Nasional    

Saut Situmorang: Tidak Ada “Tempat Aman” di Era Prabowo, Termasuk Ria Norsan

Oleh : Jauhari Fatria
Senin, 25 Agustus 2025
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KALBARONLINE.com – Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menegaskan bahwa di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak ada lagi “tempat aman” bagi pelaku korupsi, termasuk pejabat yang berasal dari partai penguasa sekalipun.

Pernyataan itu disampaikan Saut saat menanggapi pemeriksaan Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan yang notabene juga merupakan kader Partai Gerindra oleh KPK baru-baru ini terkait dugaan korupsi proyek jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Mempawah.

Menurut Saut, langkah KPK yang tetap memproses kasus di level kepala daerah hingga kementerian saat ini membuktikan kalau lembaga anti rasuah masih bekerja teguh.

“Kalau cukup buktinya, kalau (dikatakan) hanya soal waktu bisa jadi. Karena level wamen saja, Noel itu kan juga dari Gerindra? Artinya kita bisa menyimpulkan bahwa secara politik, yang terkait dengan kekuasaan, KPK firm (teguh) disitu, karena level kementerian ternyata masuk juga kan,” katanya secara eksklusif kepada KalbarOnline.com.

Saut mengakui, memang secara teknis, KPK dinilai cukup lamban dalam menangani kasus mantan Bupati Mempawah dua periode itu, namun ia percaya, kalau kasus ini tetap akan terus berjalan tanpa adanya intervensi kekuasaan.

“Artinya kalau indikasi bahwa dia (merasa aman) karena partai penguasa atau politisasi—itu bisa saja terjadi—tapi dari progress atau kemajuan dari mulai penggeledahan April di sejumlah tempat, walaupun terasa lambat, tapi ada kemajuan. Mudah-mudahan analisis kita KPK memang firm ya, tidak terkait (politik) itu,” katanya.

Terlebih, dalam beberapa kali kesempatan, Prabowo pada pidatonya juga cukup sering melontarkan narasi-narasi keras dan tegas yang menunjukkan komitmennya dalam hal pemberantasan korupsi di dalam negeri, termasuk jika ada kader partainya sendiri yang terlibat. Saut menilai, kalau ini bukan hanya memberikan garansi tapi juga perintah kepada institusi KPK untuk membabat habis pelaku korupsi.

“Masa sih Pak Prabowo ngomong di depan publik seperti itu (tanpa ada maksud), itu jarang loh. Sebenarnya ini kan jaminan dan perintah buat KPK. Malah aneh kalau KPK tidak melaksanakan perintah, masa KPK tidak bisa jabarin omongan presiden, kebangetan banget,” kata Saut.

Strategi Kutu Loncat Ria Norsan Tak Mempan

Langkah politik Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, meninggalkan Partai Golkar dan bergabung dengan Partai Gerindra diduga bukan sekadar manuver biasa. Perpindahan itu dinilai sebagai strategi mencari suaka politik di tengah bayang-bayang kasus korupsi yang kini menyeret namanya.

Namun, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, strategi “kutu loncat” semacam itu tampaknya tak lagi ampuh.

Saut menegaskan, bahwa lembaga anti rasuah tetap harus menindaklanjuti perkara tersebut tanpa pandang bulu, meskipun Norsan kini berada di partai penguasa.

“Namanya dugaan (sah saja), tapi jangan lupa, di negeri kita ini, pindah-pindah partai itu kan biasa. Tapi yang menarik perpindahan itu dilakukan setelah yang bersangkutan mulai dilakukan pemeriksaan. Tidak salah juga kalau kita menganalisis ke situ, karena yang sedang memerintah saat ini dari partai Gerindra, sehingga dia mencari jalan. Tapi (kembali lagi), kalau dia masuk di struktur (DPP/DPD) itu urusan partai, tapi bukan berarti KPK tidak melakukan penindakan lebih lanjut,” katanya.

Saut melanjutkan, kendati undang-undang saat ini menempatkan KPK di bawah pemerintah atau presiden, namun hal itu tidak juga menjadi jaminan bahwa “all president's men” akan selamat dari jerat hukum. Tergantung siapa dulu presidennya.

“Kan kita punya bukti omongan presiden? Kasus wakil menteri (Noel) sudah menunjukkan, bahwa pemerintah saat ini sangat komitmen dalam pemberantasan korupsi, (ditambah) dengan stylenya, pimpinan KPK saat ini, harapan kita dengan UU yang sekarang berubah itu hanya strategi saja, tapi hukum yang pasti, hukum yang adil, hukum yang bermanfaat itu harus ditegakkan,” ujarnya.

“Di negara-negara lain juga banyak lembaga anti korupsinya yang di bawah perdana menteri, di bawah pemerintah, mereka juga berpegang pada prinsip kebenaran, keadilan, kejujuran dengan memegang dua alat bukti yang cukup untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Ya KPK juga harus transparan,” tambah Saut.

Irit Bicara KPK Bikin Garuk Kepala

Terkait dengan tuntutan transparansi, sebenarnya publik saat ini sangat berharap-harap KPK dapat segera mengungkap secara terang benderang, apa sebenarnya kasus yang menyeret nama Ria Norsan.

Karena sejak dilakukan penggeledahan pada ujung April kemarin di tiga lokasi di Kalimantan Barat, KPK tetap saja masih irit bicara, kendatipun sudah ada penetapan tersangka.

Tak seperti pada kasus yang umumnya ditangani. Setelah tak lama dari penggeledahan, biasanya KPK sudah akan melakukan gelar perkara, di mana penyidik langsung membeberkan secara detail seperti apa konstruksi kasusnya, siapa berbuat apa dan dapat apa.

Misteri irit bicara KPK ini tentu saja membuat publik garuk-garuk kepala. Apa sebenarnya yang KPK tunggu? Bukti dokumen sudah dikantongi, banyak saksi sudah dipanggil, termasuk adik Ria Norsan sendiri, Ria Mulyadi, yang juga mantan Ketua DPRD Mempawah. Terakhir terdapat juga beberapa pejabat kementerian yang diperiksa. Tapi prosesnya seolah tenggelam timbul begitu saja tanpa kejelasan pasti.

Kemungkinan Cuci Tangan dan Tumbalkan Anak Buah

Insinuasi untuk meng-copy model “penumbalan kroco” di kasus korupsi BP2TD Mempawah agaknya akan ter-paste dalam kasus dugaan korupsi pada Dinas PUPR Mempawah yang kini sedang ditangani KPK. Intinya bagaimana nama dan posisi Ria Norsan sebisa mungkin dijauhkan dari sorotan.

Saut Situmorang setuju dengan statement yang disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, yang menyatakan bahwa tidak mungkin kalau pimpinan lepas tangan dan tidak tahu menahu tentang suatu kebijakan pembangunan, apalagi menyangkut uang miliaran rupiah.

“Kalau dalam tata kelola pemerintahan, nggak mungkin juga kepala dinas bikin kebijakan sendiri, kebijakan itu selalu harus lewat kepala daerah. Cuman yang belum kita pastikan adalah peristiwa pidananya, nanti kita lihat konstruksi hukumnya, tunggu KPK bekerja,” katanya.

“Artinya kebijakan pasti di tangan kepala daerah, dia yang memerintah, dia yang mengatur semua, karena (Dinas PUPR) itu adalah bagian infrastruktur, yang banyak risiko-risiko di situ, jadi kepala daerah kontrol. Pertanyaannya, apakah ada suapnya atau ada menerima sesuatu, itu yang kita perlu tunggu dulu penyelidiknya bekerja,” lanjut Saut.

Namun begitu, Saut meyakini, bahwa komitmen Presiden Prabowo dalam melakukan pemberantasan korupsi sampai ke daerah akan dilakukan dengan prinsip kebenaran, keadilan, kejujuran dan transparansi.

“Kita hari ini dipimpin oleh seorang presiden yang gayanya berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, kita berharap dia konsisten dengan apa yang dia ucapkan, dengan yang dia pikirkan, dengan yang dia lakukan,” katanya.

Logikanya lagi, tambah Saut, tidak mungkin pula target-target pembangunan dan ekonomi di era Prabowo akan berhasil tercapai jika korupsi tidak mampu diberantas.

“Mimpi Prabowo (agar) ekonomi tumbuh sekian persen. Persoalan utama kita adalah korupsi. Saya hanya ingin mengatakan, berhenti korupsi sekarang juga, atau kalau enggak kamu dijeblosin, karena perintah presiden itu jelas,” tuturnya.

Bersyukurlah...

Di akhir wawancaranya dengan KalbarOnline.com, Saut Situmorang memberikan catatan untuk dijadikan renungan. Berdasarkan pengalaman menjadi pimpinan KPK, banyak pejabat yang terlibat korupsi itu bukan karena mereka tidak berpunya, melainkan tamak dan tidak bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini.

Ia lalu menghubungkan dengan kasus yang menimpa Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel yang tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini.

“Bayangin saja, gaji UMR itukan sekitar Rp 3 juta sebulan, untuk izin sertifikasi harus Rp 6 juta, jadi pekerja itu harus nabung 2 bulan untuk dapat sertifikasi. Katakanlah yang bayar perusahaannya, tapi secara teori sebenarnya yang bayar itu kan pekerja, walaupun itu seperti apa mekanismenya, entah potong gaji saya tidak ngerti, tapi inti cerita yang mau kita ambil itu, kok bisa sih tega-teganya melakukan itu,” ujarnya menyayangkan.

Maksud Saut, ketika seorang pejabat itu melakukan korupsi, maka secara otomatis akan ada hak-hak orang lain yang juga dizalimi.

“Cobalah kita bersyukur, masih banyak orang yang belum dapat makan, di pedalaman Kalimantan sana masih banyak orang yang masih—jangankan makan, baju yang di badannya saja sudah basah sampai kering nih masih nempel di badan (sangking kerasnya bekerja). Itulah saya bilang mari lah bersyukur dengan apa yang kita peroleh, dengan jabatan yang diberikan,” camnya.

“Jangan (pejabat-pejabat itu) bilang gaji saya cuman sedikit, saya dikasi sekian juta, jangan begitu, di hadapan negara setiap orang itu sama hak dan kewajibannya. Tidak dibedakan mana menteri mana gubernur dan lain-lain. Jadi bersyukurlah dengan jabatan kita,” tutup Saut. (Red)

Wartawan KalbarOnline.com telah berupaya meminta konfirmasi dengan Gubernur Kalbar, Ria Norsan, termasuk pada pemberitaan pertama saat Ria Norsan diperiksa KPK sebagai saksi. Namun hingga kedua berita ini tayang, yang bersangkutan belum bisa memberikan jawaban.

Artikel Selanjutnya
Ketua KONI Kapuas Hulu Hadiri Penutupan Futsal Kompak Cup III: Support Kegiatan Olahraga
Minggu, 24 Agustus 2025
Artikel Sebelumnya
Rakor di Maluku Utara, Menteri Nusron Tekankan Pentingnya Pemda Dukung Pelaksanaan Sertifikasi Tanah
Minggu, 24 Agustus 2025

Berita terkait