KalbarOnline.com – Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa potensi konflik dalam sebuah pemilu di Indonesia bersumber dari perubahan sistem demokrasi Indonesia yang didorong menjadi lebih liberal pasca amandemen UUD 1945. Perubahan ini dipengaruhi oleh sejumlah lembaga internasional saat itu.
Hasto pun mengusulkan sejumlah langkah yang utamanya mendorong kembali ke semangat dasar pendirian NKRI, termasuk nilai-nilai Pancasila.
“Pilkada dalam praktik, menyempitkan pemikiran para pendiri bangsa yang visioner dan penuh dengan gambaran ideal tentang Indonesia Raya. Misalnya dulu kita bermimpi, Bupati Klaten bisa diisi oleh orang Papua, bagaimana gubernur dari Jakarta bisa diisi oleh orang Sumatera Barat. Karena setiap warga negara adalah sama. Tetapi dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung itu terjadi penyempitan,” kata Hasto, Senin (21/9).
“Kini orang berpikir untuk memilih pemimpin, harus sama sukunya, harus sama agamanya, sama keluarga besarnya. Tidak lagi dilihat bagaimana kompetensi menyelesaikan masalah rakyat di dalam membawa tanggung jawab masa depan, di dalam membawa sesuatu yang hadir dalam bentuk kebijakan,” tambahnya.
Meski ada berbagai regulasi yang dikeluarkan untuk mencegah konflik atau menghukum pelanggar aturan, namun hingga saat ini potensi konflik dalam ajang pemilu tetap hadir dalam wujud berbagai hal. alah satunya adalah munculnya analogi bahwa pemilu sebagai sebuah perang.
“Padahal agama itu untuk menebar kebaikan, agama itu menjadi kekuatan moral dan etis yang sangat penting bagi setiap warga bangsa. Nilai spiritualitas yang membebaskan,” ujarnya.
Selanjutnya adalah kecenderungan mendahulukan elektoral, dimana semangatnya adalah memenangkan pemilu menghalalkan cara apapun. Partai politik hanya dianggap sekedar menjadi mesin pemenangan, bukan sebuah kesempatan mewujudkan Pancasila untuk masyarakat.
Menurut Hasto, politik elektoral ini pada gilirannya hanya sebagai bentuk pencitraan. Kalau di hari-hari biasa, ada rakyat susah dibiarkan. Tapi begitu kampanye, ada rakyat susah, semua berbondong-bondong membantu dan kemudian diviralkan melalui media sosial.
“Politik elektoral dari perspektif pencitraan itu juga nanti akan menciptakan konflik tersendiri. Kemudian wataknya juga transaksional, karena ada mobilisasi Pilkada itu jauh lebih besar,” ulasnya.
Hasto lalu menawarkan solusi berupa konsolidasi demokrasi, konsolidasi ideologi, hingga konsolidasi politik melalui budaya tertib hukum. Konsolidasi demokrasi dilakukan demi membangun kapabilitas nasional untuk mewujudkan daulat politik, berdikari ekonomi, dan berkepribadian dibidang kebudayaan.
Konsolidasi ideologi dilakukan dengan memastikan Pancasila sebagai jalan hidup, dan perwujudan UUD 1945 khususnya pasal 33 di bidang ekonomi, hingga melawan gerakan penyeragaman budaya.
Hasto merekomendasikan, dengan semakin matangnya kualitas demokrasi, maka konsolidasi ideologi, politik, hukum, ekonomi, dan budaya, harus melihat landasan demokrasi berdasarkan Pancasila. Dia juga merekomendasikan perlunya dikaji pelaksanaan pemilu asimetris dengan memperhatikan indeks demokrasi, kerawanan demokrasi, dan posisi strategis suatu wilayah.
“Praktik demokrasi harus memperkuat sistem pertahanan nasional yang bersifat semesta dan melibatkan peran aktif setiap warga negara,” pungkasnya.
Comment