KalbarOnline.com – Pernyataan apakah ledakan di Pelabuhan Beirut merupakan kecelakaan atau aksi teror memang belum terjawab. Namun, satu yang pasti, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan sistem politik Lebanon hampir mencapai titik nol.
Politik Lebanon memang rumit. Negara tersebut mendasarkan pembangunan negara dan pemerintah dari sensus nasional 1932. Saat itu penduduk terbanyak merupakan penganut Kristen Maronit. Disusul penganut Islam Sunni dan Syiah.
Mereka pun sepakat untuk menganut sistem politik konfesionalisme. Yang berarti seluruh sekte agama mendapatkan tempat sesuai proporsi. Hingga saat ini, presiden Lebanon harus ditempati kaum Kristen Maronit dan perdana menteri diperuntukkan penganut Islam Sunni. Lalu, ketua parlemen harus dijabat penganut Syiah.
Namun, hal tersebut justru menjadi bumerang saat ini. Politisi sibuk menyerang sekte lain untuk bisa mempertahankan posisi mereka. ’’Lebanon bisa selamat jika pemimpin berpikir jangka panjang dan mau mengorbankan target jangka pendek. Sayangnya, hal itu bukan prioritas pejabat saat ini,’’ ungkap Maha Yahya, direktur Carnegie Middle East Center, kepada TRT World.
Baca juga: Pelabuhan Beirut Hancur hingga Radius 10 Kilometer
Sejak akhir 2019, rakyat sudah meminta pemerintah bisa direformasi. Mereka menuntut agar kabinet pemerintah baru bisa bebas dari segala bentuk ikatan. Apalagi, politik Lebanon juga terikat dengan paham pro dan kontra Syria selain sekte mereka. Kubu tersebut terbagi atas kubu aliansi 14 Maret (anti-Syria) dan 8 Maret (pro-Syria). Yang menjadi pendasar itu adalah afiliasi mereka terhadap kelompok Syiah Hezbollah.
Perdana Menteri Hassan Diab yang ditunjuk pada akhir tahun lalu pun gagal mewujudkan amanah tersebut. Sebelum ditunjuk, dia berjanji mendirikan kabinet yang berisi teknokrat mandiri. Namun, pada akhirnya dia membagi jabatan menteri sesuai dengan sekte dan partai politik yang ada.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment