KalbarOnline.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menuntaskan kajian kandungan vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac. Hasilnya, vaksin buatan perusahaan farmasi asal Tiongkok itu dinyatakan halal dan suci.
Keputusan tersebut diambil dalam sidang pleno Komisi Fatwa MUI yang digelar di Jakarta kemarin (8/1). Ada tiga vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang dikaji. Yaitu, Coronavac, Vaccine Covid-19, dan Vac2 Bio. Meski hasil kajian sudah keluar, fatwa komplet dari MUI masih menunggu izin keamanan dari BPOM. Sebab, saat ini MUI baru menyelesaikan kajian terkait kehalalan.
Ketua MUI Bidang Fatwa dan Urusan Halal Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, keputusan bahwa vaksin Sinovac halal dan suci ditetapkan setelah diskusi panjang serta mendengarkan penjelasan para auditor. Namun, dia menegaskan bahwa fatwa MUI belum final. ’’Ini sangat terkait dengan keputusan mengenai aspek keamanan, kualitas, dan efficacy (kemanjuran, Red) dari BPOM,’’ tuturnya. Dia menjelaskan, fatwa MUI secara utuh tentang vaksin Covid-19 buatan Sinovac akan disampaikan setelah keluar pengumuman dari BPOM. Asrorun mengatakan, fatwa final dari MUI akan melihat kembali apakah vaksin Covid-19 buatan Sinovac itu aman disuntikkan ke manusia.
Komisi Fatwa MUI menetapkan kehalalan setelah mengkaji hasil audit dari tim khusus. Tim tersebut terdiri atas Komisi Fatwa MUI dan LPPOM MUI. Tim itu telah berpengalaman dalam proses audit vaksin MR. Mereka juga bergabung dalam tim Kementerian Kesehatan, Bio Farma, dan BPOM sejak Oktober 2020. Mereka bersama tim lain mengunjungi pabrik Sinovac dan mengaudit kehalalan vaksin di Tiongkok. Sepulang dari Tiongkok, tim masih menunggu beberapa dokumen yang kurang.
Kekurangan dokumen diterima secara lengkap oleh MUI pada Selasa (5/1) melalui surat elektronik. Pada hari yang sama, tim juga merampungkan audit lapangan di Bio Farma yang akan memproduksi vaksin tersebut secara masal. Tim kemudian melaporkan hasil audit itu kepada Komisi Fatwa MUI untuk dilakukan kajian keagamaan menentukan kehalalan vaksin.
Sementara itu, pemerintah telah menyampaikan wacana sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin. Namun, menurut anggota Komisi IX DPR Netty Prasetyani, sanksi itu sebenarnya tidak perlu. Penerapan sanksi malah akan membenturkan hak masyarakat dengan kekuatan pemerintah. Penerapan sanksi, menurut dia, baru ideal ketika tahapan edukasi sudah tuntas. ’’Kalau itu belum, ya jangan harap masyarakat memiliki kepercayaan atau keberanian untuk divaksin,’’ tegas Netty kemarin (8/1). Daripada menerapkan sanksi, Netty menyarankan pemerintah memperbaiki pola komunikasi kepada masyarakat. Supaya informasi yang tersampaikan tentang vaksin tidak simpang siur dan mengarah ke hoaks. Apalagi, masih ada sekitar 34 persen masyarakat yang belum bersedia divaksin. ’’Masyarakat yang tidak mau divaksin inilah yang harus dikelola pemerintah, bagaimana melakukan policy marketing,’’ lanjutnya.
Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia bersedia divaksin. Hal itu merujuk pada survei yang dilakukan WHO bersama Unicef dan Kementerian Kesehatan. Dari 115 ribu orang responden di 34 provinsi, sebanyak 65 persen mau menerima vaksin. ”Bahkan 35 persennya bersedia membayar vaksin,” ujar Dirjen Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Widodo Muktiyo dalam diskusi Vaksinasi Covid-19, Perubahan Perilaku, dan Informasi Publik secara daring kemarin (8/1).
Widodo tidak memerinci hasil keseluruhan. Namun, dari data yang ditampilkan, turut disampaikan mengenai persentase responden yang tahu tentang vaksin dan telah mendengar lebih banyak informasi terkait vaksin. Masing-masing sebesar 74 persen dan 79 persen. Namun, masyarakat harus diyakinkan terkait kualitas vaksin. Dalam hal ini, keamanan yang menjadi kuasa BPOM dan kehalalan vaksin dari MUI. ”Kita menungu sehingga vaksinasi bisa dijalankan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, dr Ardito Widjono, dokter asal Indonesia yang bekerja di Rumah Sakit Barnet, London Utara, menceritakan pengalamannya divaksin Covid-19 di sana. Dia mengaku tak ada efek samping berat yang dialaminya. ”Alhamdulillah baik-baik saja. Efek sampingnya hanya pegal beberapa jam, setelah itu bisa kerja lagi,” katanya. Namun, ada pula rekannya yang mengalami efek lain. Misalnya, sakit tenggorokan dan lemas. Namun, kondisi tersebut hanya berlangsung sehari-dua hari. Dokter Ardito mendapat vaksin bikinan Pfizer. Saat ini dia baru mendapat satu suntikan dosis pertama. Butuh satu suntikan lagi untuk mendapatkan imunitas penuh.
Presiden Joko Widodo melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah mengumumkan akan melakukan vaksinasi pertama pada 13 Januari. Meski demikian, emergency use authorization (EUA) hingga kemarin sore belum dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kepala BPOM Penny K. Lukito kemarin (8/1) menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu laporan uji klinis vaksin Covid-19 dari Sinovac yang diuji coba di Bandung. Sesuai dengan syarat Badan Kesehatan Dunia (WHO), data pengamatan subjek penelitian pada bulan ketiga setelah penyuntikan vaksin kedua sudah cukup untuk memberikan masukan dalam menerbitkan EUA.
Penny menyatakan, pemberian EUA tak bisa sembarangan. Saat ini BPOM sudah memiliki data uji klinis 1 dan 2 vaksin Covid-19 dari Sinovac. Lalu, yang masih ditunggu adalah data uji klinis tahap 3. Vaksin ini tidak hanya diujikliniskan di Indonesia, tetapi juga di Brasil dan Turki. BPOM pun akan mengambil data dari dua negara tersebut. Pengamatan uji klinis tahap 3 seharusnya dilakukan selama enam bulan pasca penyuntikan kedua. Namun, untuk mempercepat EUA dan sesuai instruksi WHO, data pengamatan pada bulan ketiga pun diperkenankan. Sejauh ini, untuk mempercepat EUA, data juga dikumpulkan secara bertahap.
”Kami menerapkan rolling submission, di mana data yang dimiliki industri disampaikan secara bertahap. Sudah dilakukan sejak Oktober dan dilakukan evaluasi secara bertahap juga sejak Oktober,” kata Penny. Dia menjamin apa yang dilakukan BPOM akan independen, hati-hati, dan transparan.
Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof dr Hindra Irawan Satari SpA(K) mengatakan, kandungan vaksin yang dipilih dan dipergunakan pemerintah dipastikan tidak berbahaya karena sudah dipantau keamanannya sejak uji praklinis. ”Namun, perlu diingat bahwa vaksin adalah produk biologis sehingga bisa menimbulkan reaksi alamiah seperti nyeri, kemerahan, dan pembengkakan di daerah suntikan,” katanya. Lebih lanjut, Hindra menyatakan, pasien yang mengalami gangguan kesehatan yang diduga akibat KIPI akan menerima pengobatan dan perawatan yang ditanggung pemerintah. Termasuk pada selama proses investigasi dan pengkajian kausalitas KIPI berlangsung.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment