Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Jumat, 02 Mei 2025 |
KALBARONLINE.com - Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, Aliansi Gerakan Kalimantan Barat Memanggil menggelar aksi damai di Bundaran Digulist, Pontianak, Kamis sore (01/05/2025).
Aksi ini diwarnai dengan orasi, pembentangan spanduk, dan pembacaan tuntutan yang menyoroti berbagai persoalan ketenagakerjaan, khususnya yang dialami buruh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.
Ketua Koordinasi Aliansi Gerakan Kalimantan Barat Memanggil, Yetno mengatakan, bahwa aksi ini merupakan bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan nasional yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Beberapa diantaranya adalah Undang-Undang Omnibus Law, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang TNI, dan Rancangan Undang-Undang Polri.
“Selain itu, kita juga menuntut kepada pemerintah secara nasional untuk mengesahkan beberapa undang-undang yang sebenarnya juga mendukung rakyat, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat, dan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit,” ujarnya kepada awak media.
Desakan pengesahan UU tersebut, menurut Yetno, dikarenakan sampai saat ini masih banyak buruh-buruh perkebunan sawit di Kalbar yang merasakan penindasan dan pengisapan oleh perusahaan-perusahaan.
“Kita pahami luasan Kalbar yang 14,67 juta hektare telah dikuasai oleh perkebunan sawit sebesar sekitar 4,5 juta hektare. Nah, itu menyatakan bahwa betapa luasnya perkebunan sawit dan berapa banyaknya buruh-buruh perkebunan sawit yang hari ini juga merasakan penindasan dan pengisapan yang begitu dalam oleh perusahaan-perusahaan,” jelasnya.
Lebih lanjut Yetno mengungkapkan, kesejahteraan buruh di sektor ini masih jauh dari kata layak. Banyak buruh masih berstatus harian lepas meski telah bekerja lebih dari lima tahun, bahkan hingga sepuluh tahun, tanpa pengangkatan sebagai pekerja tetap.
“Kita banyak mendapat keluhan dari masyarakat, terutama dari buruh-buruh perkebunan sawit yang masih belum mendapatkan hak-hak normatifnya, seperti hak atas upah yang layak, bahkan yang paling utama adalah bagaimana kepastian kerjanya,” katanya.
Yetno bilang, kebanyakan perkebunan kelapa sawit saat ini masih banyak yang belum mengangkat para buruh-buruh menjadi buruh tetap atau PKWTT.
“Saat ini mereka masih menggunakan banyak skema dengan buruh harian lepas, yang nyatanya harian kerja mereka itu sudah melebih kadang sampai 8 tahun, 10 tahun, tapi masih belum diangkat-angkat, terutama buruh-buruh yang bekerja biasa di bidang perawatan,” jelasnya.
Selain itu, Yetno juga menyampaikan keluhan terkait kondisi kerja yang tidak memenuhi standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), seperti kurangnya akses air bersih dan fasilitas sanitasi di area kerja.
Ia juga menyoroti praktik kemitraan antara perusahaan dan petani plasma yang dinilai tidak transparan dan merugikan masyarakat. "Banyak petani hanya menerima hasil sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan dari 1 hektare lahan, ini jelas tidak adil," tambahnya.
Dalam aksi tersebut, Yetno turut menyoroti kasus yang terjadi di Kabupaten Sambas, di mana tujuh buruh korban PHK dari PT Duta Palma belum menerima pesangon setelah perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT Agrinas Palma Nusantara.
"Perubahan nama tidak boleh menghapus tanggung jawab perusahaan terhadap buruh. Kasus ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan instansi terkait," tegasnya.
Meski banyak buruh dari wilayah pedesaan tidak dapat hadir dalam aksi karena kendala biaya dan kondisi ekonomi, Yetno menegaskan bahwa suara mereka tetap disuarakan oleh aliansi dalam momentum May Day ini. (Lid)
KALBARONLINE.com - Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, Aliansi Gerakan Kalimantan Barat Memanggil menggelar aksi damai di Bundaran Digulist, Pontianak, Kamis sore (01/05/2025).
Aksi ini diwarnai dengan orasi, pembentangan spanduk, dan pembacaan tuntutan yang menyoroti berbagai persoalan ketenagakerjaan, khususnya yang dialami buruh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.
Ketua Koordinasi Aliansi Gerakan Kalimantan Barat Memanggil, Yetno mengatakan, bahwa aksi ini merupakan bentuk protes terhadap sejumlah kebijakan nasional yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Beberapa diantaranya adalah Undang-Undang Omnibus Law, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang TNI, dan Rancangan Undang-Undang Polri.
“Selain itu, kita juga menuntut kepada pemerintah secara nasional untuk mengesahkan beberapa undang-undang yang sebenarnya juga mendukung rakyat, seperti Undang-Undang Masyarakat Adat, dan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit,” ujarnya kepada awak media.
Desakan pengesahan UU tersebut, menurut Yetno, dikarenakan sampai saat ini masih banyak buruh-buruh perkebunan sawit di Kalbar yang merasakan penindasan dan pengisapan oleh perusahaan-perusahaan.
“Kita pahami luasan Kalbar yang 14,67 juta hektare telah dikuasai oleh perkebunan sawit sebesar sekitar 4,5 juta hektare. Nah, itu menyatakan bahwa betapa luasnya perkebunan sawit dan berapa banyaknya buruh-buruh perkebunan sawit yang hari ini juga merasakan penindasan dan pengisapan yang begitu dalam oleh perusahaan-perusahaan,” jelasnya.
Lebih lanjut Yetno mengungkapkan, kesejahteraan buruh di sektor ini masih jauh dari kata layak. Banyak buruh masih berstatus harian lepas meski telah bekerja lebih dari lima tahun, bahkan hingga sepuluh tahun, tanpa pengangkatan sebagai pekerja tetap.
“Kita banyak mendapat keluhan dari masyarakat, terutama dari buruh-buruh perkebunan sawit yang masih belum mendapatkan hak-hak normatifnya, seperti hak atas upah yang layak, bahkan yang paling utama adalah bagaimana kepastian kerjanya,” katanya.
Yetno bilang, kebanyakan perkebunan kelapa sawit saat ini masih banyak yang belum mengangkat para buruh-buruh menjadi buruh tetap atau PKWTT.
“Saat ini mereka masih menggunakan banyak skema dengan buruh harian lepas, yang nyatanya harian kerja mereka itu sudah melebih kadang sampai 8 tahun, 10 tahun, tapi masih belum diangkat-angkat, terutama buruh-buruh yang bekerja biasa di bidang perawatan,” jelasnya.
Selain itu, Yetno juga menyampaikan keluhan terkait kondisi kerja yang tidak memenuhi standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), seperti kurangnya akses air bersih dan fasilitas sanitasi di area kerja.
Ia juga menyoroti praktik kemitraan antara perusahaan dan petani plasma yang dinilai tidak transparan dan merugikan masyarakat. "Banyak petani hanya menerima hasil sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan dari 1 hektare lahan, ini jelas tidak adil," tambahnya.
Dalam aksi tersebut, Yetno turut menyoroti kasus yang terjadi di Kabupaten Sambas, di mana tujuh buruh korban PHK dari PT Duta Palma belum menerima pesangon setelah perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT Agrinas Palma Nusantara.
"Perubahan nama tidak boleh menghapus tanggung jawab perusahaan terhadap buruh. Kasus ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan instansi terkait," tegasnya.
Meski banyak buruh dari wilayah pedesaan tidak dapat hadir dalam aksi karena kendala biaya dan kondisi ekonomi, Yetno menegaskan bahwa suara mereka tetap disuarakan oleh aliansi dalam momentum May Day ini. (Lid)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini