seluruh (14 kabupaten/kota)-nya WTP. Satunya kan yang belum, Bengkayang, dan saya yakin Pak Bupati dan Wakil Bupati (Bengkayang) serius untuk berbenah,” ucap Sutarmidji.
Disinggung soal tindak lanjut rekomendasi dari BPK terkait tata kelola keuangan daerah, Sutarmidji menargetkan bahwa Pemprov Kalbar sendiri bisa menyelesaikannya sampai di angka 95 persen–dari yang saat ini baru mencapai sekitar 86 persen.
“Kebanyakan itu administratif, tidak begitu sulit. Kalau aturan harus diubah ya ubah aturan, sesuai dengan rekomendasi BPK,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala BPK RI Perwakilan Kalbar, Rahmadi menerangkan, adapun rekomendasi yang sering ditemukan BPK terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni pertama, soal pengelolaan aset dengan berbagai jenis persoalannya, seperti aset lancar, aset persediaan, aset tetap dan aset lainnya.
Kemudian yang kedua, soal pendapatan. Rahmadi bilang, pihaknya kerap menemukan masih adanya pengelolaan pendapatan pajak daerah yang belum optimal. Dimana ada kemungkinan potensi-potensi pajak yang seharusnya bisa menjadi pendapatan, namun belum terkelola dengan baik. Sehingga potensi penerimaan yang seharusnya bisa diraih justru tidak didapatkan.
“Kemudian pembagian dividen interim, belum sesuai dengan ketentuan, yang memiliki perusahaan-perusahaan daerah mungkin perlu dicek lagi, pembagian dividen (bagi hasil) perusahaan daerah,” katanya.
Selanjutnya yang ketiga, ialah sektor belanja. Menurut Rahmadi, masih terdapat kesalahan-kesalahan pada sektor belanja daerah, contohnya pada belanja barang dan jasa yang masuk dalam belanja modal atau sebaliknya. Termasuk juga dalam hal ini pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Seperti terjadi perbedaan akun misalnya, dari di pusat itu gelondongan, tetapi ketika sampai di daerah harus di-split (dibagi), atau masuk pertanggung jawabannya, di-split ada yang belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, itu perlu ada usaha yang sungguh-sungguh dari pengelola dana BOS,” paparnya.
Selain itu menurut Rahmadi ada pula kekurangan volume pekerjaan dan adanya pelanggaran administrasi terkait pengadaan barang dan jasa. Belum lagi, pihaknya juga masih menemui adanya kekurangan volume dari spesifikasi atau Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Tak hanya itu, soal adanya kelebihan pembayaran jasa konsultasi yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan, kelebihan belanja barang dan jasa bagi tunjangan dan honorarium yang juga masih menjadi kendala untuk dibenahi.
Rahmadi juga berharap, masing-masing pemerintah daerah dapat benar-benar mempedomani Perpres Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional. Sehingga kedepan, tidak ada lagi temuan kelebihan bayar terkait belanja barang dan jasa, belanja gaji, tunjangan, perjalanan dinas dan lain sebagainya. (Jau)
Comment