Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Senin, 11 September 2017 |
KalbarOnline, Sintang – Lada merupakan komoditas andalan di wilayah perbatasan Kabupaten Sintang.
Lantas, menjadi sumber perekonomian masyarakat di tengah tidak menentunya harga komoditas karet dan sawit.
Kepala Bidang (Kabid) Sarana Prasarana dan Pengendalian Hama Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Sintang, Endang Gunawan tak menampik warga perbatasan gencar menanam lada.
Namun, besarnya biaya produksi lada membuat warga masih berpikir membudidayakannya secara kontinuitas.
“Lada bisa dibilang tanaman musiman, tapi bukan musiman karena alam ya. Musiman karena perhitungan bisnisnya. Biaya budidaya lada ini cukup mahal. Petani tidak akan menanam, jika hasil tidak menutupi biaya produksi. Kalau mendengar harga tidak bagus, maka tidak nanam,” ujarnya seperti dilansir dari Pontianak.tribunnews.com.
Kecenderungan para petani memantau harga lada dari negara tetangga yakni Malaysia.
Ketika harga lada mahal atau tinggi, petani akan segera menanam.
Tidak hanya saat menanam, pemanenan lada juga kebanyakan menyesuaikan momen harga tinggi.
“Ketika melihat harga tinggi, maka yang lebih banyak dijual petani ya lada hitam. Panennya cepat dan lebih mudah. Masih hijau ndak perlu tunggu warnanya merah, terus dijemur dan dijual. Kalau lada putih kan nunggu merah, perlu dikupas, dijemur, baru jual. Harga juga tentu berubah dari waktu ke waktu,” paparnya.
Sistem panen seperti ini tentu membuat pihaknya sulit mengukur besarnya produksi lada secara pasti dalam setiap hektarenya hingga kini. Pasalnya, produksi tentu fluktuatif.
“Kalau di dalam buku sih sekian-sekian ya dalam luasan tertentu. Namun di daerah agak sulit diambil datanya. Kayak jagung lah ya, kan ada diambil saat masih baby cornatau jagung muda yang untuk sayur itu. Ada juga yang saat tua. Kita sadar juga lah para petani juga tentu melihat harga dan untung. Kayak lada ini, kalau harga mahal dan bisa dipanen hijau, kenapa tunggu merah,” pungkasnya. (Sg)
KalbarOnline, Sintang – Lada merupakan komoditas andalan di wilayah perbatasan Kabupaten Sintang.
Lantas, menjadi sumber perekonomian masyarakat di tengah tidak menentunya harga komoditas karet dan sawit.
Kepala Bidang (Kabid) Sarana Prasarana dan Pengendalian Hama Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Sintang, Endang Gunawan tak menampik warga perbatasan gencar menanam lada.
Namun, besarnya biaya produksi lada membuat warga masih berpikir membudidayakannya secara kontinuitas.
“Lada bisa dibilang tanaman musiman, tapi bukan musiman karena alam ya. Musiman karena perhitungan bisnisnya. Biaya budidaya lada ini cukup mahal. Petani tidak akan menanam, jika hasil tidak menutupi biaya produksi. Kalau mendengar harga tidak bagus, maka tidak nanam,” ujarnya seperti dilansir dari Pontianak.tribunnews.com.
Kecenderungan para petani memantau harga lada dari negara tetangga yakni Malaysia.
Ketika harga lada mahal atau tinggi, petani akan segera menanam.
Tidak hanya saat menanam, pemanenan lada juga kebanyakan menyesuaikan momen harga tinggi.
“Ketika melihat harga tinggi, maka yang lebih banyak dijual petani ya lada hitam. Panennya cepat dan lebih mudah. Masih hijau ndak perlu tunggu warnanya merah, terus dijemur dan dijual. Kalau lada putih kan nunggu merah, perlu dikupas, dijemur, baru jual. Harga juga tentu berubah dari waktu ke waktu,” paparnya.
Sistem panen seperti ini tentu membuat pihaknya sulit mengukur besarnya produksi lada secara pasti dalam setiap hektarenya hingga kini. Pasalnya, produksi tentu fluktuatif.
“Kalau di dalam buku sih sekian-sekian ya dalam luasan tertentu. Namun di daerah agak sulit diambil datanya. Kayak jagung lah ya, kan ada diambil saat masih baby cornatau jagung muda yang untuk sayur itu. Ada juga yang saat tua. Kita sadar juga lah para petani juga tentu melihat harga dan untung. Kayak lada ini, kalau harga mahal dan bisa dipanen hijau, kenapa tunggu merah,” pungkasnya. (Sg)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini