KalbarOnline, Nasional – Berdasarkan pemeriksaan awal yang dilakukan oleh Tim LPPOM (Majelis Ulama Indonesia) MUI terbukti bahwa Vaksin MR yang diproduksi oleh Serum Institute of India (SII) dan didistribusikan di Indonesia oleh Biofarma positif mengandung babi dan Human Deploit Cell atau bahan dari organ manusia yang diharamkan oleh Komisi Fatwa MUI.
Demikian paparan yang dikemukakan dalam surat oleh Pimpinan LPPOM MUI kepada Pimpinan Harian MUI Pusat dan dibacakan Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Bidang Fatwa Sholahudin Al-Aiyub, dalam Sidang Komisi Fatwa MUI, 15 Agustus 2018 lalu di Jakarta.
Baca: Soal Vaksin MR Mengandung Babi dan Organ Manusia, Ini Kata Kadiskes Sekadau
Baca: Penolakan Imunisasi MR, Ini Penjelasan Kadis Kesehatan KKR
“Bahan yang digunakan dan proses produksi Vaksin MR telah diterima dari pihak SII india melalui korespondensi yang dilakukan. Berdasarkan data yang diberikan oleh pihak produsen di India, terdapat bahan yang bersal dari babi, yaitu gelatin yang berasal dari kulit babi, dan tripsin yang berasal dari pankreas babi. Ada pula bahan yang berpeluang besar bersentuhan dengan bahan babi dalam proses produksi, yaitu Lactalbumin hydrolisate sebagai media yang kaya protein dalam proses produksi vaksin tersebut. Selain itu ada pula bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, yaitu Human Deploit Cell.”
Dengan penggunaan bahan-bahan tersebut dan merujuk pada persyaratan dalam proses Sertifikasi Halal yang diterapkan oleh LPPOM MUI, maka produk tersebut tidak dapat disertifikasi halal. Artinya, tugas LPPOM MUI sudah selesai. Karena informasi awal itu sudah diyakini bahwa Vaksin MR itu tidak bisa dilanjut proses sertifikasi halalnya. Karena terbukti positif mengandung unsur-unsur bahan yang haram dan najis menurut kaidah syariah.
Dengan kenyataan itu, maka kemudian Dewan Pimpinan Harian MUI Pusat menyerahkan masalah kelanjutan dari penggunaan Vaksin MR yang tidak bisa diproses sertifikasi halalnya oleh LPPOM MUI.
Menanggapi hal itu, sejatinya MUI dengan Komisi Fatwa sangat mendukung program imunisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dengan menetapkan Fatwa No. 4/2016 tentang Imunisasi.
Namun tentu vaksin yang digunakan Wajib Halal. Namun juga, dengan kenyataan tentang Vaksin MR yang terbukti mengandung babi, yang diakui pula oleh Pihak Kemenkes, maka pihak Kemenkes mengajukan permohonan fatwa yang lain tentang urgensi Vaksinasi MR yang sangat mendesak, selain tentang sertifikasi produk tersebut.
Menyikapi gonjang-ganjing vaksin MR, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera menerbitkan keputusan soal vaksin measles-rubella (MR) dari India yang digunakan untuk kampanye imunisasi MR di 28 provinsi luar Pulau Jawa.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia juga menegaskan belum mengeluarkan keputusan apapun terkait measles-rubella (MR). Pernyataan ini sekaligus membantah informasi yang beredar viral bahwa MUI sudah memutuskan status vaksin produksi India tersebut.
Wakil Sekjen MUI Bidang Fatwa KH Salahuddin Al Aiyub mengatakan pembahasan vaksin MR baru akan dilaksanakan Senin (20/8) malam dalam rapat pleno penentuan status vaksin tersebut. Hasil keputusan pleno nanti akan disampaikan ke Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).
“Nanti malam ada rapat pleno komisi Fatwa, semoga ada hasil yang bagus,” ungkap dia berdasarkan rilis pada website resmi Majelis Ulama Indonesia.
Keterangan serupa juga diungkap sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat KH Asrorun Ni’am Sholeh. Dia menegaskan, MUI belum pernah mengeluarkan pernyataan dan kajian apapun terkait kehalalan vaksin ini.
“Baru nanti dirapatkan oleh Komisi Fatwa. Insya Allah nanti malam (dikeluarkan keputusan),” katanya.
Sebelumnya, Pertemuan MUI dan Kementerian Kesehatan yang digelar secara tertutup di lantai 2 Gedung MUI Pusat pada 3 Agustus 2018 lalu menghasilkan kesepakatan untuk mensertifikasi kehalalan vaksin melalui MUI dengan bantuan kajian Kemenkes.
Vaksin MR yang saat ini digunakan Kemenkes merupakan produksi dari Serum Institute of India (SII). Dalam membantu proses sertifikasi halal vaksin ini, Menkes Nila Moelek mengirimkan surat kepada SII untuk meminta dokumen terkait kandungan vaksin MR tersebut. Dokumen tersebut telah diperiksa Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI.
Hasil pemeriksaan dokumen LPPOM itu selanjutnya diserahkan kepada Komisi Fatwa MUI sebagai bahan kajian penentuan status vaksin MR. (Rock)
Comment