(Sebuah Tulisan Perspektif Gender)
Oleh : Syailendra Anantya Prawira, S.H.
KalbarOnline, Serbaneka – “Jangan atur bajuku saja, tapi aturnafsumu!”, “Bukan Pakaianku, Tapi isi otakmu” adalah beberapa slogan kontroversial yang bersliweran pada women’s march di berbagai daerah di indonesia (untuk memperingati international women’s day) Maupun bertebaran di berbagai media sosial.
Slogan-slogan tersebut dianggap “Liberal”, “HAM Kebablasan”, “Tidak Patut Ditempatkan di Indonesia yang budaya berpakaiannya tertutup” oleh sebagian pihak yang kenyamanannya terusik. Ketika kita bilang bahwa berpakaian tertutup rapat adalah budaya ketimuran atau budaya khas Indonesia. Kita bisa melihat di berbagai daerah keraton, pakaian wanita-wanita keraton adalah “kemben”, “kebaya”, yang bila kita relevansikan pada saat ini katanya “bisa mengundang hawa nafsu.”
Kemudian kita bisa melihat lagi perempuan-perempuan di Bali pada kisaran tahun1940-an tidak memakai penutup dada dalam berpakaian, pun sama halnya diberbagai daerah di Papua. Simone de Beauvoir menjelaskan bagaimana sejarah tentang definisi kaum wanita selama ini dan menurutnya telah terjadi kecacatan eksistensi alis terhadap situasi kaumwanita.
Sejarah telah menunjukan bagaimana kaum pria selalu menjadi pihak yang menggenggam kekuatan yang konkret nan superior dalam berbagai lini kehidupan dianggap sebagai keinginan kaum pria sendiri untuk mendominasi.
Dominasi-dominasi ini bisa kita lihat dapat menjalar dari skala kelas teri sampai kelas kakap (Dalam lingkup rumah tangga, pekerjaan, parlemen, sampai dalam hal tata cara berpakaian). Perempuan menjadi suatu objek yang diperalat yang menurut Nietzsche tak menjadi individu yang berkehendak atau berkuasa atas dirinya sendiri.
Feminis menjadi hal yang seksi, perempuan sudah berani mengepalkan tangan, dan menyatakan diri “berani” melawan penindasan terhadap diri mereka. Dan tentu, membuat segelintir “pihak” tidak nyaman atas hal ini (mereka yang punya privilese, mereka yang punya superioritas).
Simone de Beauvoir mendukung keras pendapat Sarte bahwa dalam relasi manusia selalu terjadi konflik inter subjektifitas, dimana masing-masing selalu berusaha menjadikan manusia yang lain sebagai objek dan tidak ingin dirinya yang menjadi objek.
Menurut Jean paul Sartre, manusia hanya mempunyai dua kemungkinan, dia menjadi subyek atau dia menjadi obyek, dia makan atau dia yang dimakan (L’enfer, c’est les autres). Pada permasalahan ini, kauml aki-laki menjadikan kaum perempuan sebagai objek.
Slogan-slogan tadi adalah bentuk perlawanan perempuan sebagai “korban yang selalu disalahkan” dalam polemik-polemik pelecehan seksual maupun tindak kejahatan pemerkosaan. Cara berpakaian korban selalu menjadi kacamata permasalahan di dalam menggali lebih dalam sumber-sumber tindak kejahatan tersebut berasal.
Ketika kita melihat polemik tersebut tidak hanya menimpa kaum perempuan yang memakai pakaian terbuka, namun tertutup sekalipun (bercadar, kerudung, jilbab), bahwa mereka masih dijadikan objek tindak kejahatan pelecehan seksual maupun pemerkosaan, menjadi pukulan telak/sangkalan mutlak bagi kaum lelaki khususnya, bagi mereka yang menjadikan pernyataan “kejahatan tidak terjadi jika tidak ada kesempatan” sebagai dalihan dalan, atau jurus pamungkas untuk menangkis segala tuduhan bahwa sebenarnya memang ada yang salah di dalam diri sipelaku kejahatan tersebut.
Polemik tersebut berpotensi menimpa kaum perempuan dari yang berpakaian terbuka sampai yang tertutup sopan rapat sekalipun. Maka inilah yang perlu digaris bawahi, bahwa menyalahkan korban bukanlah solusi atas permasalahan ini.
Berhenti menyalahkan korban, stop victim blaming, kembalilah berkaca pada diri kita (kaum lelaki), apakah ada yang salah??? Apakah dari dalam diri kita ada yang kurang elok? Di akhir tulisan ini saya mengutip salah satu kata-kata dari Simone De Beauvoir untuk menjawabnya yaitu “Man is defined as a human being and a woman as a female – whenever she behaves as a human being she is said to imitate the male”. (MHZ)
Penulis adalah Mahasiswa Magiter Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Comment