KalbarOnline.com – Jangan lengah meski persentase kesembuhan pasien Covid-19 terus naik. Sebab, tingkat kematian di Indonesia masih di atas standar global. Cara menurunkannya tetap satu. Yakni, terapkan protokol kesehatan secara disiplin.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito kemarin (4/8) menjelaskan, kemarin ada 1.679 kasus baru yang terkonfirmasi.
Dengan demikian, secara kumulatif jumlah kasus Covid-19 mencapai 113.134 orang. Jawa Timur masih menjadi provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak, yakni 22.324 kasus. Disusul DKI Jakarta dengan 21.767 kasus terkonfirmasi. Yang menjadi perhatian adalah Jawa Tengah yang berada di urutan ketiga dengan 9.659 kasus. ”Dulu peringkat keempat, kini ketiga. Hal ini diharapkan menjadi perhatian pemerintah daerah dan masyarakat Jawa Tengah,” ucap Wiku.
Untuk pasien meninggal, secara nasional angkanya melampaui persentase global. Jika rata-rata global 3,79 persen kematian, di Indonesia mencapai 4,68 persen. Angka itu merupakan persentase kematian dari seluruh kasus positif di dunia.
Penyumbang angka kematian terbanyak di Indonesia masih Jawa Timur dengan 1.791 kasus. Jumlah itu jauh meninggalkan Jakarta yang menyumbang 840 kasus meninggal. ”Hal ini menunjukkan bahwa apabila bisa menangani kasus lebih baik dan lebih cepat, terutama yang memiliki komorbid dan usia lanjut, kasus meninggal bisa ditekan,” ujarnya.
Untuk menurunkan angka kematian, harus ada kerja sama seluruh pihak. Masyarakat berperan melindungi kelompok rentan seperti lansia dan mereka yang memiliki penyakit bawaan. Selain itu, penemuan kasus harus dipercepat dan diberikan treatment terbaik. ”Harus kerja keras agar angka kematian lebih rendah dari rata-rata global,” ucap Wiku.
Lalu, bagaimana angka kesembuhan pasien? Wiku membeberkan, secara nasional, rata-rata angka kesembuhan mencapai 61,79 persen. Ada 20 provinsi yang angka kesembuhannya melebihi itu. Dia mengimbau agar seluruh provinsi berlomba-lomba memperbesar rata-rata kesembuhan di wilayah masing-masing.
Sementara itu, sepekan ini beredar kabar bahwa syarat rapid test untuk penumpang pesawat bakal dihapus. Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menyatakan, Kemenhub akan mengikuti surat edaran (SE) dari Satgas Penanganan Covid-19. ”Selama SE-nya masih mempersyaratkan itu, kami akan patuh pada ketentuan itu,” ucapnya kemarin.
Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo membantah kabar pencabutan aturan rapid test untuk penumpang pesawat. ’’Masih dalam pembahasan,’’ ujarnya kemarin. Dia menegaskan, hingga kemarin belum ada keputusan apa pun mengenai aturan rapid test dan swab test untuk penerbangan. Dengan demikian, belum ada perubahan SE yang mensyaratkan rapid atau swab test untuk terbang.
Sebelumnya, CEO Lion Air Edward Sirait menyatakan bahwa persyaratan rapid test merupakan hal yang baik. Sebab, ketentuan itu akan memastikan bahwa penumpang di dalam pesawat adalah orang-orang sehat. Lion Air menyediakan fasilitas rapid test di beberapa titik untuk calon penumpangnya.
Penyediaan rapid test itu bertujuan untuk memudahkan calon penumpan. Harapannya, minat masyarakat untuk menggunakan pesawat lebih besar. ”Alatnya kami peroleh dengan harga murah sehingga kami bisa menyediakan rapid test yang murah juga,” ucapnya. Lion Air mematok harga Rp 85.000 untuk rapid test.
Selain rapid test dan PCR, sebenarnya pesawat sudah dilengkapi alat yang bisa menghambat penularan semua jenis virus. Bukan hanya Covid-19. Edward menjelaskan sirkulasi udara di pesawat. ”Udara kotor ditekan ke bawah, lalu disaring dan dikeluarkan. Kemudian, mengambil udara baru untuk dimasukkan dalam pesawat,” ucapnya.
Dia menegaskan, seluruh pesawat sudah dilengkapi alat penyaring virus tersebut. Jika di dalam pesawat ada orang flu, tidak semua penumpang bakal tertular. Kalau alat tersebut tidak ada, seharusnya semua penumpang yang terbang dengan orang yang flu akan tertular.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment