“Perahu Keselamatan” dalam Gaya Tutur Betawi

Pengajian dengan bahasa Betawi dan menggeliatnya ranting di Petamburan, Jakarta, cuma segelintir contoh bagaimana Nahdlatul Ulama (NU) mengakar di tengah kota yang padat.

IKLANSUMPAHPEMUDA

DI depan masing-masing jamaah ada lekar. Ini terma khas Betawi mengacu ke meja kecil tempat diletakkannya Alquran atau kitab.

”Faslun, ay hadza faslun. Bermula ini kalam membahas tentang suatu bab,” kata Syahrul Kamal membuka pengajian, seperti yang dia tirukan saat berbincang dengan Jawa Pos Kamis (28/1).

Yang kemudian dia sambung, ”Alamatul bulughi tsalasun. Adapun beberape hukum orang balig itu ade tige,” lanjutnya sembari membacakan sebuah bab dalam kitab Safinatun Naja.

Demikian pengasuh Yayasan Annuriyah Masjid Jami’ Nurussalam di Kelurahan Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur, itu biasa membuka pengajian pada Rabu malam. Membaca kitab kuning model bandongan seperti yang dilakukan Kamal itu selama ini lekat dilakukan para santri di Jawa dan Madura.

Kamal berusaha menghidupkan tradisi pesantren ala NU dan ahlussunnah wal jamaah (aswaja) dengan menggelar pengajian yang akrab dengan gaya tutur khas masyarakat Betawi. Alumnus Global University, Beirut, Lebanon, itu biasanya mengadakan pengajian khusus warga pada setiap Rabu malam di Masjid Nurussalam Buaran 1, Klender.

Kitab yang ia ajarkan, Safinatun Naja, berisi penjelasan singkat soal fikih sehari-hari meliputi tata cara beribadah, wudu, dan salat. Safinatun Naja istilah dalam bahasa Arab yang artinya ”Perahu Keselamatan”.

Kitab itu karangan ulama asal Yaman Syaikh Salim bin Samir Al Hadrami yang wafat di Jakarta. Kitab tersebut begitu populer. Masjid Nurussalam terletak di tengah perkampungan di Klender. Melebur di tengah denyut kehidupan masyarakat sekitar.

Tradisi keagamaan aswaja ala NU yang hari ini memperingati hari kelahiran (harlah) ke-95 memang sudah mengakar lama di masyarakat Betawi. Bahkan, pengajian-pengajian kitab kuning dengan bahasa Betawi sudah sejak lama diadakan. Sebut saja yang biasa digelar seorang ulama Betawi di Cipinang KH Saifudin Amsir (almarhum).

Baca Juga :  Jika Covid-19 Selesai, Menko PMK: Kejar Ketertinggalan Pendidikan

Namun, Kamal mengakui, memang tidak mudah menghidupkan tradisi aswaja an-nahdliyyah di wilayah DKI Jakarta yang karakter masyarakatnya saat ini sedikit kaku. Namun, dia tetap gigih mempertahankan tradisi itu di lingkungan sekitar Masjid Nurussalam yang dibangun kakeknya, Haji Kijan bin Gamin, dan ayahnya, KH Muhammad Nur Bin. Tradisi yang adaptif dengan budaya setempat. Seperti ciri khas kultur NU selama ini, di mana pun mereka berada. Di pelosok desa ataupun di tengah kota yang padat.

Dalam wawancara khusus dengan Jawa Pos, Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj menyebutkan bahwa tema harlah tahun ini adalah menguatkan peran keagamaan (amanah diniyah) dan peran kebangsaan (amanah wathaniyah).

Yang patut disyukuri, kata Said, budaya di Indonesia sudah mapan. ”Suku tidak lagi dipermasalahkan. Kepala kantornya Jawa, sekretaris Sunda, wakil direkturnya Melayu, nggak masalah. Tinggal masalah agama yang masih ada,” katanya. Berbagai kegiatan di Yayasan Annuriyah Masjid Jami’ Nurussalam di Klender ini hanya satu contoh bagaimana NU beserta organisasi dan lembaga yang terafiliasi dengannya merawat kedekatan dengan warga sekitar.

Di bagian Jakarta yang lain, di Petamburan, NU ranting setempat juga terus menggeliat. Sejak Oktober lalu jalan dakwah terus dirumuskan dan akhirnya benar-benar hidup di Januari ini. Sebelumnya NU Ranting Petamburan pernah aktif. Tetapi sudah lama tidak berkegiatan. ”Rasanya sejak saya tinggal di sini tahun 2007 sudah vakum,” kata Ketua Tanfidziyah NU Ranting Petamburan Agus Awaludin kepada Jawa Pos Jumat (29/1).

Petamburan selama ini dikenal sebagai kawasan markas Front Pembela Islam (FPI). Meski begitu, Agus meyakini bahwa sebagian besar warga Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga mengamalkan amaliah rutin NU. Seperti Yasinan, tahlilan, dan memperingati Maulid Nabi. ”Memang banyak warga nahdliyin (di Petamburan), tetapi lebih ke kulturalnya,” tambah dia.

Baca Juga :  Uji Klinis Selesai, Indonesia Segera Punya Obat Covid-19

Karena itu, bagi Agus, membumikan NU di Petamburan tidak terlalu banyak kendala. Terlebih lagi, amalan-amalan ibadah yang dilakukan cenderung sama antara NU dan FPI. Hanya cara dakwahnya yang berbeda. ”Mengambil hati warga Petamburan tidak susah. Karena kulturalnya memang NU,” kata Agus yang dulu mondok di Pesantren Ma’hadut Tholabah, Tegal, Jawa Tengah.

Baca juga: KH Said Aqil Siroj: Menguatkan Peran Keagamaan dan Kebangsaan

Agus sangat antusias bisa membesarkan NU di Petamburan. Dia bermimpi untuk mendirikan berbagai badan otonom NU di kawasan itu, seperti Fatayat NU, Muslimat NU, IPNU, atau yang lainnya.

Kata KH Said Aqil Siroj, ideologi-ideologi radikal bakal bisa ditangkal selama Indonesia punya kekuatan civil society yang memperkuat pilar-pilar masyarakat. ”Seperti NU dan Muhammadiyah serta ormas lain. Pilar masyarakat yang nonpolitik nonpartisan. Insya Allah (Indonesia) masih kuat,” katanya dalam bagian lain wawancara dengan Jawa Pos.

Syahrul Kamal juga akan selalu ingat dengan perintah gurunya di Lirboyo, Kediri, KH Anwar Manshur. ”Kalau nanti pulang (ke masyarakat, Red), jangan lupa selalu madep dampar (mengaji kitab kuning, Red), ” tuturnya.

Saat ini lingkungan sekitar Masjid Nurussalam pun makin semarak dengan amaliah-amaliah khas NU. Di antaranya pengajian anak-anak di TPQ pada sore hari, syiir sifat 20, dan amalan lain seperti tahlil dan salawatan. ”Bahkan, ada tetangga saya, dia orang Salafi, minta diadakan acara tahlilan untuk mendoakan ayahandanya yang sudah meninggal. Di masjid ini,” kenang Kamal sambil tersenyum.

Saksikan video menarik berikut ini:

Comment