Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Senin, 22 September 2025 |
KALBARONLINE.com – Wacana pembentukan Komite Reformasi Polri oleh pemerintah belakangan ramai diperbincangkan. Tapi menurut mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, reformasi yang hanya menyasar kepolisian bakal percuma.
“Semua rangkaian criminal justice system kita bermasalah, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai orang masuk penjara dan keluar penjara. Semua bermasalah dengan isu korupsi,” kata Saut saat diwawancarai KALBARONLINE.com, Senin (22/9/2025).
Menurut Saut, problem hukum di Indonesia jauh lebih kompleks. Karena itu, bukan hanya Polri, tapi kejaksaan, peradilan (Mahkamah Agung beserta hakimnya), bahkan KPK sendiri harus ikut direformasi.
“Karena di era 10 tahun ke belakang, #reformasidikorupsi. Itu sebabnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara ini hanya beda sedikit dengan Nepal. Indonesia urutan 37, Nepal 34. Hanya beda 3 doang, bro,” ujarnya.
Kejaksaan dan Pengadilan Ikut Jadi Masalah
Pegiat antikorupsi ini menilai kejaksaan dan pengadilan seringkali memperlambat penegakan hukum karena terlalu banyak tafsir. Alih-alih membuat hukum adil, pasti, dan bermanfaat, praktik di lapangan justru membuat kemunduran.
“Kasus Thomas Trikasih Lembong itu contohnya. Gambaran bobroknya politisasi penegakan hukum. Jadi bukan cuma Polri, Kejaksaan dan Peradilan juga bagian dari masalah,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan, kalau reformasi hanya fokus ke Polri, publik bisa menilai ini sekadar cari kambing hitam.
“Kambing hitam itu ada di mana-mana. IPK Indonesia cuma 37, di bawah Timor Leste bahkan. Kapan bisa capai 70? Kita sedang menunggu presiden lain yang lebih berintegritas,” sindir Saut.
Soal komitmen politik, Saut mengingatkan janji Presiden Prabowo Subianto yang sudah 25 kali bicara tentang pemberantasan korupsi tanpa kompromi.
“Itu harapan. Kita tunggu, apakah akan jadi omon-omon atau benar-benar berjalan. Mulai sekarang harus clear, jangan kabur 4 tahun ke depan,” ucapnya.
Saut juga menyebut TNI tidak luput dari sorotan. Menurutnya, TNI termasuk yang dinilai banyak badan internasional sebagai penyumbang indeks persepsi korupsi. Salah satunya Political Risk & Economic Survey (PERC) yang menilai bagaimana TNI bekerja. Di mana pada tahun 2024, IPK Indonesia diberi nilai 38.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa kunci reformasi ada di integritas pemimpin.
“Harus transparan, akuntabel, bebas konflik kepentingan, zero toleran atas korupsi, dan melindungi orang-orang yang anti korupsi. Lihat kasus Iwan Budi, saksi korupsi yang dimutilasi dan dibakar di Semarang tahun 2022. Sampai hari ini nggak jelas hasilnya. Pemerintah diam,” ujarnya.
Terakhir, Saut menegaskan momen ini seharusnya dipakai Presiden untuk mengembalikan Undang-Undang KPK ke bentuk semula.
“Hampir di setiap momen saya menuntut Prabowo membuat Perpu untuk mengembalikan KPK se-independen mungkin. Tapi kapal terus berlalu,” pungkasnya. (Red)
KALBARONLINE.com – Wacana pembentukan Komite Reformasi Polri oleh pemerintah belakangan ramai diperbincangkan. Tapi menurut mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, reformasi yang hanya menyasar kepolisian bakal percuma.
“Semua rangkaian criminal justice system kita bermasalah, mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai orang masuk penjara dan keluar penjara. Semua bermasalah dengan isu korupsi,” kata Saut saat diwawancarai KALBARONLINE.com, Senin (22/9/2025).
Menurut Saut, problem hukum di Indonesia jauh lebih kompleks. Karena itu, bukan hanya Polri, tapi kejaksaan, peradilan (Mahkamah Agung beserta hakimnya), bahkan KPK sendiri harus ikut direformasi.
“Karena di era 10 tahun ke belakang, #reformasidikorupsi. Itu sebabnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara ini hanya beda sedikit dengan Nepal. Indonesia urutan 37, Nepal 34. Hanya beda 3 doang, bro,” ujarnya.
Kejaksaan dan Pengadilan Ikut Jadi Masalah
Pegiat antikorupsi ini menilai kejaksaan dan pengadilan seringkali memperlambat penegakan hukum karena terlalu banyak tafsir. Alih-alih membuat hukum adil, pasti, dan bermanfaat, praktik di lapangan justru membuat kemunduran.
“Kasus Thomas Trikasih Lembong itu contohnya. Gambaran bobroknya politisasi penegakan hukum. Jadi bukan cuma Polri, Kejaksaan dan Peradilan juga bagian dari masalah,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan, kalau reformasi hanya fokus ke Polri, publik bisa menilai ini sekadar cari kambing hitam.
“Kambing hitam itu ada di mana-mana. IPK Indonesia cuma 37, di bawah Timor Leste bahkan. Kapan bisa capai 70? Kita sedang menunggu presiden lain yang lebih berintegritas,” sindir Saut.
Soal komitmen politik, Saut mengingatkan janji Presiden Prabowo Subianto yang sudah 25 kali bicara tentang pemberantasan korupsi tanpa kompromi.
“Itu harapan. Kita tunggu, apakah akan jadi omon-omon atau benar-benar berjalan. Mulai sekarang harus clear, jangan kabur 4 tahun ke depan,” ucapnya.
Saut juga menyebut TNI tidak luput dari sorotan. Menurutnya, TNI termasuk yang dinilai banyak badan internasional sebagai penyumbang indeks persepsi korupsi. Salah satunya Political Risk & Economic Survey (PERC) yang menilai bagaimana TNI bekerja. Di mana pada tahun 2024, IPK Indonesia diberi nilai 38.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa kunci reformasi ada di integritas pemimpin.
“Harus transparan, akuntabel, bebas konflik kepentingan, zero toleran atas korupsi, dan melindungi orang-orang yang anti korupsi. Lihat kasus Iwan Budi, saksi korupsi yang dimutilasi dan dibakar di Semarang tahun 2022. Sampai hari ini nggak jelas hasilnya. Pemerintah diam,” ujarnya.
Terakhir, Saut menegaskan momen ini seharusnya dipakai Presiden untuk mengembalikan Undang-Undang KPK ke bentuk semula.
“Hampir di setiap momen saya menuntut Prabowo membuat Perpu untuk mengembalikan KPK se-independen mungkin. Tapi kapal terus berlalu,” pungkasnya. (Red)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini