Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Redaksi KalbarOnline |
| Selasa, 29 Desember 2020 |
KalbarOnline.com – Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid mengkritik ruang pendidikan yang telah dihinggapi oleh sikap elitis agama mayoritas. Hal ini, kata dia membuat seakan-akan mereka yang mayoritas adalah penguasa.
Anak dari Presiden Keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menyampaikan, ketegangan antar kelompok biasanya muncul bukan karena agama, namun karena para mayoritarianis yang merasa berkuasa.
“Itu kemudian ada pandangan sebagai mayotitas lebih berhak atas apapun. Itu muncul diruang institusi pendidikan kita,” terang dia dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Keragaman di Indonesia Sejauh Mana? secara daring, Selasa (29/12).
Dalam hal ini, agama bukan menjadi masalah utama, namun sikap kelompok mayoritas tersebutlah yang menjadi persoalan. Padahal Indonesia negara dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Baca Juga: Soal Parodi Lagu Indonesia Raya, Basarah: Itu Martabat Bangsa
Baca Juga: Tiga Parpol Pilih Ketum, Nakhoda Baru Jurus Lama
“Mereka pikir, kami agama mayoritas, jadi yang lain harus nurut, lupa padahal demokrasi itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat, menjamin semua individu dan warga negara mendapat hak-hak konstitusi, itu yang dilupakan, yang penting mayoritas berkuasa,” ucap dia.
Kata Alissa, eksklusifisme beragama ini menimbulkan banyak persoalan. Apabila di ekosistem pendidikan akan memasukkan nilai-nilai kegamaan seperti bertaqwa, hal ini diharapkan mampu menemptakn semua kelompok agama secara adil dan berimbang.
“Itu (nilai keagamaan) soal yang esensial. Ini (eksklusif) yang memunculkan berbagai fenomena itu. Kenapa, karena ada ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang tidak menghargai keberagaman Indonesia, itu muncul karena mayoritarianisme itu. Itu salah satunya yang harus kita atasi,” pungkasnya.
KalbarOnline.com – Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid mengkritik ruang pendidikan yang telah dihinggapi oleh sikap elitis agama mayoritas. Hal ini, kata dia membuat seakan-akan mereka yang mayoritas adalah penguasa.
Anak dari Presiden Keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menyampaikan, ketegangan antar kelompok biasanya muncul bukan karena agama, namun karena para mayoritarianis yang merasa berkuasa.
“Itu kemudian ada pandangan sebagai mayotitas lebih berhak atas apapun. Itu muncul diruang institusi pendidikan kita,” terang dia dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Keragaman di Indonesia Sejauh Mana? secara daring, Selasa (29/12).
Dalam hal ini, agama bukan menjadi masalah utama, namun sikap kelompok mayoritas tersebutlah yang menjadi persoalan. Padahal Indonesia negara dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Baca Juga: Soal Parodi Lagu Indonesia Raya, Basarah: Itu Martabat Bangsa
Baca Juga: Tiga Parpol Pilih Ketum, Nakhoda Baru Jurus Lama
“Mereka pikir, kami agama mayoritas, jadi yang lain harus nurut, lupa padahal demokrasi itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat, menjamin semua individu dan warga negara mendapat hak-hak konstitusi, itu yang dilupakan, yang penting mayoritas berkuasa,” ucap dia.
Kata Alissa, eksklusifisme beragama ini menimbulkan banyak persoalan. Apabila di ekosistem pendidikan akan memasukkan nilai-nilai kegamaan seperti bertaqwa, hal ini diharapkan mampu menemptakn semua kelompok agama secara adil dan berimbang.
“Itu (nilai keagamaan) soal yang esensial. Ini (eksklusif) yang memunculkan berbagai fenomena itu. Kenapa, karena ada ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang tidak menghargai keberagaman Indonesia, itu muncul karena mayoritarianisme itu. Itu salah satunya yang harus kita atasi,” pungkasnya.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini