KalbarOnline, Pontianak – Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kalbar, Harisson menanggapi wajar kritik gubernur kepada pihak balai sungai yang dinilai tak becus mengurus Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Karena jika berkaca dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Sutarmidji bahkan memiliki kewenangan lebih dari sekedar kritik.
Harisson mengungkapkan, lantaran posisi gubernur yang merupakan Wakil Pemerintah Pusat di Daerah (GWPP), maka ia memiliki kewenangan untuk ikut mengawasi kinerja pihak balai yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat melalui kementerian terkait.
“Adalah tidak mungkin presiden mengawasi pelaksanaan tugas pemerintah pusat atau kementerian sampai ke daerah. Untuk itu presiden memberikan tugas dan kewenangan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (GWPP),” terang Harisson kepada awak media, Rabu (08/03/2023).
Adapun tugas GWPP tersebut dijelaskan dia, sebagaimana tertuang dalam amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana GWPP bertugas melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Lebih spesifik lagi, lanjut Harisson, di Pasal 91 ayat 4 huruf e, tertulis kalau gubernur (memiliki hak untuk) memberikan persetujuan pembentukan instansi vertikal di wilayah provinsi, kecuali pembentukan instansi vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut.
“Pasal 91 ayat 4 huruf f, gubernur sebagai GWPP melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian yang ditugaskan di wilayah daerah provinsi yang bersangkutan, kecuali untuk kepala instansi vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan absolut, seperti TNI, Polri, Kehakiman, Kejaksaan, Agama dan Moneter,” paparnya.
Dengan demikian, sesuai UU 23 Tahun 2014 itu, maka sudah jelas bahwa gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap instansi vertikal. Termasuk dalam hal ini balai sungai yang ada di Kalbar.
Alhasil, sudah merupakan hak dan kewenangan gubernur lah untuk menegur kinerja instansi vertikal yang berada di wilayah provinsi, apabila kinerja mereka dianggap kurang tepat.
“Kecuali instansi vertikal absolut. Jadi jangankan mengusir pejabatnya, gubernur bahkan bisa memberikan rekomendasi agar instansi vertikal di wilayahnya yang tidak membawa manfaat bagi daerah agar dihapuskan, dan untuk tugas dan kewenangannya dialihkan ke perangkat daerah provinsi yang terkait,” terang Harisson.
Terkait dengan esensi kritik yang disampaikan Gubernur Sutarmidji baru-baru ini, Harisson menerangkan, bahwa kritik tersebut bukanlah merupakan narasi tunggal yang ujug-ujug keluar dari mulut gubernur begitu saja. Namun kritik itu lebih kepada akumulasi kegeraman Sutarmidji dengan melihat fakta dan realita yang ada selama ini. Terlebih memang akhir-akhir ini di beberapa wilayah Kalbar telah terjadi bencana banjir.
Harisson mengatakan, jika melihat kilas balik di tahun 2020 – 2021, saat adanya pandemi Covid-19, ia bersyukur di waktu yang sama, Kalbar tidak turut disibukkan dengan bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Hal itu lanjut dia, karena memang di wilayah Kalbar, mulai terjadi curah hujan yang tinggi sepanjang tahun.
“Curah hujan tinggi di satu sisi membawa keuntungan dengan tidak adanya kebakaran lahan, namun di sisi lain, membawa dampak terjadinya banjir di beberapa wilayah di Kalbar,” katanya.
Selanjutnya Harisson juga menyebutkan, dari penjelasan para pakar, curah hujan yang tinggi itu diperparah dengan berkurangnya lahan resapan air. Serta berkurangnya wilayah-wilayah penampungan air.
“Berkurangnya penampungan air dan resapan air ini dituduhkan karena rusaknya alam, sehubungan dengan tumbuhnya perkebunan sawit (yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota) atau penimbunan wilayah yang selama ini menjadi tempat penampungan air yang dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan dan lain-lain,” jelasnya.
Lalu yang paling akhir, juga telah terjadi pendangkalan sungai, sehubungan dengan tidak dilakukannya pengerukan untuk menambah volume tampungan air di sungai. Termasuk di sepanjang DAS Kapuas.
Dengan kata lain, kata Harisson, telah terjadi curah hujan yang tinggi, lalu volume air yang turun ke wilayah Kalbar sangat besar, sementara daya tampung atau daerah resapan sudah jauh berkurang. Maka bencana banjir akan terus terjadi dan bisa bertahan dalam waktu lama. Untuk itulah perlu peran dari pihak balai sungai yang bertanggung jawab dalam mengurus DAS Kapuas.
Harisson juga bilang, jika merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 04/PRT-M/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai, sudah diatur kewenangan pengelolaan wilayah sungai. Yang mana wilayah Sungai Kapuas adalah kewenangan pemerintah pusat.
“Seharusnya Balai Wilayah Sungai Kalimantan (BWSK) melakukan langkah-langkah seperti yang diminta Pak Gubernur, sudah lama Pak Gubernur minta agar dilakukan pengerukan, tapi tidak dilaksanakan. Ini yang membuat Pak Gubernur marah. Kan ini kewenangan ada di Balai Wilayah Sungai,” tutupnya.
Solusinya Pengerukan Sungai, Bukan Pasang Geobag
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Gusti Hardiansyah menyebutkan, bahwa solusi penggunaan geobag untuk mengatasi masalah banjir tahunan di Kalbar kurang efektif. Menurutnya, solusi yang lebih cocok ialah dengan melakukan pengerukan muara Sungai Kapuas dan daerah aliran sungai-sungai yang ada.
“Setelah kita evaluasi, memang geobang itu kan hanya untuk sementara saja dalam jangka pendek. Kalau dalam konteks di Kalbar ini yang betul itu dikeruk, diturap-turap kalau perlu kan begitu, tapi karena pembiayaannya juga mahal–tapi yang paling penting adalah muara sungai kapuas yang sedimentasi (endapan)-nya harus dikeruk, supaya aliran air itu lebih cepat turun,” terangnya kepada KalbarOnline baru-baru ini.
Gusti yang juga Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Kalbar itu mengaku setuju dengan statement Gubernur Kalbar, Sutarmidji, yang mendorong agar sesegera mungkin dilakukan pengerukan.
“Jadi sudah dihitung ya–kemarin juga dari Pak Gubernur sudah menyampaikan, kalau beda tinggi dari Kapuas Hulu ke Kota Pontianak–plus minusnya–antara 5 sampai 30-an meter, karena adanya pendangkalan di muara Kapuas itu, menyebabkan (alur sungai) landai,” jelasnya.
“Itu harus dikeruk, ya endak perlu pasang geobag lah, supaya ngalir kan gitu? Kalau kita pasang geobag kan juga kita hanya menahan saja. Kalau untuk jangka pendek, satu bulan dua bulan, mungkin ada efektivitasnya, ibarat kita banjir di rumah, tapi kalau sudah lewat setahun kayak gini, mau tidak mau Kalbar ini harus punya teknologinya tersendiri,” papar Gusti menambahkan.
Ia menjelaskan, teknologi tersebut bertujuan untuk menurunkan kelandaian yang ada di muara Sungai Kapuas, sehingga ada jaminan air bisa cepat mengalir.
“Jadi ada baiknya pemerintah pusat mengkaji secara cermat lagi lah. Karena sesuai dengan kebutuhan di Kalbar, khusus di Sintang, Kapuas Hulu, tidak cocok lah dengan geobag tadi,” jelasnya lagi.
Di luar itu, Gusti mengharapkan adanya aksi nyata segera dari pemerintah pusat melalui kementerian terkait dengan persoalan banjir di Kalbar ini.
“Yang jelas sekarang masih wacana. Artinya dari beberapa pertemuan, lontaran ide-ide itu berkembang di beberapa diskusi. Saya pikir Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, termasuk pemerintah provinsi harus duduk semeja dalam rangka mengatasi persoalan ini,” terangnya.
“Karena ini kan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kita bisa bayangkan, kalau kemarin yang terdampak (korban banjir) itu 200 ribu orang untuk di 5 kabupaten–jadi arahan cepat tanggap itu harus cepat dilakukan,” pungkasnya.
Pengamat: Kritik Sutarmidji Sudah Betul
Pengamat Politik dari Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Jumadi menilai, bahwa esensi kritik yang disampaikan Sutarmidji terkait pengerukan DAS muara Sungai Kapuas oleh pemerintah pusat melalui Balai Sungai sudah betul dan sesuai dengan kewenangannya sebagai Gubernur Kalbar.
“Kalau saya setuju dengan statement gubernur tersebut,” ungkap Jumadi, Rabu (08/03/2023), menanggapi pemberitaan berjudul “Unfaedah! Sutarmidji: Kabalai Sungai Sebaiknya Angkat Kaki dari Kalbar” yang di-publish KalbarOnline.com.
Di mana diketahui, buntut dari statement Sutarmidji–yang juga diterbitkan oleh sejumlah media massa itu–kini berbuah polemik. Terakhir, kritik Sutarmidji itu bahkan dipersoalkan oleh sejumlah Anggota DPRD Kalbar.
“Ini Anggota Dewan (DPRD Kalbar) ndak paham posisi gubernur. Gubernur itu selain sebagai kepala daerah juga sebagai kepala wilayah,” terangnya.
Maksud Jumadi, statement Sutarmidji tersebut seharusnya dapat dijadikan dasar bagi para Anggota DPRD Kalbar–untuk menindaklanjutinya dengan memanggil pihak-pihak yang berwenang, sesuai dengan kapasitas dan fungsi legislatif itu sendiri. Bukan malah “menyerang” sesama pemerintah daerah yang notabene sedang memperjuangkan nasib ribuan korban terdampak banjir di sejumlah wilayah Provinsi Kalbar.
“Dewan juga selama ini juga diam, tidak ada upaya memanggil pihak-pihak terkait soal pendangkalan DAS Kapuas dan mendorong untuk dilakukan pengerukan,” kritiknya.
“Coba lihat provinsi lain, dilakukan pengerukan,” timpal Jumadi seraya mencontohkan upaya pengerukan sungai di Provinsi Kalteng dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Berdasarkan data dan sejumlah analisis akademik yang gamblang terpapar selama ini, bahwa pendangkalan DAS Sungai Kapuas itu memang sudah sangat parah. Menurut Jumadi, penyebabnya macam-macam, salah satunya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di daerah perhuluan Kalbar. Dan lagi-lagi kata dia, tidak banyak politisi yang mampu bersuara untuk masalah itu.
“Salah satunya karena faktor PETI yang tidak terkendali di daerah perhuluan. Tidak banyak pejabat dan politisi yang berani membicarakan soal PETI di daerah perhuluan tersebut. Penegakan hukum (di Kalbar) juga lemah,” tuntasnya. (Jau)
Comment