KalbarOnline, Pontianak – Yayasan Planet Indonesia (YPI) mendorong pemerintah serta stakeholder terkait untuk terus gencar melakukan perlindungan terhadap jenis burung berkicau, sebagai salah satu satwa liar dilindungi, yang ada di Kalimantan Barat.
Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Manajer Konservasi YPI, M Wahyu Putra, pada acara Media Gathering, di Pontianak, Rabu (22/06/2022). Dimana ia menilai, bahwa persoalan perlindungan terhadap jenis-jenis burung di Kalimantan Barat, khususnya jenis burung berkicau saat ini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Wahyu pun mengungkap, dalam rentang selama Januari-Februari 2022, terdapat beberapa catatan kasus penangkapan dan penyelundupan burung berkicau untuk diperdagangkan secara ilegal, yang melibatkan ratusan ekor burung berkicau di Kalimantan Barat.
Tak hanya itu, berdasarkan hasil monitoring perdagangan online, YPI juga mencatat, sebanyak 202 jenis burung berkicau, dimana 57 diantaranya termasuk jenis dilindungi–yang diperdagangkan secara online dari Juli 2019 sampai dengan Maret 2022.
“Nilai perputaran uang yang dihasilkan dari perdagangan ilegal itu pun mencapai angka fantastis, yaitu sebesar Rp 164.635.000,- (seratus enam puluh empat juta enam ratus tiga puluh lima ribu rupiah),” kata Wahyu.
Kekhawatiran YPI itu dipandang cukup beralasan, pasalnya, burung merupakan bagian dari ekosistem dengan fungsi ekologis yang penting, sehingga kerugian akibat perburuan dan perdagangan burung berkicau secara ilegal tidak dapat diukur secara ekonomi karena dampaknya bagi kelestarian lingkungan dan ekosistem akan sangat signifikan.
“Peran ekologis spesies burung pada ekosistem yaitu sebagai penyerbuk alami (pollinator) dan penyebar biji (seed dispersal), pengendali hama, indikator perubahan lingkungan, dan indikator perubahan musim,” jelas Wahyu.
Menurut Wahyu, spesies burung dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan lingkungan, termasuk pula perannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan. Kelestarian spesies burung harus dipertahankan dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenis dan populasinya.
Namun sayangnya, penanganan terhadap burung berkicau memang menghadapi permasalahan yang kompleks dan perlu upaya bersama para pihak. Adapun beberapa hambatan yang kerap ditemui, khususnya di Kalimantan Barat, antara lain rendahnya sanksi yang diatur dalam undang-undang, aparat penegak hukum sulit mengidentifikasi spesies burung apakah termasuk satwa dilindungi atau tidak, belum maksimalnya kerja sama antar lembaga berwenang, serta perilaku masyarakat umum yang masih suka memelihara dan memperjual-belikan burung berkicau.
Oleh karenanya, lanjut Wahyu lagi, saat ini YPI juga menyediakan fasilitas pendukung dalam upaya penyelamatan burung berkicau hasil sitaan dari aktivitas perdagangan ilegal. Pusat penyelamatan dan rehabilitasi burung berkicau ini merupakan yang pertama di Kalimantan yang menyediakan mekanisme dan dukungan infrastruktur untuk penyitaan, penyelamatan (perawatan dan rehabilitasi), repatriasi, dan pelepasliaran.
“Butuh perhatian, pemahaman serta upaya bersama para pihak terkait dalam mengatasi permasalahan tentang perlindungan burung berkicau di Kalimantan Barat,” ujarnya.
“Dari YPI sendiri saat ini beberapa upaya sudah dan juga sedang dijalankan, di antaranya penyediaan fasilitas pusat penyelamatan dan rehabilitasi burung berkicau, kampanye perubahan perilaku melalui pendekatan religius, pengawalan kasus persidangan terkait peredaran satwa liar, termasuk penyebarluasan edukasi melalui pemberitaan media,” kata Wahyu.
Sebelumnya, Wahyu juga menjelaskan, spesies burung berkicau ini telah diatur perlindungannya di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Selain itu, perlindungan spesies burung berkicau juga diatur oleh badan internasional seperti IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan perdagangannya oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species).
Di Indonesia, sanksi bagi yang melanggar aturan tersebut diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta. Dari persidangan kasus perdagangan burung berkicau terakhir pada April 2022, pelaku hanya divonis tiga bulan penjara dan denda sebesar Rp 5 juta, subsider 1 bulan kurungan.
“Penegakan hukum yang kuat dan putusan yang tegas atas pelanggaran diperlukan untuk mencegah perburuan dan perdagangan ilegal jenis burung berkicau,” pungkasnya. (Jau)
Comment