KalbarOnline, Ketapang – Tersangka kasus tindak pidana penggelapan dana calon jemaah haji, YW (36) meminta pihak Kantor Kementrian Agama (Kemenag) untuk menelusuri pihak-pihak lain yang juga melakukan perekrutan pendaftaran umrah. Hal ini lantaran menurut YW secara aturan tak diperbolehkan adanya jaringan perekrutan umrah terkecuali melalui travel-travel resmi.
Ditemui awak media di Mapolres Ketapang, YW tampak terlihat sedih. Perlahan-lahan YW menceritakan sejumlah pertanyaan yang dicecar oleh jurnalis.
Masuk dalam jaringan marketing
YW mengaku awal mula dirinya menjadi leader di jaringan layaknya marketing pendaftaran umrah pada tahun 2015-2016. Awalnya YW hanya menjalankan dengan mencari titik-titik masyarakat yang hendak melakukan DP untuk umrah saja.
“Awalnya saya buka klinik kecantikan di rumah, ada pelanggan saya menawarkan untuk ikut leader seperti marketing ini, memang dari penjelasan tersebut untungnya besar, makanya saya tergiur,” ujar YW.
Akhirnya YW memutuskan masuk ke ‘Lima Utama’ yang merupakan jaringan marketing dari perusahaan travel Arminareka Perdana yang mana tugas leader mencari titik-titik awal guna mengejar reward yang dijanjikan perusahaan.
“Tidak ada gaji pokok, hanya kita dapat reward per satu orang jemaah yang membayar DP sebesar Rp3,5 juta. Reward yang didapat sebesar Rp900 ribu. Sedangkan untuk satu jemaah yang membayar lunas, reward yang didapat Rp150 ribu dan kalau ada 45 orang yang membayar lunas, dapat jatah gratis berangkat untuk satu orang,” jelas YW.
Ia mengaku sama sekali tak mengetahui susunan di jaringan tempatnya bekerja, yang hanya diketahuinya bahwa jaringan Lima Utama bekerjasama dengan Travel Arminareka Perdana. Namun, setelah banyak mencari-cari jemaah yang mendaftar, sekitar tahun 2016 atau 2017 jaringan Lima Utama, kata YW, tak lagi bekerjasama dengan travel Arminareka Perdana dan kemudian bergabung dengan travel Albadria Wisata dengan sistem kerja yang sama.
“Selama kerja ini belum pernah ada yang diberangkatkan Arminareka Perdana, jadi jemaah yang sudah ada selama ini sekitar 200an yang sudah diberangkatkan melalui Albadria Wisata dan itu berjalan lancar,” tukasnya.
Mulai tergiur keuntungan lebih besar
Namun, dalam perjalanan waktu, dirinya tergiur keuntungan lebih besar sehingga memberanikan diri untuk membeli voucher kursi terlebih dahulu sebanyak 400 voucher, dimana satu voucher tersebut seharga Rp3 juta.
Voucher tersebut, terang YW, nantinya akan dijual kembali ke jemaah yang ingin mendaftarkan diri untuk umrah. Terlebih, lanjut YW, dirinya menalangi para jemaah yang baru membayar Rp500 ribu atau Rp1 juta untuk didaftarkan mendapat kursi dengan menyetor dulu ke perusahaan sebesar Rp3,5 juta per satu kursi.
Voucher yang terbeli tak dapat lagi diuangkan
“Sejak itulah keuangan jadi tak terkendali. Padahal untuk yang sudah DP ada ratusan orang, hanya uangnya sebagian terpakai untuk keperluan operasional selama bekerja. Ditambah lagi ternyata voucher yang sudah saya beli sekitar 400an tersebut tidak bisa diuangkan padahal awalnya tidak ada aturan soal itu, makanya saya berani spekulasi beli voucher untuk dijual lagi, ternyata sekitar bulan lalu saat ada seminar yang dihadiri oleh pemilik perusahaan, pemilik perusahaan mengaku bahwa voucher tersebut tak bisa diuangkan, jadi saya bingung dan merasa jadi korban,” ceritanya lirih.
Saat ini, tutur YW, ada sekitar 15 orang jemaah yang sudah melunasi biaya keberangkatan umrah namun belum diberangkatkan olehnya lantaran biaya tersebut telah terpakai. Kemudian, lanjutnya lagi, ada sekitar 50an orang yang sudah membayar DP dan mendapat voucher.
“Untuk 15 orang sudah lunas, itu tanggung jawab saya karena uangnya saya pakai, untuk 50an yang sudah DP itu bisa langsung ke perusahaan karena uangnya sudah disetor, tinggal melakukan pelunasan saja ke perusahaan untuk proses keberangkatan. Hanya saja yang jadi persoalan setelah saya ditahan jemaah-jemaah itu juga menuntut dikembalikan uangnya sedangkan uang DP sudah disetor ke travel dan voucher sudah dipegang jemaah, jadi itu tanggung jawab travel,” lugasnya.
YW menegaskan selain dirinya, banyak pihak-pihak yang bekerja di jaringan-jaringan serupa. Namun, khusus untuk jaringan travel Albadria Wisata di Ketapang, hanya dirinya.
Akui kerap berurusan dengan Kemenag Ketapang
Perempuan berusia 36 tahun itu turut mengungkap mengenai dirinya yang kerap kali berurusan di Kemenag Ketapang. Hal ini lantaran ada aturan mengenai pembuatan paspor jemaah yang harus meminta rekomendasi dari kantor Kemenag Ketapang dengan membawa surat perusahaan. Dari Kemenag pula, dirinya tak sengaja bertemu dengan korban yang melaporkan dirinya terkait penggelapan dana haji onh plus sebesar Rp569 juta itu.
“Saya tak ada mengiming-imingi yang gimana-gimana, karena saya sering berangkatkan jemaah jadi mereka percaya. Janjinya tahun 2019, hanya saja saya keburu ditangkap. Untuk biaya korban bertahap biaya itu saya pakai menutupi keberangkatan jemaah umrah sebelum-sebelumnya, hingga terakhir tersisa yang belum berangkat 15 orang jemaah itu,” jelasnya.
Beberkan sistem jaringan sangat banyak di Ketapang
YW juga tak sungkan membeberkan bahwa sistem jaringan serupa sangat banyak merebak di Ketapang. Hanya saja, kata dia, yang baru terbongkar ditambah jemaahnya yang banyak baru dirinya seorang, sehingga menjadi sorotan publik. Sedangkan oknum-oknum lainnya hanya memiliki 3-4 orang Jemaah. Hampir semua perusahaan dipastikan YW menggunakan sistem jaringan serupa yang sebenarnya tak diperbolehkan oleh Kementerian Agama.
Harap Kemenag Objektif
“Makanya saya berharap Kemenag bisa lebih objektif melihat kondisi ini. Saya awalnya tak tahu kalau sistem jaringan tak diperbolehkan. Sekitar tahun 2017-2018 baru tahu dan dari pihak jaringan di tingkat atas kepada jaringan di bawah mengatakan agar jangan ribut dan jangan sampai bocor keluar. Saya tahu itu saat saya sudah terlanjur terjebak di dalam sistem yang tak memungkinkan saya untuk lepas. Mau keluar tak bisa, maju dana tak terkendali. Saya juga korban dan berharap Kemenag teliti mengenai kasus ini,” pintanya.
Kemenag Ketapang minta masyarakat selektif
Sementara Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Ketapang, Ikhwan Pohan melalui Kasi Penyelengara Haji dan Umrah Kemenag Ketapang, Hamzah mengaku bahwa pihaknya hanya menangani terkait pengurusan haji. Namun, disebut Hamzah, bukan haji reguler. Sedangkan untuk haji plus bukan berada pada pihaknya. Kemudian, tutur Hamzah, untuk pengurusan umrah ada pada biro-biro perjalanan yang terdaftar.
“Untuk umrah ini biro-biro atau travel, agar bisa mendapatkan rekomendasi kita, harus memiliki izin. Kemudian untuk membuat paspor jamaah juga harus dapat rekomendasi dari kita dengan melaporkan izin operasionalnya,” tuturnya.
Per tanggal 1 April, lanjut Hamzah, biro atau travel yang menyelenggarakan perjalanan umrah harus memiliki kantor cabang di Pontianak. Hal ini lantaran dari hasil verifikasi Kemenag Kalbar, dari 180an perusahaan jasa pelayanan umrah se-Kalbar yang sudah resmi dan memiliki kantor cabang di Pontianak baru mencapai 29 biro perjalanan.
“Makanya kami selalu imbau masyarakat untuk selektif, tak mudah percaya kepada pihak-pihak ketiga dan harus langsung ke travel jangan menggunakan calo, kita jangan tergiur yang murah saja dan pastikan jadwalnya, pastikan travelnya, penerbangan, visa, hotelnya. Itu harus dipahami jemaah untuk terhindar dari modus penipuan,” tegasnya.
Berkenaan kasus yang menyeret YW, diakui Hamzah bahwa sesuai aturan tak diperbolehkan melalui sistem jaringan. Hanya saja dalam kasus ini, pelaku, kata Hamzah, ada melaporkan izin perusahaan lengkap, sehingga pihaknya tak bisa untuk tidak memproses rekomendasi untuk pembuatan paspor jemaah.
“Jadi kenakalan-kenakalan ini ada dan potensi ada, jadi kita terus berupaya mencegahnya dengan mengimbau dan sosialisasi ke masyarakat agar tak mudah terpedaya,” tandasnya.
Merugi ratusan juta, korban harap tak ada korban-korban lainnya
Sementara anak dari korban penipuan keberangkatan haji plus oleh YW, Susta Gunawan mengaku bahwa dirinya bertemu dengan YW di Kemenag Ketapang saat mencari informasi mengenai keberangkatan haji. Saat itu dirinya bertemu YW dan sempat mengobrol serta bertukaran nomor handphone.
“Tak lama pelaku datang ke Kendawangan bersama suaminya serta rekannya dan suami yang juga warga Kendawangan menawarkan haji plus dengan estiminasi keberangkatkan setahun atau dua tahun bisa berangkat,” jelasnya.
Lantaran ingin melaksanakan ibadah, terlebih lagi YW datang bersama warga Kendawangan lainnya sehingga dirinya bersama keluarga percaya dan berpikiran positif. Ia beranggapan bahwa sangat tak dimungkinkan warga sekampungnya akan menipu dirinya. Pada saat itu, lanjut Susta, keempatnya mengaku sebagai sebuah tim.
“Kami diyakinkan dipujuk saat itu, akhirnya kami daftarkan empat orang di antaranya bapak saya, ibu saya, kakak saya serta ipar saya dengan biaya per orang sebesar Rp149 juta yang dalam jangka setahun semuanya sudah kami lunasi dan dijanjikan berangkat tahun ini,” tukasnya.
Berjalannya waktu tak ada kepastian yang diberikan oleh YW, hingga akhirnya dia melaporkan hal tersebut ke pihak Kepolisian sehingga YW ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Untuk itu Susta berharap agar uangnya dapat dikembalikan sehingga dapat memberangkatkan haji orang tua serta saudaranya. Tak hanya itu, ia juga berharap agar kasus tersebut dapat diproses tuntas pihak kepolisian.
“Kami sangat berharap agar diproses dan diungkap dengan tuntas. Kami juga berharap jangan sampai ada lagi korban lainnya, siapapun terlibat harus diproses,” pintanya.
Sementara Kasat Reskrim Polres Ketapang, AKP Eko Mardianto mengaku pihaknya saat ini masih terus melakukan penyelidikan terkait kasus ini.
“Kemungkinan ada korban-korban lain yang akan melapor meskipun saat ini belum ada pihak lain melapor. Tapi kita masih akan terus kembangkan kasus ini,” pungkasnya. (Adi LC)
Comment